Membuat Komik dan Buku Cerita Bergambar dengan Memasukkan Nilai Budaya Indonesia 13 Maret 2015 ← Back
Jerman, Kemendikbud --- Industri perbukuan di Indonesia tidak hanya diramaikan oleh novel dan karya sastra lain. Komik dan buku cerita bergambar pun turut mewarnai dunia perbukuan Indonesia. Untuk memperkenalkan komik dan buku cerita bergambar Indonesia ke dunia internasional, komikus dan ilustrator Indonesia pun turut hadir di Leipzig Book Fair, Jerman, sekaligus mempromosikan Indonesia sebagai Guest of Honour atau Tamu Kehormatan Frankfurt Book Fair 2015.
Beng Rahadian, seorang komikus Indonesia hadir sebagai pembicara dalam diskusi bertajuk "The Indonesian Graphic Novel" beserta Evan Raditya, ilustrator buku cerita anak.
Beng bercerita, sejarah komik Indonesia dimulai pada tahun 1931 dalam bentuk komik strip. Istilah "novel grafis" sempat disebut sebagai "novel bergambar", lalu sejak tahun 1971 hingga sekarang lebih dikenal dengan nama "novel grafis". Namun di Indonesia, komik atau novel grafis kurang populer karena dianggap sebagai bacaan anak-anak atau remaja.
Senada dengan Beng, Evan juga mengatakan ada jarak antara komik dengan buku cerita. Banyak orang tua yang tidak suka anaknya membaca komik karena komik dianggap membuat anak susah belajar. Sebaliknya, orang tua lebih suka memberikan anaknya buku cerita bergambar karena dianggap selalu dapat memberikan nilai positif. Padahal komik pun bisa memiliki nilai-nilai positif.
Dalam membuat komik dan buku cerita bergambar, baik Beng maupun Evan kerap memasukkan unsur budaya dan nilai-nilai kultural Indonesia. Beng mencontohkan cerita Mahabarata, sebuah mitologi dari India. Ia mengatakan di Indonesia cerita Mahabarata diadaptasi dan disesuaikan dengan kultur Indonesia.
"Misalnya tokoh Drupadi bersuamikan lima orang. Tapi Drupadi di Indonesia hanya memiliki suami satu karena di Indonesia tidak boleh bersuami lebih dari satu," jelasnya saat sesi diskusi di Leipzig Book Fair, Jumat (13/03/2015). Sementara Evan dalam membuat buku cerita bergambar lebih suka memasukkan nilai-nilai dalam kehidupan sehari-hari.
Di Leipzig Book Fair keduanya sama-sama berharap bisa mendapatkan pengalaman dalam forum internasional. Beng berharap dapat menemukan koneksi antara Jerman dengan Indonesia. "Sehingga kita punya satu hal yang bisa kita share. Apa yang kita ciptakan bisa diterima di sini dan sebaliknya. Sehingga ada satu hubungan yang mutualistik," katanya. Begitu juga Evan, yang berharap bisa menambah wawasan dan referensi dalam membuat cerita bergambar. (Desliana Maulipaksi)
Sumber :
Penulis :
Editor :
Dilihat 1094 kali
Editor :
Dilihat 1094 kali