Wapres JK: Pendidikan Harus Melihat Ke Depan 30 Maret 2015 ← Back
Depok, Kemendikbud---Pendidikan merupakan fondasi dari semua lini pembangunan. Untuk memajukan pendidikan, harus didasari dengan nilai dan cara berpikir manusianya. Demikian disampaikan Wakil Presiden Jusuf Kalla saat membuka Rembuk Nasional Pendidikan dan Kebudayaan (RNPK), di Pusat Pengembangan Tenaga Kependidikan (Pusbangtendik) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Sawangan, Depok, Jawa Barat, Senin (30/03/2015).
Wapres mengatakan, setiap manusia harus menyadari bahwa prinsip pendidikan adalah melihat ke depan. Untuk mengukur berhasil atau tidaknya sebuah sistem pendidikan tentu tidak bisa dilihat secara instan. Wapres mengatakan, apa diajarkan oleh sistem pendidikan saat ini baru akan terlihat mutunya sepuluh tahun ke depan. "Itulah kenapa pendidikan itu selalu bersifat ke depan," katanya.
Ia mencontohkan, apa yang diajarkan di kelas 3 SMP sekarang baru akan terlihat berguna atau tidak satu dekade mendatang. Kondisi tersebut inilah yang menjadi pembeda antara konsep museum dan konsep pendidikan. "Kalau museum itu untuk melihat ke belakang, sedangkan pendidikan harus melihat ke depan," kata Wapres JK
Dengan argumen tersebut, dalam perdebatan tentang sistem pendidikan, Wapres JK selalu menggarisbawahi untuk merancang kebutuhan dunia di 10 tahun yang akan datang. Wapres mengatakan, jika berbicara tentang mutu pendidikan maka korelasinya dengan mutu manusia. Mewujudkan manusia yang bermutu memang tidak mudah karena tidak bersifat fisik. Sejalan dengan tema RNPK, Wapres menekankan agar pembangunan pendidikan difokuskan pada penguatan aktor pendidikan. "Aktor pendidikan itu semua, apakah guru, siswa, pengawas, kepala dinas, rektor, maupun kementerian," katanya.
Pentingnya pembangunan manusia dalam membangun pendidikan dapat memperkuat kemajuan di segala sisi. Wapres JK mencontohkan, kemajuan teknologi seiring dengan majunya pendidikan. Teknologi yang bersifat membuat perubahan, selalu berubah 100 persen setiap 18 bulan. Dengan kemajuan yang sangat pesat tersebut, maka pendidikan harusnya dapat mengimbangi agar tidak tertinggal.
Menyikapi pentingnya aktor pendidikan, Wapres JK menyoroti tentang keberadaan guru. Ia menekankan agar guru bisa menjadi profesi yang terhormat. Bukan sekadar jalan pintas untuk mendapatkan lowongan pekerjaan. "Guru jangan jadi profesi sampingan," tuturnya.
Dari sisi lain, Wapres juga mengatakan pendidikan harus bermanfaat untuk semua pihak, mulai dari siswa, orang tuanya, bangsa dan negaranya. Dengan penduduk yang sangat besar, 260 juta jiwa, masalah kehidupan ke depan hanya bisa diatasi dengan tiga pilihan. Memanfaatkan sumber daya alam, manufacturing dan jasa. Tapi karena sebaran penduduknya tidak merata, maka pendidikan harus melihat kebutuhan setiap daerah. Apakah lebih dibutuhkan untuk mengolah sumber daya alam, sektor industri, atau jasanya.
Salah satu metode yang menjawab tantangan demografi tersebut adalah keberadaan SMK.
Wapres mengatakan, ketika merancang sistem pendidikan harus disadari kebutuhan akan tenaga-tenaga terampil yang bisa menjadi tenaga kerja terdidik. Tidak semua lulusan pendidikan menengah akan masuk perguruan tinggi. "Itu dasarnya mengapa kita butuh sekolah yang mencetak tenaga kerja. Kita butuh SMK," tuturnya.
Untuk menjalankan SMK berkualitas juga diperlukan guru berkualitas sebagai aktor penting. Wapres mengatakan, guru SMK juga harus disiapkan mulai dari sekarang. Karena kalau tidak, alih-alih mencetak tenaga kerja sekolah malah akan menjadi pabrik pengangguran. Tidak hanya keprihatinan terhadap kualitas tenaga kerja, kebutuhan tenaga kerja berkualitas juga dibutuhkan untuk meningkatkan produktivitas. Sebagai negara besar, harusnya Indonesia bisa menghasilkan sendiri kebutuhan-kebutuhan dalam negeri. Tapi karena produktivitas yang masih rendah, maka bahan baku kebutuhan masyarakat masih impor.
Wapres menggarisbawahi, produktivitas juga harus didukung dengan pemerataan kualitas. Meskipun Indonesia memiliki wilayah yang luas juga sebaran penduduk yang tidak merata, nilai manusia di setiap wilayah harus sama. Tanpa mengintervensi otonomi daerah, Wapres mengatakan, kualitas dari Sabang sampai Merauke harus sama. "Anak di Jawa, sistem dan nilainya harus sama dengan anak di Ambon, Papua, dan Sumatera," katanya.
Belajar, Belajar, Belajar
Keberadaan Ujian Nasional (UN) masih menjadi momok bagi sebagian orang. UN dianggap sebagai pemicu stres pada siswa. Wapres JK menekankan, jika sebuah bangsa ingin berhasil maka kerja keras adalah hal mutlak. Jika ada yang menganggap bahwa UN adalah pemicu stres dan rasa cemas maka bisa dipastikan bahwa orang tersebut bukan pekerja keras. "Berarti dia tidak belajar," tuturnya.
Wapres mengajak agar pelaku pendidikan tidak menjadikan UN sebagai beban karena kelulusan 100 persen bukanlah target utama. Jika budaya "mendongkrak" kelulusan siswa tidak dihapuskan, kata dia, maka yang terjadi adalah pembodohan nasional.
Syarat utama untuk mendapatkan UN kredibel adalah disiplin. Tidak ada lagi keinginan untuk berbuat curang dengan budaya contek menyontek. Wapres yakin, jika pelaksanaan ujian dilakukan dengan tertib, maka tidak akan ada lagi kenakalan remaja. "Tapi kalau melemah lagi (disiplin) maka pengangguran akan naik lagi. Sekarang geng-geng motor itu pasti anak-anak yang tidak mau belajar. Lebih stres ikut UN atau jadi pengangguran," katanya.
Agar tidak terjebak dalam masalah stres dan pembodohan nasional, Wapres Jusuf Kalla menyerukan agar seluruh pelaku pendidikan untuk terus belajar, belajar, dan belajar!. (Aline Regoleonick)
Sumber :
Penulis :
Editor :
Dilihat 782 kali
Editor :
Dilihat 782 kali