Kemendikbud Gelar Seminar Nasional “Majapahit"  30 Agustus 2019  ← Back


Jakarta, Kemendikbud --- Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terletak di antara 2 benua dan 2 samudera. Kondisi geografis yang berada di jalur persilangan dunia ini menjadikan Indonesia sebagai negara yang sangat strategis. Hampir seluruh kapal dagang melintasi jalur ini walaupun hanya sebagai tempat transit.

Pada abad ke-12, muncul sebuah kerajaan besar yang diperintah oleh raja bernama Hayam Wuruk dan patih Gajah Mada. Pada masa kepemimpinan Hayam Wuruk inilah, Majapahit menjadi kerajaan yang sangat disegani oleh kerajaan-kerajaan lain karena wilayahnya yang sangat luas, perekonomian yang maju, dan armada yang kuat.

Untuk mengingatkan kembali kebesaran Majapahit kepada masyarakat luas,
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) melalui Direktorat Sejarah, Direktorat Jenderal Kebudayaan (Ditjen Kebudayaan) bekerjasama dengan Komite Seni Budaya Nusantara (KSBN) menggelar seminar nasional dengan tema “Majapahit: Refleksi Kejayaan Negara Agraris, Maritim, dan Demokrasi Deliberatif; Dahulu, Kini, dan Masa yang Akan Datang.”

“Kita punya masalah dalam diskusi sejarah, yaitu masalah objektivitas. Mungkin karena kita ini orang timur sehingga tidak ada keberanian untuk mengungkapkan hal yang sebetulnya itu fakta sejarah tetapi dianggap tidak elok, tidak pantas kalau itu diungkap secara telanjang. Padahal tanggung jawab kita untuk mengungkap sejarah itu (perlu) objektivitas. Kita tahu tapi tidak berani menuturkan,” demikian disampaikan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Muhadjir Effendy, saat memberikan pidato utama dalam seminar nasional mengenai Majapahit yang dilaksanakan di Museum Nasional, Jakarta, pada Kamis (29/08/2019).

Menurut Mendikbud, Indonesia memiliki sejarah panjang mengenai konflik. Namun jarang sekali konflik-konflik tersebut dibahas secara tuntas karena enggan mengungkitnya. “Konflik dalam sejarah kita tidak dikupas secara telanjang sehingga kita meneladani sejarah secara timpang karena kita tidak belajar dari bagaimana orang dulu berkonflik kemudian menyelesaikannya atau seandainya dulu tidak selesai, bagaimana kita kemudian mengambil sari sejarah itu kemudian kita mencari cara agar jangan sampai sejarah itu terulang. Perlu kita ketahui, sampai sekarang tidak ada satu pun peninggalan yang bisa memastikan di mana letak kerajaan Majapahit, semuanya spekulasi. Kenapa? Menurut saya itu akibat konflik. Dulu kita punya tradisi "tumpas kelor" saat terjadi konflik. Tumpas kelor artinya begitu satu pihak dikalahkan maka akan dihabisi semua sampai ke peninggalan-peninggalannya. Saya kira kita harus belajar. Sejarawan perlu menggali sebenarnya konflik itu seperti apa, kalau memang dulu ada solusi maka bisa kita petik untuk membangun NKRI terutama dalam mengelola konflik, tapi kalau dulu tidak ada solusi maka kita bisa menghindari agar jangan sampai terulang lagi. Saya ambil contohnya Perang Bubat. Oleh karena itu, perlu pendalaman serius mengenai hal-hal negatif dalam perjalanan sejarah kita yang cenderung kita hitam-hitamkan padahal itu penting untuk dijadikan dasar untuk berkaca sehingga kita bisa membuat langkah yang positif,” jelas Mendikbud.

Dilanjutkan Mendikbud, persa tuan tidak mungkin akan tercipta di Indonesia jika bangsa Indonesia tidak memiliki kemampuan mengelola konflik dengan baik. “Selama kita masih menerima keanekaragaman pasti namanya konflik adalah bagian di dalamnya. Masalahnya bagaimana kita mengelola konflik itu sehingga menjadi energi positif bukan energi destruktif yang kemudian memecah belah negara kita. Menurut saya sampai saat ini kita masih menanggung beban akibat dari solusi konflik fisik sisa-sisa bekas perjalanan sejarah ketika kita membangun NKRI. Ini juga tugas sejarawan untuk mencarikan solusi agar bagaimana bekas ini tidak terus-terusan berdampak pada generasi yang akan datang. Jangan lagi keterlukaan diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya,” pungkas Mendikbud.

Sementara itu, Ketua KSBN, Hendardji Soepandji, dalam sambutannya menjelaskan bahwa seminar ini bukan dimaksudkan untuk kembali ke masa lalu atau untuk bernostalgia dengan masa lalu, melainkan menjadikan sejarah sebagai kaca benggala untuk membangun masa depan yang lebih baik. “Menjelang Proklamasi 17 Agustus 1945, dikumandangkan nilai-nilai perjuangan yang dibangun oleh para pendiri bangsa, banyak mengerucut pada nilai-nilai kebesaran Majapahit. Pada 700 tahun yang lalu, Majapahit bukan hanya sebuah kerajaan melainkan menjadi sebuah imperium kekuasaan terbesar di Asia Tenggara yang berjaya dan sudah mengenal sistem demokrasi, hukum, birokrasi dan sistem pembagian kekuasaan serta otonomi daerah sebelum dunia mengenal trias politica pada abad ke-19,” ujar Hendardji.

Namun, menurut Hendardji, dunia kini telah berubah. Isu global telah melanda dunia yang membawa angin perubahan seperti masalah transisi demokrasi dan liberalisasi di berbagai aspek kehidupan mengakibatkan memudarnya pemahaman dan implementasi nilai-nilai dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pada tingkat nasional terjadi konflik dan polarisasi yang disebabkan oleh euforia reformasi.

“Transisi demokrasi yang sentralistik di era Orde Baru ke demokrasi dan pelaksanaan otonomi daerah yang cenderung mengedepankan kepentingan lokal dan primordialisme, baik berdasarkan wujud kesukuan, etnis, maupun agama. Kemajemukan suku, agama, ras, dan antargolongan yang seharusnya menjadi kekuatan justru sering menjadi cikal bakal konflik, baik horizontal maupun vertikal. Situasi sosial politik dan ekonomi saat ini begitu kuat sehingga kita belum secara bebas dapat mewujudkan cita-cita kemerdekaan yang mewujudkan masyarakat yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Salah satu penyebabnya adalah bangsa kita tercabut dari akar budaya sehingga kita lupa pada jati diri bangsa. Oleh karena itu, pada hari ini Komite Seni Budaya Nusantara bekerjasama dengan Direktorat Sejarah Kemendikbud menggelar seminar nasional tentang Majapahit dengan mengundang 8 pembicara untuk memberi pencerahan bagaimana seharusnya kita kembali pada jati diri sebagai bangsa Indonesia, bangsa maritim dalam arti yang seluas-luasnya,” pungkasnya.

Tujuan penyelenggaraan seminar “Majapahit: Refleksi Kejayaan Negara Agraris, Maritim, dan Demokrasi Deliberatif; Dahulu, Kini, dan Masa yang Akan Datang” adalah menjadikan nilai-nilai dan pengalaman sejarah kejayaan Majapahit untuk dijadikan modal sosial bagi kemajuan bangsa Indonesia di masa depan menghadapi berbagai tantangan nasional, regional, dan global.

Selain itu, seminar ini dimaksudkan agar para generasi milenial saat ini dapat meneladani filosofi, perilaku, karakter, dan kepemimpinan para tokoh yang berperan aktif dalam mendukung kejayaan kerajaan Majapahit seperti Raja Hayam Wuruk, Ratu Tribhuwana Tunggadewi, dan Mahapatih Gajah Mada.












 
Jakarta, 30 Agustus 2019
Biro Komunikasi dan Layanan Masyarakat
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Laman: www.kemdikbud.go.id

Sumber : Siaran Pers BKLM, Nomor: 280/Sipres/A5.3/VIII/2019

 


Penulis : Pengelola Siaran Pers
Editor :
Dilihat 4461 kali