Pentingnya Kurikulum Nasional yang Fleksibel di Abad 21 16 Desember 2020 ← Back
Jakarta, Kemendikbud --- Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) melalui Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan (Balitbangbuk), menggelar seminar digital bertaraf internasional bertajuk “International Seminar on Curriculum” secara daring, Selasa (15/12).
Kegiatan yang diikuti oleh para guru, kepala sekolah, dan pemerhati pendidikan di seluruh Indonesia ini membahas pentingnya kurikulum beradaptasi terhadap situasi nasional dan global yang terus berubah, apalagi di tengah pandemi yang masih melanda Indonesia dan dunia. Sekretaris Jenderal Kemendikbud Ainun Na’im pada sambutannya secara virtual menyadari pentingnya transformasi kurikulum sebagai langkah strategis bangsa menghadapi tantangan abad 21.
“Pandemi ini memperlihatkan bahwa kurikulum Indonesia harus berubah agar anak-anak bisa menghadapi tantangan. Karena itulah Kemendikbud menggagas Merdeka Belajar dan Kampus Merdeka yang bertujuan membangun pelajar-pelajar Pancasila dengan karakter beriman, kreatif, kritis, berkebhinekaan global, dan mampu menghadapi tantangan,” kata Ainun Na`im.
Sesjen Ainun mengatakan, perkembangan teknologi informasi dan globalisasi tak terelakkan lagi dan menghadirkan tantangan-tantangan baru bagi umat manusia. Semua negara berpacu untuk meningkatkan kualitas hidup warganya dalam berbagai aspek, termasuk pendidikan.
Senada dengan itu, Sekretaris Balitbang dan Perbukuan, Suhadi menyatakan bahwa Indonesia harus dapat mengantisipasi perubahan aktual. Suhadi berharap, kurikulum di Indonesia dapat mengakomodiasi kebutuhan-kebutuhan modern. “(seminar ini) dapat menjadi wadah untuk memberikan masukan berharga agar kurikulum dapat disempurnakan sesuai tuntutan zaman yang ada, dan kita bisa menciptakan generasi emas yang lebih maju lagi,” katanya.
Pada kesempatan yang sama, Penasehat Program Inovasi (Inovasi untuk Anak Sekolah Indonesia), Robert mengakui adanya perbedaan dalam sistem pendidikan kedua negara. Inovasi adalah suatu kegiatan hasil kerja sama Indonesia dan Australia di bidang pendidikan. Menurut dia, kesamaan Indonesia dan Australia adalah semangat meningkatkan kesempatan belajar dan mutu pembelajaran untuk anak-anak. “Dengan persahabatan dan komitmen, semoga kita bisa meningkatkannya,” kata Robert Randall yang memberi paparan secara digital dari Sydney, Australia.
Randall menggarisbawahi berbagai hasil riset yang secara konsisten membuktikan bahwa dari semua faktor yang bisa dikendalikan sekolah, kualitas pedagogi atau seni dan ilmu mengajar, secara langsung dan secara kuat, paling berpengaruh terhadap kualitas hasil pembelajaran siswa. “Esensi dan kualitas pedagogi adalah core business para guru,” tegasnya.
Lebih lanjut Robert menjelaskan, fleksibilitas dalam pendidikan harus dipahami dengan hati-hati. “Fleksibilitas ekspektasi kita terhadap apa yang dipelajari dan dipahami peserta didik harus terbatas. Ekspektasi kita secara umum harus sama untuk semua peserta didik di manapun berada. Standar ini sebaiknya tidak bervariasi,” terangnya sambil memberi pengecualian kepada siswa dengan disabilitas atau kondisi tertentu.
Robert meyakini, jika kurikulum dikembangkan dan dikonsultasikan dengan baik serta dibuat berdasarkan riset yang valid, maka seharusnya tidak terdapat fleksibilitas dalam materi ajar dan ekspektasi pada siswa.
Namun, kata dia, harus ada fleksibilitas di sisi lain, yaitu bagaimana kurikulum disampaikan, termasuk tentang pertanyaan-pertanyaan dari guru ke siswa, konteks lingkungan, dan isu-isu yang bisa dieksplorasi siswa.
“Konteks lokal harus bervariasi, fleksibilitas justru sangat penting, harus ada di sini. Sebab, riset telah membuktikan, jika kita memilih masalah yang relevan dan bermakna buat siswa, maka mereka bisa belajar dengan baik dan mengembangkan keterampilan bertanya. Ini sumbangsih positif bagi pembelajaran,” lanjutnya.
Robert juga menekankan, guru-guru harus mampu mengerahkan kewenangan profesional mereka untuk memutuskan apa yang akan paling menarik dan akan menyita perhatian para siswa. Ia mengatakan, ini tantangan untuk guru. “Kita sedang terjebak dalam volume konten. Kita berhadapan pada ilmu-ilmu yang kita pelajari di abad lalu dan sekarang kita dihadapkan pada ilmu-ilmu abad 21 juga. Banyak orang bilang, kita pelajari yang abad 21 saja. Menurut saya ini false decision,” Robert mengingatkan.
Sebab, menurutnya, ilmu-ilmu abad 21 tetap membutuhkan disiplin-disiplin ilmu tradisional. Ia mencontohkan, problem solving. Untuk menjadi pemecah masalah yang baik, maka perlu pemahaman mendalam tentang disiplin ilmu yang masalahnya ingin dipecahkan. “Mungkin saya bisa memecahkan masalah matematika dengan baik. Tapi, ini tidak berarti saya pasti bisa memecahkan masalah di bidang sains. Saya harus punya pemahaman mendalam tentang sains untuk bisa memecahkan ini,” tuturnya.
Menurut Robert, yang harus segera diatasi adalah sikap mental para siswa Indonesia, karena survei Program for International Student Assessment (PISA) 2018 memperlihatkan kecenderungan prihatin.
“Para siswa ditanya: ‘Apakah Anda setuju bahwa kecerdasan Anda adalah sesuatu yang tidak bisa terlalu Anda ubah?’ Nah, hanya 29% anak Indonesia yang tidak setuju. Artinya hanya 29% anak Indonesia yang punya growth mindset atau mental pertumbuhan. Mental ini yang harus kita dorong, agar anak-anak Indonesia bermental terbuka dan punya sikap fleksibel. Karena, riset juga sudah membuktikan bahwa jika seorang pembelajar percaya mereka bisa berhasil, mereka cenderung berusaha dan gigih bertahan dalam belajar,” saran Robert. (Lydia A./Denty A./Aline R.)
Sumber :
Penulis : pengelola web kemdikbud
Editor :
Dilihat 10969 kali
Editor :
Dilihat 10969 kali