Mendikbud: Percepat Kodifikasi Bahasa Daerah untuk Menghindari Kepunahan  13 September 2019  ← Back

Jakarta, Kemendikbud --- Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) melalui melalui Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan menyelenggarakan Seminar Leksikografi Indonesia 2019, dibuka oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), di Hotel Sultan, Jakarta, Rabu (11/09/2019). Seminar ini diselenggarakan sebagai upaya mendorong mempercepat kodifikasi bahasa daerah untuk menghindari kepunahan warisan budaya takbenda, dan membangun sumber daya manusia (SDM) melalui Gerakan Literasi Nasional (GLN) dalam menyambut era revolusi industri 4.0.

“Di Indonesia banyak sekali bahasa yang bisa diratifikasi. Selama ini baru 668 bahasa, padahal itu belum sampai separuh. Jadi masih perlu kerja keras untuk bisa mengumpulkan khasanah kekayaan takbenda kita, terutama yang berkaitan dengan kebahasaan. Karena kalau tidak segera kita kodifikasi hanya berkembang sebagai bahasa penutur, bukan bahasa tulis, maka kita tidak bisa menjamin akan langgeng karena yang terancam punah banyak dan yang sudah punah juga banyak. Hal ini karena semakin kehilangan orang yang menggunakannya dan tidak ada pencatatan yang sistematis. Oleh karena itu, peranan para leksikograf menjadi sangat penting untuk Indonesia,” terang Mendikbud

Untuk mendukung peningkatan literasi, dikatakan Mendikbud, kamus memiliki peranan penting sebagai penyedia informasi dan ilmu pengetahuan sekaligus sebagai rujukan serta alat untuk melestarikan bahasa. Peningkatan kualitas dan kuantitas kamus merupakan langkah strategis dalam mendukung gerakan literasi yang akan berujung pada peningkatan kualitas SDM. “Peranan para leksikograf menjadi sangat penting untuk Indonesia. Saya berharap ada perencanaan yang sungguh-sungguh untuk menyiapkan tenaga-tenaga ahli di bidang leksikografi ini terutama untuk mengimbangi atau mempercepat kompilasi dan kodifikasi terhadap bahasa-bahasa yang sekarang masih menjadi bahasa lisan di kalangan masyarakat kita,” imbuh Mendikbud.

Menurut Mendikbud, kemajuan teknologi informasi saat ini harus disikapi para leksikograf dengan bijaksana. “Tantangan yang lebih serius sebetulnya adalah mulai bergesernya dunia lisan menjadi dunia tulisan. Dalam dunia tulisan ditemukan teknologi yang sangat modern berupa kertas. Sekarang kertas sudah tidak modern lagi dan mulai ditinggalkan menjadi dunia elektronik, dunia siber, dunia virtual. Hal ini tentu saja harus menjadi bahan diskusi para leksikograf, bagaimana menghadapi tantangan terbaru saat ini. Sekarang ini untuk mengakses kosakata tidak sesulit dahulu yang memerlukan kamus tebal tapi cukup membawa satu ponsel bisa menjelajah dalam waktu yang singkat dan bisa memeriksa kembali dari berbagai sumber,” tutur Mendikbud.

Kemajuan teknologi informasi, lanjut Mendikbud, di satu sisi memang bagus. Namun di sisi lain, secara mental membuat manusia menjadi ketergantungan. “Jadi sebetulnya kemudahan itu tidak selalu baik untuk perkembangan bangsa. Sesuatu kalau tidak fungsional akan hilang tapi kalau fungsional maka akan terus bertahan. Sekarang ini fungsi otak (ingatan) kita sudah tidak terlalu berfungsi karena ingatan kita sudah diambil alih oleh komputer. Kecerdasan kita juga tidak terlalu berfungsi karena sudah diambil oleh kecerdasan buatan (artificial intelligence). Sekarang fungsi otak kita hanya untuk meng-coding dan mencari kata kunci karena untuk kata lengkapnya sudah disediakan di dunia maya dalam bentuk komputasi awan (cloud computing) yang daya tampungnya tak terbatas. Kita punya Kamus Bahasa Indonesia yang tebal dan kemudian masuk ke elektronik dalam bentuk kamus daring. Hal ini luar biasa dan perkembangan ini merupakan tantangan bagi para leksikograf,” jelas Mendikbud.

Saat ini dunia industri kreatif sangat didorong untuk maju. Di satu sisi ada industri massal yang berbasis pada industri 4.0 tetapi tetap ada kebutuhan akan karya kreatif. “Setiap orang ingin memiliki keunikan dan eksklusivitas masing-masing dan ini merupakan pasar. Menurut saya leksikograf adalah termasuk pekerjaan kreatif yang tidak mungkin diganti oleh kecerdasan buatan dan berbagai macam teknologi pendukungnya. Namun mau tidak mau harus bersinggungan dengan teknologi yang baru. Mudah-mudahan ini bisa memberi sedikit wawasan untuk dijadikan bahan renungan para leksikograf, terutama yang muda-muda karena masa depan leksikografi ada di tangan yang muda-muda ini. Tentu saja yang senior harus menularkan pengalaman yang telah didapat selama ini dan yang muda harus dapat meneruskan,” pungkas Mendikbud.

Ditemui awak media usai kegiatan, Mendikbud mengatakan bahwa perlu adanya upaya untuk menarik bahasa lokal (minor) untuk menjadi bahasa daerah. “Kemarin ada seminar di Papua karena (bahasa) yang paling banyak ada di wilayah timur yang belum terindentifikasi dan terkompilasi. Untuk menghindari kepunahan harus ada upaya kita untuk menarik ke tingkat yang lebih tinggi, dari bahasa-bahasa minor (lokal) kalau bisa menjadi bahasa daerah sehingga memperkaya bahasa daerah. Bahasa lokal (minor) itu sangat terbatas kosakatanya dan itu harus diselamatkan dengan cara menarik menjadi bahasa daerah karena sebenarnya pertumbuhan semua bahasa daerah awalnya begitu. Dulu bahasa Jawa sebelum menjadi bahasa Jawa sebetulnya juga ada bahasa lokal (minor) yang kemudian kita kenal sebagai dialek,” terang Mendikbud.

Sementara itu, Kepala Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan Kemendikbud, Dadang Sunendar, mengatakan bahwa Indonesia memiliki bahasa negara yang hebat dan banyak sekali bahasa daerah. “Oleh karena itu, kita memerlukan banyak sekali leksikograf handal di tanah air, karena jumlah leksikograf di Indonesia ini belum cukup banyak dibandingkan dengan jumlah bahasa yang harus dikembangkan. Saya pikir Seminar Leksikografi Indonesia ini merupakan salah satu upaya kita untuk berdiskusi dan meningkatkan kemampuan para leksikograf di tanah air. Jadi, kita juga mengundang masyarakat luas ikut serta dalam kegiatan ini. Tujuannya yaitu ingin memperkenalkan kepada masyarakat bahwa ada dunia leksikografi yang sangat menarik. Sebuah profesi yang biasanya hanya dilakukan oleh leksikograf namun sekarang juga dilakukan oleh masyarakat. Melalui KBBI daring misalnya, setiap orang juga bisa langsung menjadi pekamus karena dia bisa mengusulkan, memberikan catatan, dan seterusnya,” tutur Dadang.

“Selain itu, dalam acara ini kita juga melaksanakan acara pameran. Ini merupakan pameran pertama yang dilakukan Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan yaitu pameran tentang kamus. Meskipun tidak semua kamus dimunculkan di sini tapi perjalanan kamus ini bisa terlihat juga dari produk-produk yang dihasilkan sejak dari Lembaga Kebahasaan, Pusat Bahasa, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa sampai sekarang menjadi Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan. Harapannya agar masyarakat juga bisa melihat dan mengetahui bahwa ada leksikograf di tengah masyarakat kita yang pekerjaannya kelihatannya seperti menyepi, menyendiri tetapi karyanya sungguh ditunggu oleh masyarakat,” imbuh Dadang.

Dilanjutkan Dadang, tidak lama lagi Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan akan meluncurkan kamus Braille elektronik yang diberi nama KBBI Disnet. “KBBI Disnet merupakan program baru kami yaitu KBBI Braille yang dikembangkan, karena versi cetaknya sudah diluncurkan tahun lalu. Kemudian tahun ini kita akan meluncurkan KBBI Braille elektronik dan mudah-mudahan sesuai jadwal. KBBI ini kami beri nama (sementara) KBBI Disnet artinya untuk disabilitas netra, di mana dasarnya menggunakan huruf-huruf Braille yang rencananya diluncurkan bulan depan (Oktober),” pungkas Dadang.

Seminar Leksikografi ini merupakan seminar yang diadakan setiap tahun sejak 2016 yang bertujuan untuk menghimpun para pekamus dan pemerhati bidang leksikografi di Indonesia khususnya, dan para pemerhati dan peneliti bahasa pada umumnya, untuk saling bertukar informasi terkini tentang perkembangan dunia leksikografi. Seminar akan berlangsung pada 11 s.d. 13 September 2019. Seminar ini dihadiri 150 orang dengan perincian 25 orang pemakalah, 114 orang peserta, dan 11 orang panitia. Pemakalah dan peserta berasal dari berbagai instansi dan profesi.

Adapun tema seminar kali ini adalah “Leksikografi dan Literasi”, dua bidang besar yang menjadi perhatian utama di Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan. Pemilihan tema tersebut didasarkan oleh pemikiran bahwa peningkatan kemampuan literasi tidak terlepas dari penggunaan sumber-sumber rujukan yang salah satu wujudnya adalah kamus dan produk-produk sejenis. Oleh karena itu, Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan menganggap penting untuk mengangkat tema ini dengan harapan dari seminar ini muncul ide dan pemikiran baru tentang pengembangan produk literasi yang dapat meningkatkan kemampuan literasi siswa dan masyarakat.

Berkaitan dengan itu, makalah yang akan disajikan dalam seminar ini dibagi menjadi empat subtema, sebagai berikut: (1) Kamus dan Pengembangan Literasi; (2) Leksikografi Berbasis Teknologi Informasi; (3) Leksikografi dan Literasi Budaya; dan (4) Leksikografi dalam Pendidikan.







Jakarta, 12 September 2019
Biro Komunikasi dan Layanan Masyarakat
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Laman: www.kemdikbud.go.id
Sumber : Siaran Pers BKLM, Nomor: 291/Sipres/A5.3/IX/2019

 


Penulis : Pengelola Siaran Pers
Editor :
Dilihat 2153 kali