Kemampuan Jejaring Kepala Sekolah Diperlukan untuk Penguatan Pendidikan Karakter 09 November 2016 ← Back
Makassar, Kemendikbud -- Layaknya seorang manajer, kepala sekolah haruslah memiliki kemampuan mumpuni untuk menjaring dan mengelola partisipasi guru, tenaga kependidikan, orang tua, dan masyarakat. Sehingga, kolaborasi partisipasi tersebut dapat memperkuat Pendidikan Karakter bagi peserta didik.
“Sumber belajar bagi siswa itu beragam melalui dukungan masyarakat, seperti orang tua, pegiat seni, komite sekolah, lembaga pemerintah. Untuk itu, kepala sekolah harus mampu memanfaatkan sebaik-baiknya semua sumber belajar tersebut,” ujar Staf Ahli Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (SAM) Bidang Pembangunan Karakter, Arie Budhiman, usai membuka Sosialisasi Penguatan Pendidikan Karakter, di Kota Makassar, Sulawesi Selatan, Senin (7/11/2016).
Selanjutnya, kepala sekolah dapat membangun jejaring pihak-pihak ini secara holistik dan terintegrasi. Harapannya, peserta didik bukan hanya belajar Pendidikan Karakter di dalam kelas tapi juga di luar kelas. Terdapat lima nilai yang menjadi referensi utama dari Sosialisasi Penguatan Pendidikan Karakter yang diangkat, yaitu religius, nasionalis, mandiri, gotong royong, dan integritas. Nantinya, lima nilai utama ini akan diturunkan ke dalam nilai-nilai pendidikan karakter yang diperlukan siswa di tiap-tiap sekolah.
Arie Budhiman menjelaskan, kelima nilai itu merupakan kristalisasi dari karakter-karakter yang mengakar bagi bangsa Indonesia. Pada nilai religius, kita melihat pada aspek Negara Indonesia sebagai negara berkeTuhan-an Yang Maha Esa, tentu karakter religius harus ada. Kemudian, nilai itu akan diturunkan menjadi saling menghargai, toleransi antar umat beragama, berakhlak dan moral yang tinggi. Kedua, nilai nasionalisme mengacu pada corak keberagaman yang dimiliki, sehingga nasionalisme sangat penting. “Nanti, turunannya itu adalah bangga dan cinta dengan bangsanya, giat membela negara, mencintai dan memahami keberagaman itu di dalam bingkai kesatuan,” jelasnya.
Ketiga, nilai kemandirian mengacu kepada kesadaran pentingnya menjadi mandiri untuk generasi penerus bangsa, yaitu bagaimana menjadi tangguh, dan memiliki daya juang tinggi. Keempat, nilai gotong royong yang mengaju kepada saling tolong menolong sebagai bangsa Indonesia. Terakhir, kelima, nilai integritas yang menitikberatkan kepada kejujuran.
Penjenamaan (Branding) Sekolah
Pemateri Indarti Suhadisi berpendapat, kesadaran kepala sekolah untuk memperkuat Pendidikan Karakter sudah secara kentara dilakukan, bahkan ada juga kepala sekolah yang mau berinovasi dengan mengintegrasikan pendidikan karakter dengan branding sekolahnya.
“Disini, para kepala sekolah sudah banyak yang terbuka, dan berinovasi untuk mengintegrasikan pendidikan karakter di sekolah. Bahkan, terdapat beberapa sekolah mengintegrasikan pendidikan karakter dengan branding sekolah yang ujungnya dapat meningkatkan daya tarik sekolah itu sendiri,” ujarnya, saat Sesi Manajemen Sekolah, Senin (7/11/2016).
Menurutnya, branding di tiap-tiap sekolah sebuah kenyataan, dan penguatan sangat perlu untuk realisasi branding. Melalui branding, lanjutnya, terdapat usaha dari kepala sekolah untuk mewujudkan kualitas sekolah berdasarkan branding yang diusungnya. Selanjutnya, partisipasi dari masyarakat, khususnya orang tua menjadi luar biasa untuk membantu pendidikan. Branding sekolah merupakan sebuah keunikan yang dimiliki masing-masing sekolah. Dengan branding yang dimiliki, sekolah memiliki kelebihan tersendiri dan memiliki nilai tawar bagi para orang tua yang hendak menyekolahkan anak-anaknya. Tanpa disadari, branding di beberapa sekolah sebenarnya sudah terbentuk atau terpateri di benak masyarakat.
“Itu seperti ada orang tua yang sebutkan sekolah A adalah sekolah favorit, sekolah unggulan, itulah branding,” jelasnya. Hanya saja, istilah branding itu baru mulai dipakai belakangan karena meminjam dari istilah dunia industri. Tapi branding di sekolah itu lebih kepada penyadaran untuk peningkatan kualitas sekolah, khususnya pendidikan karakter yang dimiliki.
Contohnya, pengajaran karakter ulet dan tangguh sebagai turunan dari mandiri akan berbeda antara sekolah di Jakarta, dengan sekolah di pedesaan. Nanti, sekolah di pedesaan akan menekankan dengan kearifan lokal pertaniannya, menyesuaikan dengan kebutuhan siswa-siswa disana. Untuk itu, setiap sekolah akan memiliki ciri khas berbeda satu dengan yang lain. Inilah bentuk branding sekolah tadi.
Menurut Anna J. Pangke, Kepala Sekolah Dasar Negeri 2 (Kepsek SDN) Amurang Sulawesi Selatan menjelaskan branding sekolah sangat mempengaruhi arah kualitas dari suatu sekolah. Dia mencontohkan, pada sekolahnya, dia bersama dengan rekan guru dan tenaga kependidikan memutuskan untuk memberikan branding Berdikari bagi sekolahnya. Bukan tanpa alasan, pemilihan branding karena seringnya sekolah tersebut tidak diperhatikan fasilitasnya oleh Pemerintah Daerah.
Walaupun begitu, Kepsek Anna tetap intens menghimbau para guru dan tenaga kependidikan untuk berkomunikasi dengan pihak orang tua. “Kami tetap rajin berkomunikasi melalui buku tugas siswa, ataupun melalui telepon, dan komunikasi intens itu mendapat respon positif dari mereka,” jelasnya.
Kemudian, terdapat beragam bantuan orang tua yang diberikan ke sekolah untuk membantu kegiatan belajar mengajar. “Itu seringkali sumbangan dari orang tua diberikan diam-diam kepada kami, seperti ketika kami mengajak siswa untuk melakukan kunjungan budaya mutu, ada orang tua yang berikan amplop kepada guru,” jelasnya. Melalui hasil rembukan pihak sekolah, lanjut kepsek Anna, kami pun mengalokasikan untuk keperluan budaya mutu, dan kami sampaikan secara transparan kepada pihak orang tua.
Sedangkan, Purwanto, Kepala Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Bontang, Kalimantan Timur, mengungkapkan, pemberian branding sekolah tidak melulu berupa pencapaian prestasi akademik, bisa juga melalui keunggulan pembangunan karakter yang dimiliki. “Kami mencoba untuk membranding dengan BISA (Bersih Indah Sehat dan Aman), dan kami beri bukti dalam prestasi, tapi juga kami mengikuti kegiatan pembangunan karakter, melalui peduli terhadap lingkungan dengan tidak sembarangan membuang sampah, ternyata kami bisa mendapat prestasi sekolah sehat sampai taraf provinsi,” jelasnya.
Welfin, Kepala Sekolah Dasar Negeri 1 Limboto, Gorontalo menjelaskan komunikasi intensif antara guru dengan orang tua penting terutama berhubungan dengan pencapaian program sekolah. “Kami selalu berkomunikasi terlebih dahulu mengenai target pencapaian kami tiap tahun untuk masing-masing kelas, kemudian para orang tua tersebut yang berinisiatif untuk bergotong royong,” ujarnya. Dia mencontohkan, ketika kepala sekolah yang pernah mengenyam kursus singkat di Jepang ini memaparkan mengenai kebutuhan toilet siswa di dalam kelas agar lebih berkonsentrasi belajar, tidak hilir mudik keluar masuk kelas. “Kami paparkan alasannya, rinciannya, para orang tua itu yang bentuk paguyuban merealisasikan toilet kelas tersebut, alhasil tiap-tiap ruang kelas sudah memiliki toilet, hasil sumbangan dari para orangtua,” jelasnya.
Namun, seringkali kolaborasi sekolah dengan orang tua terkendala dengan keberadaan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) tentang pelarangan sumbangan dan pungutan di sekolah. “Pernah kami terapkan seperti itu, kami jelaskan program sekolah, pihak orang tua mendukung, tapi penolakan justru datang dari masyarakat umum,” ujar Marwiyah Paputungan, Kepala Sekolah SDN 1 Motoboi Kecil, Sulawesi Utara.
Ketika itu, lanjut Marwiyah, ada kompetisi olah raga di sekolah kami, dan kami mengusulkan orang tua untuk berpartisipasi pada kompetisi itu. Kemudian, ada orang tua siswa kami yang membawakan tanaman untuk menghiasi lapangan sekolah. Saat acara, ada tamu dari kalangan wartawan dan bertanya mengenai kehadiran tanaman di lapangan sekolah, karena anak-anak kami cenderung polos, mengakui itu tanaman sebagai pemberian salah seorang orang tua siswa. “Itu sempat ramai wartawan bolak balik mendatangi sekolah kami, klarifikasi mengenai pungutan dan sumbangan dari orang tua,” jelas Marwiyah.
Permendikbud tentang Pelarangan Terhadap Sumbangan dan Pungutan dari Orang Tua masih menjadi kendala bagi kepala sekolah menerapkan pengelolaan partisipasi masyarakat. “Ada juga pihak-pihak yang tidak menyetujui pemberian sumbangan oleh orang tua, karena adanya larangan pungutan dan sumbangan,” tutur Marwiyah Paputungan, Kepala Sekolah SDN 1 Motoboi Kecil, Sulawesi Utara.
Menurut Indarti, akuntabilitas dan transparansi pengelolaan keuangan sekolah menjadi kunci dari keterlibatan partisipasi masyarakat terhadap program sekolah. “Ketika sudah banyak masyarakat yang tanggap terhadap program sekolah, kepala sekolah tetap perlu pembekalan akuntabilitas pengelolaan keuangan, karena kebanyakan wujud partisipasi masyarakat, khususnya orang tua berupa materi,” tutupnya.
Makassar, 8 November 2016
Biro Komunikasi dan Layanan Masyarakat
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Sumber :
Penulis : pengelola web kemdikbud
Editor :
Dilihat 3657 kali
Editor :
Dilihat 3657 kali