Kolaborasi dan Praktik Baik Warga Pendidikan dalam Pembelajaran Jarak Jauh 11 November 2020 ← Back
Jakarta, Kemendikbud --- Pandemi Covid 19 yang mendera hampir sembilan bulan lamanya memaksa pemangku kepentingan di dunia pendidikan dan kebudayaan mem Pelaksana Tugas (Plt.) Sekretaris Dinas Pendidikan Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara, Thomas Welinson menyatakan, dari 104 SD Negeri di Malinau, sebanyak 61 SD sudah Belajar Tatap Muka dan 42 SD mengombinasikan Belajar Tatap Muka (BTM) dan Belajar Dari Rumah (BDR). Sedangkan untuk SMP Negeri, dari 35 SMPN, 12 SMP Negeri sudah BTM dan 22 SMP Negeri mengombinasikan BTM dan BDR.
Berikutnya, Thomas menyampaikan sejumlah tantangan yang ia hadapi di lapangan yaitu letak geografis yang sulit. Terdapat lima kecamatan yang tidak ada jalan air maupun darat. Satu-satunya transportasi hanya pesawat kecil yang hanya bisa mengangkut 4-5 orang.
“Dari 15 kecamatan di Malinau, sebetulnya semua sudah terjangkau internet, tapi kadang tidak stabil. Dan untuk memakai internet masih perlu diesel, sehingga orang tua siswa iuran untuk membeli minyak untuk menyalakan diesel. Selain itu, latar pendidikan orang tua juga ada yang tak memadai untuk mengajar anaknya di rumah dan tidak semua orang tua punya gawai atau laptop,” terangnya.
Dalam upaya meningkatkan kualitas pembelajaran di masa pandemi, dikatakan Thomas telah diupayakan pihaknya dengan terus mensosialisasikan pilihan kurikulum darurat, sehingga beban guru dan orang tua lebih ringan. “Kami juga sudah ada kebijakan BTM kembali dengan pertimbangan Malinau berada pada Zona Hijau dan transmisi lokal di sini sangat rendah. Dasarnya adalah Surat Edaran Bupati No. 420/492/HUKUM dan No. 420/516/HUKUM.”
Thomas juga menekankan bahwa pihaknya terus berkoordinasi dengan Gugus Tugas dan instansi terkait seperti Dinas Kesehatan Malinau dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) dalam melaksanakan BTM. “Kami menyusun POS dan Protokol Pola Hidup Sehat untuk Sektor Pendidikan. Pelaksanaan protokol ini juga kami kawal dan evaluasi terus secara berkala di setiap satuan pendidikan. Waktu di sekolah juga terbatas, maksimal empat jam dan untuk sekolah yang besar harus bergantian,” tegas Thomas.
Head of Education Yayasan Sayangi Tunas Cilik, Imelda Usnadibrata menemukan fakta bahwa 8 dari 10 anak mengatakan tidak bisa mengakses bahan belajar yang memadai. Sementara itu, 7 dari 10 orang tua dan 73% anak menyatakan (selama pandemi) mereka belajar jauh lebih sedikit.
“Kabar baiknya, di Indonesia ini lebih rendah dari angka global yaitu 83%. Selain itu, 1 dari 4 orang tua mengaku guru tidak memantau anaknya. Ini juga lebih rendah dari angka global 66%. Di sisi lain, secara global, harapan orang tua dan anak agar anak-anak kembali ke sekolah, justru semakin menurun,” ungkap Imelda.
Oleh karena itu, Yayasan Sayangi Tunas Cilik sebagai elemen organisasi masyarakat sipil yang peduli isu pendidikan, berinisiatif membantu pemerintah dalam hal mensukseskan PJJ. “Kami mencetak dan menyebarluaskan modul-modul yang sudah dibuat Kemendikbud. Kami buat Program Guru Kunjung di beberapa provinsi juga, jadi tiap guru bertanggungjawab terhadap 3 sampai 5 anak, dan berkunjung ke rumah anak. Tapi tentunya, ini harus dengan menjaga protokol kesehatan agar tidak menimbulkan kasus baru,” tutur Imelda.
Praktik baik lainnya adalah “Komitmen Jam Belajar” di Provinsi Sulawesi Tengah. “Kami bekerja sama dengan kepala desa, orang tua, tokoh masyarakat, dan para pemuda desa, untuk meyakinkan bahwa orang tua benar-benar berkomitmen mengajar anak di rumah dengan jam yang sudah disepakati. Kami juga coba guru mengajar lewat siaran radio di NTB dan NTT dan ini cukup efektif,” tambahnya.
Ahli Pembelajaran dari Tanoto Foundation, Muhammad Khundhori pada kesempatan ini juga mengemukakan beberapa praktik baik yang dilakukan pada Daerah Mitra “Program Pintar” Tanoto Foundation. Berdasarkan pengalaman, dukungan orang tua adalah kunci keberhasilan dalam PJJ.
Menurutnya, di Bontang, Kalimantan Timur, ada program penyuluhan yang dilakukan agar orang tua bisa mendampingi anak belajar di rumah. Di SMPN 4 Bengkalis, Riau misalnya, karena ada fasilitas jaringan internet (wifi) maka balai desa digunakan sebagai tempat belajar anak-anak. “Alhamdulillah, belajar jadi lancar. Tentunya mereka memperhatikan protokol kesehatan juga. Ini sampai masuk Harian Kompas,” demikian jelas Khundhori. (Denty A./Aline R.)
Sumber :
Penulis : pengelola web kemdikbud
Editor :
Dilihat 1988 kali
Editor :
Dilihat 1988 kali