Perjuangan Pengakuan Petisi Soetardjo 28 Agustus 2015 ← Back
Jakarta, Kemendikbud --- Hadirnya Petisi Soetardjo pada zaman perjuangan kemerdekaan dilandasi keadaan dunia secara umum, yaitu negara-negara koloni Belanda yang merasa memiliki hak untuk mengelola urusan wilayah sendiri, dan menuntut pengelolaan lebih mandiri akan wilayahnya masing-masing. Negara-negara itu adalah Indonesia yang kala itu bernama Hindia Belanda, Suriname, dan Curacao.
Perjalanan menuju pengakuan atas Petisi Soetardjo melalui tahapan berliku-liku. Berawal dari penelaahan berhari-hari oleh para Perhimpunan Pegawai Bestuur Bumiputera (PPBB) akhirnya petisi tersebut disampaikan pertama kali saat sidang Dewan Perwakilan Rakyat Hindia Belanda atau Volksraad dengan pembahasan Anggaran Belanja/Pendapatan tahun 1937, yaitu 9 Juli 1936.
Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbud Kacung Maridjan mengatakan, yang dilakukan oleh Soetardjo saat itu karena dia menyadari bahwa zona nyaman hanya dinikmati oleh sekelompok orang. Di sinilah terlihat adanya pemikiran luar biasa yang ingin merokunstruksi negara baru, namanya Indonesia.
”Mereka berkesadaran luar biasa, tidak memikirkan dapat apa dari negara tapi lebih kepada saya dapat berbuat apa agar dapat terwujud negara yang diangan-angankan yaitu Republik Indonesia,” jelasnya saat membuka Pameran Tokoh Soetardjo Kartohadikoesoemo, di Museum Perumusan Naskah Proklamasi, Jakarta, Kamis, (27/08/2015).
Pada Agustus 1936, petisi dibicarakan di dalam rapat dan menghasilkan Memori Jawaban. Kemudian, pada 17 September 1936 diadakan sidang pleno mengenai petisi tersebut. Hasilnya, dari 60 total anggota, sebanyak 26 orang setuju, dan 20 orang menolak.
Keputusan Ratu Belanda Wilhelmina pada 16 November 138 adalah menolak petisi Soetardjo. Penolakan petisi bukan berarti memadamkan semangat perjuangan tokoh Soetardjo dan organisasi PPBB. Tapi, itu adalah tonggak dari kesadaran berpolitik dari Hindia Belanda (Indonesia) untuk mengurus negara sendiri. (Gloria Gracia/Aline Rogeleonick)
Sumber :
Editor :
Dilihat 3078 kali