Peneliti Kemendikbud Jabarkan Hasil Penelitian Seputar Penjaminan Mutu Pendidikan  08 Desember 2020  ← Back



Jakarta, Kemendikbud --- Pusat Penelitian Kebijakan (Puslitjak), Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan (Balitbang dan Perbukuan), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) terus memperkuat kebijakan Merdeka Belajar dengan berbagai penelitan di masa pandemi Covid-19, Senin (7/12).
 
Pelaksana tugas (Plt.) Kepala Balitbang dan Perbukuan, Totok Suprayitno menyebut, sejumlah hasil kerja keras yang telah dilakukan para peneliti di tengah pandemi, mulai dari modul pembelajaran dan kurikulum darurat. Hasil-hasil penelitian tersebut memiliki manfaat bagi pengembangan kualitas pembelajaran di Indonesia, salah satunya adalah tentang penjaminan mutu pendidikan.
 
Peneliti pertama, Ikhya Ulumudin mengatakan pemahaman guru terhadap fungsi penilaian hasil belajar yang dilakukan oleh pendidik masih kurang memadai. Menurutnya, tidak semua guru mendapatkan pelatihan tentang penilaian. Pelatihan tentang penilaian tidak secara mendalam menjabarkan fungsi peniliaian khususnya fungsi assesment as learning, dan dalam panduannya juga tidak dijabarkan tentang fungsi penilaian itu sebagai assesment as learning. “Itulah penyebabnya,” ujar Ikhya ketika menyajikan hasil penelitiannya yang berjudul Evaluasi Pelaksanaan Penilaian Kurikulum 2013 (K13) pada jenjang SD.
 
Dijelaskan Ikhya, penerapan fungsi penilaian hasil belajar yang dilakukan oleh guru masih disibukkan dengan assessment of learning. Hal ini disebabkan karena guru tidak mengetahui dalam menerapkan jenis-jenis penilaian sesuai dengan fungsinya dan pihak eksternal juga menuntut memasukan semua penilaian sebagai fungsi assessment of learning. “Mayoritas guru melakukan penilaian dalam proses pembelajaran pada masa belajar dari rumah, namun tidak semua guru melakukan tindak lanjut,” jelas Ikhya.
 
Sementara itu, peneliti Puslitjak, Fransisca Nur’aini Krisna mengatakan indeks kedisiplinan, rasa senang membaca dan strategi metakognisi membaca memiliki pengaruh positif terhadap capaian Programme for Internasional Student Assesment (PISA) 2018.
 
“Hasil penelitian menunjukkan bahwa guru perlu menjaga iklim kedisiplinan dalam kelas, meningkatkan rasa senang membaca siswa dan mengoptimalkan praktik pembelajaran yang berpengaruh positif terhadap siswa,” ujar Fransisca dalam paparan.
 
Fransisca menambahkan, ketiga indeks tersebut berpengaruh terhadap skor matematika siswa Indonesia pada PISA 2018. Fransisca merekomendasikan guru untuk mempunyai passion sebagai seorang guru, sehingga merasa senang, nyaman, dan antusias dalam mengajar. “Guru juga perlu melakukan upaya peningkatan kapasitas diri mulai dari mencari berbagai sumber informasi terkait umpan balik, metakognisi melalui buku, video pembelajaran, pengantar pembelajaran, pelatihan loka karya dan kegiatan lain,” tutur Fransisca.
 
Fransisca juga merekomendasikan agar kepala sekolah mengupayakan berbagai hal yang dapat memfasilitasi peningkatan kompetensi guru dan peningkatan literasi siswa. Sebagai manajer sekolah, kepala sekolah perlu mengupayakan berbagai hal yang dapat memfasilitasi peningkatan kompetensi guru dan peningkatan literasi siswa. “Pemerintah pusat dan pemerintah daerah juga dapat membuat program atau kebijakan yang mendukung peningkatan kompetensi guru dalam praktik mengajar,” ungkap Fransisca.
 
Peneliti berikutnya, Sudiyono menyajikan hasil penelitiannya yang berjudul Analisis Daya Serap Lulusan SMK Berdasarkan Kompetensi Keahlian. Ia mengatakan, jumlah lulusan SMK pada tiga bidang keahlian telah menyumbang angkatan kerja SMK terbanyak dan jumlah bekerja terbanyak. Terutama pada kompetensi keahlian teknik mesin, teknik komputer dan informatika, teknik mesin, akutansi dan keuangan, serta manajemen perkantoran.
 
Lebih lanjut, Sudiyono menjelaskan, jumlah lulusan pada tiga bidang keahlian yaitu Teknologi dan Rekayasa, Bisnis dan Manajemen, serta Teknologi Informasi dan Komunikasi tersebut melebihi kebutuhan (over supply) jika dibandingkan dengan jumlah lulusan bidang keahlian lainnya. Sektor usaha yang banyak menyerap lulusan SMK adalah sektor perdagangan besar dan eceran dan perawatan mobil, industri pengolahan, pertanian, kehutanan dan perikanan, penyediaan akomodasi dan makan minum, serta transportasi dan pergudangan.
 
“Rata-rata masa tunggu lulusan SMK mendapat pekerjaan selama 5,6 bulan, dengan upah rata-rata nasional Rp2.871.206. Lulusan SMK terbanyak menjadi pekerja/buruh sebesar 72,9 persen, sementara menjadi pengusaha/wiraswasta hanya sebesar 27,1 persen,” imbuh Sudiyono.
 
Pada kesempatan yang sama, Peneliti Puslitjak, Iskandar Agung menyampaikan presentasi mengenai “Strategi Guru Penggerak dalam Pengimbasan Pembelajaran STEM”. Science, Technology, Engineering, and Mathematics atau lazim disingkat STEM, diyakini Iskandar mampu mendorong kreativitas guru-guru dalam menciptakan inovasi pembelajaran.
 
“Penelitian ini mengaitkan pendekatan STEM sebagai kerangka berpikir yang dapat digunakan dalam komunitas Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP). MGMP bisa menjadi wadah diskusi dan kolaborasi guru,” tutur Iskandar.
 
Ia melanjutkan, bahwa STEM perlu dipandang sebagai pendekatan berbasis siswa aktif, kreatif, berpikir kritis, kolaboratif, dan mampu menyelesaikan masalah secara faktual. “Jadi, sainsnya kita pakai sebagai kerangka teori.
 
Oleh karena itu, kebijakan guru penggerak, lanjut Iskandar, pada dasarnya bisa dilakukan lewat pengimbasan lewat MGMP. “Namun Kemendikbud perlu memberi pelatihan sebanyak-banyaknya agar guru paham memakai STEM sebagai paradigma, sehingga mereka mampu jadi Guru Penggerak,” tukas Iskandar.
 
Penelitian “Evaluasi Efektivitas Pelatihan Guru” dikaji oleh peneliti Puslitjak Yendri Wirda untuk menganalisis aspek-aspek yang dapat ditingkatkan guna memberikan rangkaian pelatihan yang lebih berguna untuk para guru.
 
“Ditemukan bahwa guru-guru dengan skor awal yang sudah tinggi, setelah dilatih malah skornya jadi lebih kecil bahkan negatif dibandingkan guru yang punya skor awal rendah. Proporsi pelatihan tidak efektif di daerah-daerah yang punya guru-guru dengan skor awal tinggi atau sudah mencapai target nilai kompetensi,” tutur Yendri.
 
Di sisi lain, pelatihan juga tidak efektif pada daerah kepulauan, akses transportasi sulit, dan jaringan internet yang buruk. “DIY, Papua, Papua Barat, dan Kepulauan Riau adalah empat provinsi yang proporsi ketidakefektifan pelatihannya paling tinggi,” kata Yendri. Maka, untuk ke depan, Yendri mengusulkan agar pelatihan difokuskan saja pada guru-guru yang sejak awal punya skor rendah agar lebih efektif.
 
Pada penelitian “Analisis Regulasi yang Menghambat Kreativitas dan Inovasi Pembelajaran”, Peneliti Puslitjak Indah Pratiwi menyoroti belum efektifnya Uji Kompetensi Guru (UKG). “Seharusnya UKG tidak hanya mengukur kompetensi pedagogik dan profesional, tapi juga kompetensi sosial dan kepribadian,” tegas Indah. Selain itu, ia juga berharap UKG ke depannya tidak memakai soal pilihan ganda karena tidak mendorong pemikiran kritis. “Mesti mencoba variasi lain seperti wawancara, diskusi kelompok, dan micro teaching,” Indah menyebut beberapa alternatif.
 
Selain itu, pendampingan guru, utamanya dengan melibatkan rekan sejawat lewat kegiatan-kegiatan kolektif dan meningkatkan kapasitas kepala sekolah penting dilakukan, agar kompetensi guru juga dapat terkatrol naik.
 
“Angka kredit juga harus kita kaji ulang, karena idealnya angka kredit jangan hanya mendorong guru punya pengetahuan akademik dan kecakapan, tapi juga menjamin peningkatan mutu pengajaran guru. Cara guru mengajar harus bisa diamati dan ditangkap lewat angka kredit, bukan hanya berbasis bukti administratif,” jelas Indah. *** (Denty. A/Aline. R)
Sumber :

 


Penulis : pengelola web kemdikbud
Editor :
Dilihat 3029 kali