Peringkat dan Capaian PISA Indonesia Mengalami Peningkatan 06 Desember 2016 ← Back
Jakarta, Kemendikbud--Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) merilis pencapaian nilai Programme for International Student Assessment (PISA), Selasa 6 Desember 2016, di Jakarta. Release ini dilakukan bersama dengan 72 negara peserta survei PISA. Hasil survei tahun 2015 yang di release hari ini menunjukkan kenaikan pencapaian pendidikan di Indonesia yang signifikan yaitu sebesar 22,1 poin. Hasil tersebut menempatkan Indonesia pada posisi ke empat dalam hal kenaikan pencapaian murid dibanding hasil survei sebelumnya pada tahun 2012, dari 72 negara yang mengikuti tes PISA.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy mengungkapkan, peningkatan capaian anak-anak kita patut diapresiasi dan membangkitkan optimisme nasional, tapi jangan lupa masih banyak PR untuk terus meningkatkan mutu pendidikan karena capaian masih di bawah rerata negara-negara OECD. Bila laju peningkatan capaian ini dapat dipertahankan, maka pada tahun 2030 capaian kita akan sama dengan rerata OECD.
PISA merupakan sistem ujian yang diinisasi oleh Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD), untuk mengevaluasi sistem pendidikan dari 72 negara di seluruh dunia. Setiap tiga tahun, siswa berusia 15 tahun dipilih secara acak, untuk mengikuti tes dari tiga kompetensi dasar yaitu membaca, matematika dan sains. PISA mengukur apa yang diketahui siswa dan apa yang dapat dia lakukan (aplikasi) dengan pengetahuannya. Tema survei digilir setiap 3 tahun, tahun 2015 fokus temanya adalah kompetensi sains.
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kemdikbud, Totok Suprayitno, menyampaikan bahwa peningkatan capaian Indonesia tahun 2015 cukup memberikan optimisme, meskipun masih rendah dibanding rerata OECD. Berdasar nilai rerata, terjadi peningkatan nilai PISA Indonesia di tiga kompetensi yang diujikan. Peningkatan terbesar terlihat pada kompetensi sains, dari 382 poin pada tahun 2012 menjadi 403 poin di tahun 2015. Dalam kompetensi matematika meningkat dari 375 poin di tahun 2012 menjadi 386 poin di tahun 2015. Kompetensi membaca belum menunjukkan peningkatan yang signifikan, dari 396 di tahun 2012 menjadi 397 poin di tahun 2015. Peningkatan tersebut mengangkat posisi Indonesia 6 peringkat ke atas bila dibandingkan posisi peringkat kedua dari bawah pada tahun 2012.
Sedangkan, berdasar nilai median, capaian membaca siswa Indonesia meningkat dari 337 poin di tahun 2012 menjadi 350 poin di tahun 2015. Nilai matematika melonjak 17 poin dari 318 poin di tahun 2012, menjadi 335 poin di tahun 2015. Lonjakan tertinggi terlihat pada capaian sains yang mengalami kenaikan dari 327 poin di tahun 2012 menjadi 359 poin di tahun 2015. Peningkatan capaian median yang lebih tinggi dari mean ini merupakan indikator yang baik dari sisi peningkatan akses dan pemerataan kualitas secara inklusif.
Kepala Pusat Penilaian Pendidikan Balitbang (Kapuspendik Balitbang) Kemendikbud mengatakan secara konsisten terjadi peningkatan cakupan sampling peserta didik Indonesia yaitu sebanyak 46 persen di tahun 2003 menjadi 53 persen di tahun 2006. Selanjutnya, angka tersebut naik ke 63,4 persen di tahun 2012, dan menjadi 68,2 persen di tahun 2015. “Peningkatan cakupan sampling ini merupakan bukti capaian wajib belajar 9 tahun dan ekspansi menuju wajar 12 Tahun dan inklusi kepesertaan murid Indonesia dalam pendidikan membuahkan hasil” jelasnya, di Jakarta, Selasa (6/12/2016).
Berdasarkan waktu pembelajaran sains, seluruh negara yang tergabung dalam OECD menunjukkan 94% murid rata-rata mengikuti satu mata pelajaran sains dalam seminggu. Namun, di Indonesia, sejumlah 4% murid tercatat sama sekali tidak dituntut untuk mengikuti mata pelajaran sains. Ketidakharusan untuk mengikuti mata pelajaran sains lebih besar lima persen di sekolah yang kurang beruntung, dibandingkan di sekolah yang lebih maju. Sedangkan, sekolah yang maju di Indonesia menawarkan kegiatan kelompok belajar sains lebih banyak dibandingkan sekolah-sekolah yang kurang beruntung. “Hanya 29% murid yang bersekolah di sekolah yang kurang beruntung diberi kesempatan mengikuti kelompok belajar sains, sementara 75% murid di sekolah maju memiliki kesempatan yang lebih banyak,” jelas Kapuspendik.
Hasil riset tiga tahunan ini juga mengungkapkan adanya variasi perolehan prestasi literasi sains berdasarkan tiga aspek. Pertama, aspek peranan sekolah terbukti berpengaruh terhadap capaian nilai sains siswa, tercatat para siswa yang mendapat nilai tinggi untuk literasi sains karena adanya peranan kepala sekolah, yaitu menunaikan tanggungjawabnya atas tata kelola sekolah yang baik, murid-muridnya tercatat mencapai nilai yang lebih tinggi dalam hal sains. Jika proporsi kepala sekolah yang memonitor prestasi murid-murid dan melaporkannya secara terbuka lebih tinggi, maka angka pencapaian PISA mereka terbukti lebih tinggi. Di sisi lain, proporsi kepala sekolah yang mengeluhkan kekurangan materi pelajaran lebih tinggi dari negara-negara lain, yaitu sebesar 33% di Indonesia, 17% di Thailand dan 6% di negara-negara OECD lainnya.
Kedua, aspek prestasi sains antara siswa dari sekolah swasta dengan sekolah negeri menunjukkan perbedaan capaian nilai yang signifikan. Sekitar 4 dari 10 siswa di Indonesia bersekolah di sekolah swasta, secara signifikan jumlah ini lebih tinggi dari rata-rata negara OECD dan negara tetangga seperti Thailand dan Vietnam. Murid-murid Indonesia di sekolah negeri mencatat nilai 16 poin lebih tinggi di bidang kompetensi sains, dibandingkan rekan-rekannya di sekolah swasta, dengan mempertimbangkan latar belakang status sosial ekonomi mereka.
Ketiga, aspek latar belakang sosial ekonomi, dari hasil PISA 2015 menunjukkan, 1 dari 4 responden sampel PISA Indonesia memiliki orangtua dengan pendidikan hanya tamat SD atau tidak tamat SD. Jumlah ini merupakan terbesar kedua dari seluruh negara peserta. Namun jika dibandingkan dengan siswa-siswa di negara lain yang memiliki orang tua berlatar belakang pendidikan sama, maka pencapaian sains murid-murid Indonesia masih lebih baik dari 22 negara lainnya. Tercatat skor sains Indonesia dalam PISA 2015 adalah 403, jika latar belakang sosial ekonomi negara-negara peserta disamakan, maka pencapaian skor sains Indonesia berada di angka 445 dan posisi Indonesia naik sebanyak 11 peringkat.
Hal yang terpenting dari survei benchmarking internasional seperti PISA ini adalah bagaimana kita melakukan tindak lanjut berdasar diagnosa yang dihasilkan dari survei tersebut. Peningkatan capaian yang terjadi harus terus ditingkatkan dengan meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia. Bila laju peningkatan tahun 2012-2015 dapat dipertahankan, maka pada tahun 2030 capaian kita akan sama dengan capaian rerata negara-negara OECD. Perlu optimis untuk terus bekerja keras.*
Jakarta, 6 Desember 2016
Biro Komunikasi dan Layanan Masyarakat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Infografis hasil survei PISA:
Sumber :
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy mengungkapkan, peningkatan capaian anak-anak kita patut diapresiasi dan membangkitkan optimisme nasional, tapi jangan lupa masih banyak PR untuk terus meningkatkan mutu pendidikan karena capaian masih di bawah rerata negara-negara OECD. Bila laju peningkatan capaian ini dapat dipertahankan, maka pada tahun 2030 capaian kita akan sama dengan rerata OECD.
PISA merupakan sistem ujian yang diinisasi oleh Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD), untuk mengevaluasi sistem pendidikan dari 72 negara di seluruh dunia. Setiap tiga tahun, siswa berusia 15 tahun dipilih secara acak, untuk mengikuti tes dari tiga kompetensi dasar yaitu membaca, matematika dan sains. PISA mengukur apa yang diketahui siswa dan apa yang dapat dia lakukan (aplikasi) dengan pengetahuannya. Tema survei digilir setiap 3 tahun, tahun 2015 fokus temanya adalah kompetensi sains.
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kemdikbud, Totok Suprayitno, menyampaikan bahwa peningkatan capaian Indonesia tahun 2015 cukup memberikan optimisme, meskipun masih rendah dibanding rerata OECD. Berdasar nilai rerata, terjadi peningkatan nilai PISA Indonesia di tiga kompetensi yang diujikan. Peningkatan terbesar terlihat pada kompetensi sains, dari 382 poin pada tahun 2012 menjadi 403 poin di tahun 2015. Dalam kompetensi matematika meningkat dari 375 poin di tahun 2012 menjadi 386 poin di tahun 2015. Kompetensi membaca belum menunjukkan peningkatan yang signifikan, dari 396 di tahun 2012 menjadi 397 poin di tahun 2015. Peningkatan tersebut mengangkat posisi Indonesia 6 peringkat ke atas bila dibandingkan posisi peringkat kedua dari bawah pada tahun 2012.
Sedangkan, berdasar nilai median, capaian membaca siswa Indonesia meningkat dari 337 poin di tahun 2012 menjadi 350 poin di tahun 2015. Nilai matematika melonjak 17 poin dari 318 poin di tahun 2012, menjadi 335 poin di tahun 2015. Lonjakan tertinggi terlihat pada capaian sains yang mengalami kenaikan dari 327 poin di tahun 2012 menjadi 359 poin di tahun 2015. Peningkatan capaian median yang lebih tinggi dari mean ini merupakan indikator yang baik dari sisi peningkatan akses dan pemerataan kualitas secara inklusif.
Kepala Pusat Penilaian Pendidikan Balitbang (Kapuspendik Balitbang) Kemendikbud mengatakan secara konsisten terjadi peningkatan cakupan sampling peserta didik Indonesia yaitu sebanyak 46 persen di tahun 2003 menjadi 53 persen di tahun 2006. Selanjutnya, angka tersebut naik ke 63,4 persen di tahun 2012, dan menjadi 68,2 persen di tahun 2015. “Peningkatan cakupan sampling ini merupakan bukti capaian wajib belajar 9 tahun dan ekspansi menuju wajar 12 Tahun dan inklusi kepesertaan murid Indonesia dalam pendidikan membuahkan hasil” jelasnya, di Jakarta, Selasa (6/12/2016).
Berdasarkan waktu pembelajaran sains, seluruh negara yang tergabung dalam OECD menunjukkan 94% murid rata-rata mengikuti satu mata pelajaran sains dalam seminggu. Namun, di Indonesia, sejumlah 4% murid tercatat sama sekali tidak dituntut untuk mengikuti mata pelajaran sains. Ketidakharusan untuk mengikuti mata pelajaran sains lebih besar lima persen di sekolah yang kurang beruntung, dibandingkan di sekolah yang lebih maju. Sedangkan, sekolah yang maju di Indonesia menawarkan kegiatan kelompok belajar sains lebih banyak dibandingkan sekolah-sekolah yang kurang beruntung. “Hanya 29% murid yang bersekolah di sekolah yang kurang beruntung diberi kesempatan mengikuti kelompok belajar sains, sementara 75% murid di sekolah maju memiliki kesempatan yang lebih banyak,” jelas Kapuspendik.
Hasil riset tiga tahunan ini juga mengungkapkan adanya variasi perolehan prestasi literasi sains berdasarkan tiga aspek. Pertama, aspek peranan sekolah terbukti berpengaruh terhadap capaian nilai sains siswa, tercatat para siswa yang mendapat nilai tinggi untuk literasi sains karena adanya peranan kepala sekolah, yaitu menunaikan tanggungjawabnya atas tata kelola sekolah yang baik, murid-muridnya tercatat mencapai nilai yang lebih tinggi dalam hal sains. Jika proporsi kepala sekolah yang memonitor prestasi murid-murid dan melaporkannya secara terbuka lebih tinggi, maka angka pencapaian PISA mereka terbukti lebih tinggi. Di sisi lain, proporsi kepala sekolah yang mengeluhkan kekurangan materi pelajaran lebih tinggi dari negara-negara lain, yaitu sebesar 33% di Indonesia, 17% di Thailand dan 6% di negara-negara OECD lainnya.
Kedua, aspek prestasi sains antara siswa dari sekolah swasta dengan sekolah negeri menunjukkan perbedaan capaian nilai yang signifikan. Sekitar 4 dari 10 siswa di Indonesia bersekolah di sekolah swasta, secara signifikan jumlah ini lebih tinggi dari rata-rata negara OECD dan negara tetangga seperti Thailand dan Vietnam. Murid-murid Indonesia di sekolah negeri mencatat nilai 16 poin lebih tinggi di bidang kompetensi sains, dibandingkan rekan-rekannya di sekolah swasta, dengan mempertimbangkan latar belakang status sosial ekonomi mereka.
Ketiga, aspek latar belakang sosial ekonomi, dari hasil PISA 2015 menunjukkan, 1 dari 4 responden sampel PISA Indonesia memiliki orangtua dengan pendidikan hanya tamat SD atau tidak tamat SD. Jumlah ini merupakan terbesar kedua dari seluruh negara peserta. Namun jika dibandingkan dengan siswa-siswa di negara lain yang memiliki orang tua berlatar belakang pendidikan sama, maka pencapaian sains murid-murid Indonesia masih lebih baik dari 22 negara lainnya. Tercatat skor sains Indonesia dalam PISA 2015 adalah 403, jika latar belakang sosial ekonomi negara-negara peserta disamakan, maka pencapaian skor sains Indonesia berada di angka 445 dan posisi Indonesia naik sebanyak 11 peringkat.
Hal yang terpenting dari survei benchmarking internasional seperti PISA ini adalah bagaimana kita melakukan tindak lanjut berdasar diagnosa yang dihasilkan dari survei tersebut. Peningkatan capaian yang terjadi harus terus ditingkatkan dengan meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia. Bila laju peningkatan tahun 2012-2015 dapat dipertahankan, maka pada tahun 2030 capaian kita akan sama dengan capaian rerata negara-negara OECD. Perlu optimis untuk terus bekerja keras.*
Jakarta, 6 Desember 2016
Biro Komunikasi dan Layanan Masyarakat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Infografis hasil survei PISA:
Sumber :
Penulis : pengelola web kemdikbud
Editor :
Dilihat 213042 kali
Editor :
Dilihat 213042 kali