Peserta RNPK 2015 Simak Paparan Kementerian Keuangan Demi Tata Kelola Lebih Baik  01 April 2015  ← Back

Jakarta, Kemendikbud --- Ada tiga sidang pleno yang dihadirkan dalam Rembuk Nasional Pendidikan dan Kebudayaan (RNPK) 2015. Sidang pleno pertama mendengarkan arahan dari Wakil Presiden Jusuf Kalla sekaligus pembukaan RNPK 2015. Sidang pleno kedua mendengarkan materi dari Kementerian Dalam Negeri tentang efisiensi dan efektivitas pemanfaatan anggaran pendidikan transfer daerah dan pembagian urusan pusat-daerah terkait pendidikan dan kebudayaan. Sidang pleno ketiga mendengarkan materi dari Kementerian Keuangan tentang optimalisasi pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya pendidikan dan kebudayaan di provinsi dan kabupaten/kota, dan sistem dan mekanisme penggunaan belanja barang dan belanja sosial bidang pendidikan dan kebudayaan.

Dua materi dari Kementerian Keuangan bertujuan untuk memperbaiki tata kelola keuangan, terutama yang berhubungan dengan aset negara dan transfer dana dari pusat ke daerah. Hal ini dianggap penting karena ada dana transfer daerah dalam program-program pendidikan, seperti Bantuan Operasional (BOS), sertifikasi guru, dan Bantuan Siswa Miskin (BSM).
 
Hadir sebagai pembicara, Direktur Pelaksanaan Keuangan Bilmar Parhusip dan Kepala Subdirektorat Barang Milik Negara (BMN) Surya Hadi dari Kementerian Keuangan. Dalam paparannya, Bilmar mengingatkan asas spesialitas dalam APBN. Asas spesialitas mensyaratkan bahwa jenis pengeluaran dimuat dalam mata anggaran tertentu/tersendiri dan diselenggarakan secara konsisten baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Secara kuantitatif artinya jumlah yang telah ditetapkan dalam mata anggaran tertentu merupakan batas tertinggi dan tidak boleh dilampaui. Secara kualitatif berarti penggunaan anggaran hanya dibenarkan untuk mata anggaran yang telah ditentukan.
 
Hal itu dijelaskannya saat menjawab pertanyaan dari perwakilan Dinas Pendidikan Provinsi Maluku, Tulus. Tulus menanyakan mengenai uang buku yang diterima dari pemerintah pusat namun digunakan untuk memfotokopi buku karena keterbatasan jumlah buku atau belum adanya persediaan buku.
 
“Dana yanga da di DIPA sudah dihitung dari sisi biaya untuk mendapatkan sasaran dan pengeluaran. Kalau dana yang disiapkan sasaran pengeluarannya buku, ya harus buku, jangan fotokopian,” ujar Bilmar saat sesi diskusi sidang pleno III RNPK 2015 di Depok, Jawa Barat (30/03/2015).
Bilmar mengatakan, hasil fotokopi tidak sama nilainya dengan buku. Jika Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melakukan uji petik ke lokasi setelah selesai akhir tahun anggaran, dan tidak ditemui buku sesuai yang ada di mata anggaran, maka bisa dianggap tidak akuntabel.
“Bisa dianggap penyelewengan oleh BPK,” katanya.

Karena itu ia mengimbau pemerintah pusat dan pemerintah daerah dapat bersama-sama mengawasi pelaksanaan keuangan negara, dan melaksanakannya sesuai peraturan yang berlaku. (Desliana Maulipaksi)


Sumber :

 


Penulis :
Editor :
Dilihat 720 kali