Kawasan Kota Tua Diajukan sebagai Warisan Budaya Dunia  20 Oktober 2015  ← Back

Jakarta, Kemendikbud --- Kawasan Kota Tua Jakarta diajukan ke UNESCO sebagai warisan budaya dunia. Dirjen Kebudayaan Kemendikbud, Kacung Marijan mengatakan, pengajuan Kawasan Kota Tua ke UNESCO sudah dilakukan melalui jalur voluntary atau penyerahan dosir (berkas dan dokumen) secara sukarela pada 29 September 2015. Sedangkan pengajuan secara resmi akan dilakukan pada Februari 2016.

“Kita memang menggunakan kesempatan voluntary ini supaya dapat masukan. Kira-kira mana yang kurang, mana yang lemah, supaya pas pengajuan resmi bisa kita berikan secara lengkap,” ujar Kacung saat ditemui seusai acara Ngopi Pagi bertema “Setahun Kinerja Kemendikbud” di Kantor Kemendikbud, Jakarta, (19/10/2015).

Kacung menuturkan, sebuah warisan budaya nasional butuh waktu bertahun-tahun untuk bisa diajukan ke UNESCO sebagai warisan budaya dunia karena harus ada persyaratan yang dipenuhi. “Pengajuan harus ada dokumen, dosir, kajian, dan naskah akademiknya. Jadi Kota Tua termasuk yang mampu memenuhi syarat-syarat yang dibutuhkan,” katanya.

Saat ini, tutur Kacung, budaya Indonesia yang sudah mendekati proses akhir sebagai warisan budaya dunia adalah tari tradisional Bali.  Pada pada November 2015, UNESCO akan mengadakan sidang di Namibia untuk menentukan apakah tari tradisional Bali layak ditetapkan sebagai sebagai warisan budaya takbenda dunia. “(Prosesnya) sudah lama, sekitar lima tahun. Dokumen lengkapnya tahun lalu sudah kita dikirimkan, sedangkan revisinya pada awal tahun ini,” tuturnya.

Yang menarik lagi, ada satu warisan budaya nasional yang ditunda evaluasinya oleh UNESCO, yaitu Kapal Phinisi dari Sulawesi. Kelengkapan dokumen Kapal Phinisi sudah diberikan Indonesia pada awal tahun 2015. Namun UNESCO meminta kesediaan Indonesia untuk menunda proses evaluasinya karena masih banyak negara lain yang belum memiliki warisan budaya dunia.

“Jadi Indonesia diminta merelakan (Kapal Phinisi) untuk tidak dievaluasi tahun depan, dan akan dievaluasi pada tahun 2017. Ada keterbatasan tenaga dan dana dari UNESCO untuk mengevaluasi. Juga karena ada negara-negara lain yang belum dapat,” ujar Kacung. (Desliana Maulipaksi)


Sumber :

 


Penulis :
Editor :
Dilihat 700 kali