Kemendikbud Ajak Daerah Tingkatkan Pendidikan Inklusif 15 Juli 2019 ← Back
Surabaya, Kemendikbud --- Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (kemendikbud) berharap agar komitmen pemerintah daerah terhadap implementasi pendidikan inklusif dapat terus ditingkatkan. Direktur Pembinaan Pendidikan Khusus, Sanusi, mengungkapkan bahwa pemerintah daerah menjadi kunci dalam peningkatan akses layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus, baik melalui Sekolah Luar Biasa (SLB) maupun sekolah inklusi sesuai dengan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa.
"Tidak harus kabupaten atau kota itu mendeklarasikan sebagai wilayah inklusi. Yang penting bisa dipastikan di setiap kecamatan ada sekolah inklusinya," disampaikan Direktur Pembinaan Pendidikan Khusus, Sanusi pada penutupan Rapat Koordinasi Kelompok Kerja (pokja) Pendidikan Inklusif, di Surabaya, Minggu (14/7/2019).
Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 mewajibkan agar pemerintah kabupaten/kota menunjuk paling sedikit satu sekolah dasar, dan satu sekolah menengah pertama pada setiap kecamatan. Dan satu satuan pendidikan menengah untuk menyelenggarakan pendidikan inklusif yang wajib menerima peserta didik berkebutuhan khusus. "Permendiknas 70 Tahun 2009 ini memang sudah sepuluh tahun. Kita terus pantau dan evaluasi. Tentunya kita harapkan dapat dipatuhi oleh pemerintah daerah," tutur Sanusi.
Direktur Pembinaan Pendidikan Khusus mengakui bahwa perubahan kewenangan mengenai pengelolaan pendidikan khusus, sesuai Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, menjadi tantangan tersendiri. Saat ini SLB dikelola oleh Pemerintah Provinsi, setelah sebelumnya dikelola oleh Pemerintah Kabupaten/Kota. Alokasi anggaran menjadi salah satu isu dalam menjaga mutu dan penyediaan fasilitas pendidikan khusus.
Maka, melalui kebijakan zonasi pendidikan, Pemerintah berupaya lebih sigap dalam melakukan intervensi dan afirmasi dalam meningkatkan akses dan mutu pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus, khususnya dalam mendorong pendidikan inklusif. "Permendikbudnya 'kan sudah jelas. Dari zonasi 80 persen itu mewajibkan kuota untuk siswa berkebutuhan khusus dan untuk siswa miskin. Kita harapkan ini dipatuhi juga oleh pemerintah daerah, dan kita akan dukung," kata Sanusi.
"Targetnya ya di setiap zona itu minimal ada satu sekolah inklusi," imbuhnya.
Pendidikan inklusif adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya. Karena setiap anak berhak mendapatkan pendidikan yang layak sebagai pelayanan dasar yang wajib diberikan oleh negara. "Pendidikan itu 'kan tidak boleh diskriminasi. Pendidikan itu untuk semua. Meskipun anak-anak kita itu berkebutuhan khusus, harus memiliki hak yang sama," kata Sanusi.
Adapun peserta didik yang dimaksud dalam peraturan menteri di antaranya adalah siswa tunanetra; tunarungu; tunawicara; tunagrahita; tunadaksa; tunalaras; berkesulitan belajar; lamban belajar; autis; memiliki gangguan motorik; korban penyalahgunaan narkoba, obat terlarang dan zat adiktif lainnya; serta tunaganda. "Yang namanya pendidikan khusus itu ditanganinya secara khusus, pembiayaannya khusus, dan gurunya juga khusus," ujar Sanusi.
Sekolah yang menyelenggarakan pendidikan inklusif dapat bekerja sama dan membangun jaringan dengan satuan pendidikan khusus, perguruan tinggi, organisasi profesi, lembaga rehabilitasi, rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, klinik terapi, dunia usaha, lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan masyarakat.
Kemendikbud berharap agar Tim Pokja Pendidikan Inklusif dapat terus menggelorakan pentingnya pendidikan khusus di wilayah masing-masing. Berdasarkan pantauan Kemendikbud, aksesibilitas bagi anak berkebutuhan khusus masih perlu ditingkatkan, baik di sekolah umum maupun yang telah menyelenggarakan pendidikan inklusif. Sanusi meminta setiap perwakilan dapat memberikan masukan guna meningkatkan pelayanan bagi siswa berkebutuhan khusus. "Kami minta bantuan kepada bapak dan ibu mengenai peningkatan aksesibilitas di lingkungan sekolah-sekolah inklusi," pesannya.
Hardadi Gatot, Guru Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 1 Kota Palu, Sulawesi Tengah, yang ditugaskan dalam kegiatan pokja pendidikan inklusif mengungkapkan pentingnya peningkatan pemahaman pemangku kepentingan di daerah mengenai pendidikan khusus. Selain itu, koordinasi antara guru sekolah inklusi dengan dinas pendidikan dirasa masih perlu diperbaiki. "Kami harapkan segera diterbitkan SK tim kelompok kerja pendidikan inklusif dari Dinas Pendidikan," ujar Gatot.
Segera, menurut Sanusi, Peraturan Pemerintah (PP) mengenai akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas di bidang pendidikan akan diterbitkan untuk mendorong peningkatan pelayanan bagi anak berkebutuhan khusus.
Saat ini, dengan adanya perubahan nomenklatur, seiring dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, Kemendikbud tengah merancang penerbitan Permendikbud tentang Pendidikan Khusus. "Nantinya akan mencakup di wilayah segregasi yang ada di SLB, pendidikan inklusi, kemudian yang cerdas istimewa dan bakat istimewa," pungkas Sanusi. (*)
Surabaya, 14 Juli 2019
Biro Komunikasi dan Layanan Masyarakat
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Laman: kemdikbud.go.id
Twitter: twitter.com/Kemdikbud_RI
Instagram: instagram.com/kemdikbud.ri
Facebook: fb.com/kemdikbud.ri
Youtube: KEMENDIKBUD RI
#ProgramKerja
#SemuaBisaSekolah
#PendidikanUntukSemua
#CerdasBerkarakter
Sumber : SIARAN PERS BKLM, Nomor: 231/Sipres/A5.3/VII/2019
"Tidak harus kabupaten atau kota itu mendeklarasikan sebagai wilayah inklusi. Yang penting bisa dipastikan di setiap kecamatan ada sekolah inklusinya," disampaikan Direktur Pembinaan Pendidikan Khusus, Sanusi pada penutupan Rapat Koordinasi Kelompok Kerja (pokja) Pendidikan Inklusif, di Surabaya, Minggu (14/7/2019).
Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 mewajibkan agar pemerintah kabupaten/kota menunjuk paling sedikit satu sekolah dasar, dan satu sekolah menengah pertama pada setiap kecamatan. Dan satu satuan pendidikan menengah untuk menyelenggarakan pendidikan inklusif yang wajib menerima peserta didik berkebutuhan khusus. "Permendiknas 70 Tahun 2009 ini memang sudah sepuluh tahun. Kita terus pantau dan evaluasi. Tentunya kita harapkan dapat dipatuhi oleh pemerintah daerah," tutur Sanusi.
Direktur Pembinaan Pendidikan Khusus mengakui bahwa perubahan kewenangan mengenai pengelolaan pendidikan khusus, sesuai Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, menjadi tantangan tersendiri. Saat ini SLB dikelola oleh Pemerintah Provinsi, setelah sebelumnya dikelola oleh Pemerintah Kabupaten/Kota. Alokasi anggaran menjadi salah satu isu dalam menjaga mutu dan penyediaan fasilitas pendidikan khusus.
Maka, melalui kebijakan zonasi pendidikan, Pemerintah berupaya lebih sigap dalam melakukan intervensi dan afirmasi dalam meningkatkan akses dan mutu pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus, khususnya dalam mendorong pendidikan inklusif. "Permendikbudnya 'kan sudah jelas. Dari zonasi 80 persen itu mewajibkan kuota untuk siswa berkebutuhan khusus dan untuk siswa miskin. Kita harapkan ini dipatuhi juga oleh pemerintah daerah, dan kita akan dukung," kata Sanusi.
"Targetnya ya di setiap zona itu minimal ada satu sekolah inklusi," imbuhnya.
Pendidikan inklusif adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya. Karena setiap anak berhak mendapatkan pendidikan yang layak sebagai pelayanan dasar yang wajib diberikan oleh negara. "Pendidikan itu 'kan tidak boleh diskriminasi. Pendidikan itu untuk semua. Meskipun anak-anak kita itu berkebutuhan khusus, harus memiliki hak yang sama," kata Sanusi.
Adapun peserta didik yang dimaksud dalam peraturan menteri di antaranya adalah siswa tunanetra; tunarungu; tunawicara; tunagrahita; tunadaksa; tunalaras; berkesulitan belajar; lamban belajar; autis; memiliki gangguan motorik; korban penyalahgunaan narkoba, obat terlarang dan zat adiktif lainnya; serta tunaganda. "Yang namanya pendidikan khusus itu ditanganinya secara khusus, pembiayaannya khusus, dan gurunya juga khusus," ujar Sanusi.
Sekolah yang menyelenggarakan pendidikan inklusif dapat bekerja sama dan membangun jaringan dengan satuan pendidikan khusus, perguruan tinggi, organisasi profesi, lembaga rehabilitasi, rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, klinik terapi, dunia usaha, lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan masyarakat.
Kemendikbud berharap agar Tim Pokja Pendidikan Inklusif dapat terus menggelorakan pentingnya pendidikan khusus di wilayah masing-masing. Berdasarkan pantauan Kemendikbud, aksesibilitas bagi anak berkebutuhan khusus masih perlu ditingkatkan, baik di sekolah umum maupun yang telah menyelenggarakan pendidikan inklusif. Sanusi meminta setiap perwakilan dapat memberikan masukan guna meningkatkan pelayanan bagi siswa berkebutuhan khusus. "Kami minta bantuan kepada bapak dan ibu mengenai peningkatan aksesibilitas di lingkungan sekolah-sekolah inklusi," pesannya.
Hardadi Gatot, Guru Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 1 Kota Palu, Sulawesi Tengah, yang ditugaskan dalam kegiatan pokja pendidikan inklusif mengungkapkan pentingnya peningkatan pemahaman pemangku kepentingan di daerah mengenai pendidikan khusus. Selain itu, koordinasi antara guru sekolah inklusi dengan dinas pendidikan dirasa masih perlu diperbaiki. "Kami harapkan segera diterbitkan SK tim kelompok kerja pendidikan inklusif dari Dinas Pendidikan," ujar Gatot.
Segera, menurut Sanusi, Peraturan Pemerintah (PP) mengenai akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas di bidang pendidikan akan diterbitkan untuk mendorong peningkatan pelayanan bagi anak berkebutuhan khusus.
Saat ini, dengan adanya perubahan nomenklatur, seiring dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, Kemendikbud tengah merancang penerbitan Permendikbud tentang Pendidikan Khusus. "Nantinya akan mencakup di wilayah segregasi yang ada di SLB, pendidikan inklusi, kemudian yang cerdas istimewa dan bakat istimewa," pungkas Sanusi. (*)
Surabaya, 14 Juli 2019
Biro Komunikasi dan Layanan Masyarakat
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Laman: kemdikbud.go.id
Twitter: twitter.com/Kemdikbud_RI
Instagram: instagram.com/kemdikbud.ri
Facebook: fb.com/kemdikbud.ri
Youtube: KEMENDIKBUD RI
#ProgramKerja
#SemuaBisaSekolah
#PendidikanUntukSemua
#CerdasBerkarakter
Sumber : SIARAN PERS BKLM, Nomor: 231/Sipres/A5.3/VII/2019
Penulis : Pengelola Siaran Pers
Editor :
Dilihat 67040 kali
Editor :
Dilihat 67040 kali