Literasi Digital Kunci dalam Membangun Budaya Positif Berinternet  10 Desember 2018  ← Back

 

Jakarta, Kemendikbud – Ada banyak pandangan dan diskusi yang menarik selama Kongres Kebudayaan Indonesia 2018 berlangsung, salah satunya mengenai bagaimana membangun budaya positif dalam ekosistem digital tempat kita “hidup” sehari-hari atau dengan kata lain, berinternet. Bukan hanya dalam satu forum topik ini disampaikan, namun dalam dua forum yang berbeda yaitu Inspirasi “Realisme Sumir” oleh Agan Harahap dan Debat Publik “Literasi Digital: Kebudayaan Hari ini dan Esok” dengan narasumber Shafiq Pontoh dan Roy Thaniago, pada Jumat lalu (7/12) di Kompleks Kemendikbud, Jakarta.

 

Agan Harahap, seniman digital imaging yang terkenal dengan berbagai editan fotonya yang bertema komedi dan satir ini menyadari, foto hasil editannya seringkali disalahgunakan untuk menyebarkan informasi yang tidak benar atau hoaks. Namun menurutnya, melihat kemampuan memahami literasi digital seseorang akan sangat membantu dalam bersikap ketika ia memperoleh gambar atau informasi tertentu. 

 

Foto-foto hasil editannya seringkali merupakan refleksi dari kejadian sosial politik yang sedang terjadi. Salah satu contohnya adalah ketika Ia mengedit foto dua tokoh yang saling berseberangan pandangan seakan bertemu dan bersalaman. Ia menangkap fenomena terpecah belahnya pertemanan dan persaudaraan akibat Pemilihan Kepala Daerah ketika itu. Akibatnya Ia dituduh membuat berita palsu atau hoaks, padahal ia justru mencoba menyampaikan pesan.

“Revolusi digital bukannya membuat kita semakin cerdas. Tujuannya untuk menunjukkan bahwa sesungguhnya pihak berseberangan pun bisa berteman, tetapi malah dibilang fitnah. Jadi sebetulnya ingin kita semua berteman atau berperang?” ujar Agan.

 

Melihat berbagai fenomena yang terjadi, Agan melihat ada kesenjangan intelektual. Kecanggihan teknologi seperti adanya ponsel cerdas tidak serta-merta membuat penggunanya memahami literasi digital. Untuk itu, Agan memiliki beberapa saran agar masyarakat bisa membedakan antara gambar yang asli atau hoaks. Hal utama yang mesti dilakukan adalah memperbanyak literasi.

“Tidak usah terlalu grasa-grusu, tidak usah terlalu terdepan atau teraktual dalam menyebarkan berita, santai saja dulu, perbanyak literasi,” saran Agan.

 

Senada dengan hal tersebut, dalam forum yang berbeda, pemerhati pendidikan Shafiq Pontoh menyoroti budaya negatif yang tumbuh dalam berinternet atau yang Ia sebut dengan ekosistem digital, seperti persekusi digital, teror digital, berita palsu atau hoaks, dan lainnya. Seperti halnya lingkungan tempat tinggal, jika lingkungan tidak sehat dan kotor, manusia yang tinggal bisa jatuh sakit. Demikian pula dengan ekosistem yang penuh sampah, manusia dapat sakit secara mental.

 

Shafiq mendorong masyarakat untuk menggunakan hak dalam membuat ekosistem digital “tempat hidup” sehari-hari ini tetap bersih. Salah satu kiat yang Ia berikan dalam membangun budaya positif berinternet adalah dengan mendukung konten-konten yang juga positif.

“Rajin-rajinlah visit teman-teman lama kita yang positif kegiatannya. Kita beri komentar, love, like. Postingan yang bagus dan bermanfaat kita bantu share juga, supaya pelan-pelan kita detoks internet,” tuturnya.

 

Pemahaman literasi digital menjadi kunci utama dalam usaha membersihkan ekosistem digital, “Pada dasarnya kita perlu memahami tentang literasi digital supaya kita bisa menavigasi diri dalam ekosistem digital. Literasi digital tidak hanya perlu diketahui masyarakat umum, tapi juga oleh pengambil keputusan, karena jika pengambil keputusan tidak paham, dia membuat KPI-KPI (Key Performance Indicator) yang sebetulnya tidak masuk akal atau tidak berpengaruh sama sekali,” ujar shafiq.

 

Memahami literasi digital juga dapat berarti dapat memanfaatkan platform digital untuk kebaikan dan manfaat bagi diri sendiri, contohnya untuk menjalankan bisnis secara daring. Hal lain yang tidak kalah penting adalah, perlunya membangun budaya terkait percakapan yang sehat di internet. “Kalau kita mau diskusi atau debat tidak perlu pakai kata-kata kasar, logical fallacy, logika diacak-adut, dibolak-balik, satu ngomong kanan, satu ngomong kiri, kalau memang mau berdebat, debat atau diskusi secara sehat. Termasuk ketika ngobrol di chat platform,” pungkas Shafiq. (Prani Pramudita)


Sumber :

 


Penulis : pengelola web kemdikbud
Editor :
Dilihat 2450 kali