Indonesia Tampilkan Seni Puisi dalam Gerak dan Bunyi sebagai Penutup di Leipzig Book Fair 16 Maret 2015 ← Back
Jerman, Kemendikbud --- Selama empat hari penyelenggaraan Leipzig Book Fair di Leipzig, Jerman, Indonesia telah menghadirkan berbagai acara untuk mengenalkan Indonesia ke masyarakat Jerman dan internasional. Sebagai penutup di hari terakhir, Minggu (15/03/2015), Indonesia menampilkan pagelaran mini berupa kesenian berpuisi dalam gerak dan tari.
Wasi Bantolo, seniman Indonesia, berusaha menerjemahkan konsep yang diberikan aktor senior Slamet Rahardjo untuk pagelaran mini di akhir penyelenggaraan Leipzig Book Fair. Salah satu tujuannya adalah untuk menarik perhatian pengunjung Leipzig Book Fair dan mengenalkan Indonesia sebagai Guest of Honour atau Tamu Kehormatan Frankfurt Book Fair pada Oktober 2015 mendatang.
Ide pagelaran adalah berpuisi dengan gerak dan bunyi, tidak secara verbal seperti halnya berpuisi biasa. "Jadi intinya bagaimana setiap lekukan dari tubuh ini mempuisikan apa yang ada di dalam keinginan hati," ujar Wasi Bantolo di Leipzig Book Fair, Jerman, (15/03/2015).
Wasi tampil bersama Ayun Anindita Setya Wulan, seorang mahasiswanya di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta. Keduanya berusaha menyampaikan isi puisi melalui gerak dan bunyi. Ada dua puisi yang dibawakan, yaitu puisi Orh dan puisi "Telinga" karya Sapardi Djoko Damono.
Musikalisasi puisi juga digunakan dengan menggunakan lagu Panca Indra ciptaan seniman Gunarto Gondrong. Saat Ayun menembangkan lagu Panca Indra, Wasi menari srimpi, atau istilahnya nyerimpi/mbedoyo.
Kemudian Slamet Rahardjo mulai membacakan Puisi "Telinga" yang berupa dialog antara Bima dengan Dewa Ruci dalam pencarian air kehidupan. Wasi pun menjadi lawan dialog Slamet dalam puisi itu. Namun dialog Wasi tidak secara verbal, melainkan dibalas dengan bunyi gendang.
Wasi yakin masyarakat Jerman di Leipzig Book Fair bisa mengerti apa yang disampaikannya melalui pagelaran puisi dalam gerak dan bunyi itu. Ia mengatakan, ketika menampilkan sesuatu yang abstrak di depan audiens yang memiliki budaya yang sangat berbeda, mereka tidak membatasi ruang imajinasi.
"Malah seringkali pemaknaan yang mereka berikan selalu tepat, bahkan di luar dugaan kita karena mereka bisa memaknai lebih dengan ruang imajinasinya," ujar Wasi yang sudah sering tampil di berbagai negara.
Ia mengaku tidak terlalu berharap muluk terhadap respon publik Jerman atas pagelarannya. "Mereka bisa menengok atau melirik, itu saja sudah luar biasa," tuturnya. Namun Wasi berharap, lirikan tersebut bisa menghadirkan kesan mendalam akan Indonesia. (Desliana Maulipaksi)
Sumber :
Editor :
Dilihat 738 kali