Kebutuhan Dunia Kerja Jadi Rujukan Kompetensi Lulusan Pendidikan Vokasi 23 Desember 2020 ← Back
Jakarta, 21 Desember 2020 --- Direktur Jenderal Pendidikan Vokasi (Dirjen Diksi), Wikan Sakarinto mengatakan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) terus melakukan upaya untuk memastikan sistem pendidikan mampu mewujudkan sumber daya manusia yang unggul dengan link and match antara pendidikan dan pekerjaan. Menurut Wikan, investasi SDM yang unggul adalah persiapan terbaik menuju Indonesia masa depan.
“Ada dua makna link and match. Pertama, kita start at the end, yaitu memulai dengan apa yang dibutuhkan DUDI. Kedua, ayo kita lakukan bersama-sama. Ke depannya, industri harus turut mendidik anak-anak kita,” katanya di Jakarta, Senin (21/12).
Dirjen Wikan mengatakan, lulusan pendidikan vokasi harus kompeten dan sesuai dengan kebutuhan dunia kerja. Guna mencapai hal tersebut, kurikulum harus agile dan adaptif terhadap perubahan dan diperkuat melalui internship. Kebutuhan DUDI yang terus diwujudkan Kemendikbud melalui Ditjen Vokasi berupa lulusan dengan karakter baik, inisiatif, terampil, menguasai bahasa asing, serta memiliki soft skills. Menurut Wikan, pihak DUDI mengaku meski hard skills dibutuhkan, namun melatih hard skills jauh lebih mudah dibandingkan mengasah karakter dan soft skills lulusan.
Wikan berharap, filosofi pendidikan bukan sekadar muatan yang mengisi pikiran siswa dengan teori, tetapi juga turut menuntun anak-anak bangsa dengan gairah belajar yang menyenangkan, sehingga anak mampu mengembangkan diri secara mandiri dalam dunia dengan teknologi tanpa batas ini. “Soft skills dan karakternya bagus tercermin dari lulusan yang punya sikap pembelajar mandiri sepanjang hayat,” tuturnya.
Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (Kemenkop dan UKM), Teten Masduki menyadari pentingnya kolaborasi pendidikan vokasi dengan UKM. Ia mengungkapkan, struktur UKM dari waktu ke waktu tidak menunjukkan perubahan siginifikan. Ia membandingkan kondisi Indonesia yang kewirausahaannya masih di level 3,47%, sementara Singapura sudah hampir 9% dan Thailand serta Malaysia sudah mencapai 5%.
Prasyarat menjadi negara maju menurutnya adalah dengan menambah kewirausahaan. Kesenjangan yang terjadi, harus disikapi dengan pendidikan kewirausahaan. Diakui Menkop dan UKM, langkah nyata yang telah dilakukan pihaknya dengan Kemendikbud yang melibatkan pendidikan tinggi sebagai inkubator bisnis perlu diapresiasi. Pendirian start up berbasis teknologi di kampus adalah sebuah lompatan dalam mengembangkan prinsip kewirausahaan di Indonesia.
“Kemitraan dengan DUDI yang besar ini perlu dirumuskan lebih detil, karena banyak kemitraan yang bersifat aksi sosial, contohnya industri baja memberikan pelatihan yang tidak berkaitan dengan bagian rantai pasok (supply chain) industri itu. Misalnya, industri baja melatih pengrajin emping melinjo. Ini tidak ideal,” ujar Menteri Teten.
Kemitraan yang diinginkan adalah bagaimana UKM menjadi bagian dari rantai pasok industri besar, sehingga pelatihan-pelatihan yang dilakukan benar-benar dapat menjembatani proses transfer pengetahuan dan keterampilan, serta peningkatan kualitas produksi dan desain. Selain itu, produk-produk UKM juga harus diserap industri nasional. Tercatat, partisipasi UKM dalam rantai pasok industri besar baru 4,1%.
“Yang mendapat insentif pajak itu seharusnya memang program-program pengembangan vokasi yang terintegrasi dengan rantai pasok, karena UKM jika melihat pengalaman Korea Selatan, Jepang, dan Cina, mereka menjadi rantai pasok industri nasionalnya,” tutup Teten Masduki.
Dalam melakukan transformasi pendidikan vokasi, Kemendikbud melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Vokasi (Ditjen Diksi) telah mewujudkan beberapa paket kebijakan, yakni 1) kurikulum, 2) project based learning, 3) mendatangkan tiga guru tamu minimal 50 jam per semester per prodi, 4) praktik kerja industri minimal satu semester, 5) sertifikasi kompetensi bagi lulusan dan guru-guru, 6) pengajar vokasi rutin dilatih oleh industri yang sesuai, 7) riset terapan start from the end dan didasari kebutuhan riil, 8) komitmen serapan lulusan oleh DUDI, dan 9) beasiswa ikatan dinas dari DUDI untuk lulusan.
Untuk diketahui, pada 2020 telah dikembangkan 476 SMK Pusat Keunggulan (Center of Excellence) di 34 provinsi dengan total Rp1,2 triliun, dan ratusan program link and match lain. Berdasarkan data terakhir di Data Pokok Pendidikan (Dapodik) terdapat 7.845 bentuk kerja sama antara 2.482 SMK dengan 3.602 perusahaan. (Denty A./Aline R.)
Sumber :
“Ada dua makna link and match. Pertama, kita start at the end, yaitu memulai dengan apa yang dibutuhkan DUDI. Kedua, ayo kita lakukan bersama-sama. Ke depannya, industri harus turut mendidik anak-anak kita,” katanya di Jakarta, Senin (21/12).
Dirjen Wikan mengatakan, lulusan pendidikan vokasi harus kompeten dan sesuai dengan kebutuhan dunia kerja. Guna mencapai hal tersebut, kurikulum harus agile dan adaptif terhadap perubahan dan diperkuat melalui internship. Kebutuhan DUDI yang terus diwujudkan Kemendikbud melalui Ditjen Vokasi berupa lulusan dengan karakter baik, inisiatif, terampil, menguasai bahasa asing, serta memiliki soft skills. Menurut Wikan, pihak DUDI mengaku meski hard skills dibutuhkan, namun melatih hard skills jauh lebih mudah dibandingkan mengasah karakter dan soft skills lulusan.
Wikan berharap, filosofi pendidikan bukan sekadar muatan yang mengisi pikiran siswa dengan teori, tetapi juga turut menuntun anak-anak bangsa dengan gairah belajar yang menyenangkan, sehingga anak mampu mengembangkan diri secara mandiri dalam dunia dengan teknologi tanpa batas ini. “Soft skills dan karakternya bagus tercermin dari lulusan yang punya sikap pembelajar mandiri sepanjang hayat,” tuturnya.
Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (Kemenkop dan UKM), Teten Masduki menyadari pentingnya kolaborasi pendidikan vokasi dengan UKM. Ia mengungkapkan, struktur UKM dari waktu ke waktu tidak menunjukkan perubahan siginifikan. Ia membandingkan kondisi Indonesia yang kewirausahaannya masih di level 3,47%, sementara Singapura sudah hampir 9% dan Thailand serta Malaysia sudah mencapai 5%.
Prasyarat menjadi negara maju menurutnya adalah dengan menambah kewirausahaan. Kesenjangan yang terjadi, harus disikapi dengan pendidikan kewirausahaan. Diakui Menkop dan UKM, langkah nyata yang telah dilakukan pihaknya dengan Kemendikbud yang melibatkan pendidikan tinggi sebagai inkubator bisnis perlu diapresiasi. Pendirian start up berbasis teknologi di kampus adalah sebuah lompatan dalam mengembangkan prinsip kewirausahaan di Indonesia.
“Kemitraan dengan DUDI yang besar ini perlu dirumuskan lebih detil, karena banyak kemitraan yang bersifat aksi sosial, contohnya industri baja memberikan pelatihan yang tidak berkaitan dengan bagian rantai pasok (supply chain) industri itu. Misalnya, industri baja melatih pengrajin emping melinjo. Ini tidak ideal,” ujar Menteri Teten.
Kemitraan yang diinginkan adalah bagaimana UKM menjadi bagian dari rantai pasok industri besar, sehingga pelatihan-pelatihan yang dilakukan benar-benar dapat menjembatani proses transfer pengetahuan dan keterampilan, serta peningkatan kualitas produksi dan desain. Selain itu, produk-produk UKM juga harus diserap industri nasional. Tercatat, partisipasi UKM dalam rantai pasok industri besar baru 4,1%.
“Yang mendapat insentif pajak itu seharusnya memang program-program pengembangan vokasi yang terintegrasi dengan rantai pasok, karena UKM jika melihat pengalaman Korea Selatan, Jepang, dan Cina, mereka menjadi rantai pasok industri nasionalnya,” tutup Teten Masduki.
Dalam melakukan transformasi pendidikan vokasi, Kemendikbud melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Vokasi (Ditjen Diksi) telah mewujudkan beberapa paket kebijakan, yakni 1) kurikulum, 2) project based learning, 3) mendatangkan tiga guru tamu minimal 50 jam per semester per prodi, 4) praktik kerja industri minimal satu semester, 5) sertifikasi kompetensi bagi lulusan dan guru-guru, 6) pengajar vokasi rutin dilatih oleh industri yang sesuai, 7) riset terapan start from the end dan didasari kebutuhan riil, 8) komitmen serapan lulusan oleh DUDI, dan 9) beasiswa ikatan dinas dari DUDI untuk lulusan.
Untuk diketahui, pada 2020 telah dikembangkan 476 SMK Pusat Keunggulan (Center of Excellence) di 34 provinsi dengan total Rp1,2 triliun, dan ratusan program link and match lain. Berdasarkan data terakhir di Data Pokok Pendidikan (Dapodik) terdapat 7.845 bentuk kerja sama antara 2.482 SMK dengan 3.602 perusahaan. (Denty A./Aline R.)
Sumber :
Penulis : pengelola web kemdikbud
Editor :
Dilihat 7698 kali
Editor :
Dilihat 7698 kali