Dampak Negatif Satu Tahun PJJ, Dorongan Pembelajaran Tatap Muka Menguat 20 April 2021 ← Back
Bogor, Kemendikbud --- Forum Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan (Fortadikbud) mencatat beberapa temuan selama satu tahun pembelajaran jarak jauh (PJJ) akibat pandemi Covid-19. Temuan itu dihimpun melalui diskusi dengan menghadirkan beberapa narasumber yang berkompeten di dunia mengajar dari wilayah Sumatra Utara, Jawa Timur, dan Jawa Barat, secara daring dan luring, di Bogor, (17/04). Selain itu, hadir pula narasumber dari kalangan pejabat di lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dalam diskusi tersebut.
Pelaksana tugas (Plt.) Kepala Biro Kerja Sama dan Hubungan Masyarakat (BKHM) Kemendikbud, Hendarman, menilai bebagai temuan dan pandangan dalam dalam diskusi ini merupakan masukan yang penting sebagai bahan pertimbangan dalam membuat keputusan sehubungan dengan persiapan pembelajaran tatap muka (PTM).
"Saya mengapresiasi terserselenggaranya diskusi ini dan penghargaan kepada narasumber yang telah menyampaikan pandangan-pandanganya untuk memajukan pendidikan di Indonesia," kata Hendarman pada diskusi yang bertajuk “Bersiap Menghadapi Pembelajaran Tatap Muka Terbatas” tersebut.
Temuan atau dampak dari PJJ tersebut, antara lain adalah banyaknya anak didik yang tidak bisa menyerap mata pelajaran dengan baik. Dikarenakan belum terbiasa mengikuti pembelajaran daring menggunakan aplikasi Zoom.
Merujuk pada hasil diskusi dengan beberapa narasumber, kesuksesan PJJ sangat ditentukan oleh dukungan orang tua terhadap anaknya. Pernyataan tersebut disampaikan oleh Kepala Dinas Pendidikan Kota Bogor, Hanafi, yang merasakan kondisi ini pada jenjang pendidikan SD, SMP dan SMA. Menurutnya, banyak dari siswa yang menggunakan waktu belajar untuk bermalas malasan dan enggan mengerjakan tugas dari guru.
“Ini disebabkan lemahnya pengawasan dari orang tua terhadap anaknya yang harus belajar di tengah kedaruratan,” imbuhnya.
Selain faktor kemalasan, ada masalah teknis lain yang menyebabkan anak kesulitan mengikuti PJJ. Bantuan kuota pulsa yang diberikan Kemendikbud dianggap belum maksimal menutup permasalahan dalam PJJ. Sebab, banyak anak didik di daerah terluar dan tertinggal yang tidak punya HP, sinyal untuk mengakses internet juga sulit, kalau pun ada sinyal putus nyambung. “Sehingga dana untuk membeli pulsa cukup besar yang dikeluarkan oleh Kemendikbud menjadi sia-sia,” ujar Hanafi.
Temuan lainnya yaitu hubungan batin antara anak didik dengan guru menjadi dingin karena mereka tidak pernah saling sapa dan bertatap muka selama satu tahun. Peserta didik baru yang duduk di kelas 1 baik jenjang SD, SMP dan SMA-lah yang paling merasakan. Di mana mereka satu tahun tercatat sebagai siswa, tapi tidak tahu siapa guru dan teman mereka di sekolah yang baru tersebut.
Angka putus sekolah (APS) juga terjadi sebagai dampak pembelajaran jarak PJJ saat pandemi Covid-19. Pernyataan tersebut diungkapkan Pelaksana tugas (Plt.) Direktur SMA, Kemendikbud, Purwadi Sutanto, pada diskusi tersebut.
Menurut Purwadi, salah satu kasus APS terjadi pada siswa SMA di Nusa Tenggara Barat (NTB). Pada kasus tersebut anak memutuskan menikah dini. “Karena keterbatasan sarana telekomunikasi pendukung PJJ, siswa putus sekolah dan kemudian menikah dini,” kata Purwadi secara virtual.
Ia menyebut, penanganan kasus APS pada anak menjadi tugas bersama. Karena masalah pendidikan, menurutnya, bukan saja tugas pemerintah, melainkan menjadi tanggung jawab orang tua dan masyarakat.
“Ini kenapa surat keputusan bersama (SKB) empat menteri tentang pembelajaran di tengah pandemi keluar. Karena kita ingin segera PTM terbatas diterapkan. Sudah banyak anak dan guru mengeluhkan stres karena PJJ,” katanya.
Lebih jauh dia mengatakan, pelaksanaan PTM harus mendapat dukungan dari kementerian dan stakeholder terkait. Seperti Kementerian Perhubungan dan Kementerian Kesehatan terkait layanan kesehatan dan transportasi di tingkat pemerintah daerah.
Dari berbagai temuan tersebut, Purwadi menyimpulkan besarnya keinginan dari anak didik, orang tua dan pendidik agar PTM dapat segera dilakukan. Tentunya dengan tetap berpedoman dan menjalankan protokol kesehatan. Bila tidak, PJJ dapat menimbulkan dampak buruk yang lebih besar terhadap anak didik. (Denty A./Aline R.)
Sumber :
Pelaksana tugas (Plt.) Kepala Biro Kerja Sama dan Hubungan Masyarakat (BKHM) Kemendikbud, Hendarman, menilai bebagai temuan dan pandangan dalam dalam diskusi ini merupakan masukan yang penting sebagai bahan pertimbangan dalam membuat keputusan sehubungan dengan persiapan pembelajaran tatap muka (PTM).
"Saya mengapresiasi terserselenggaranya diskusi ini dan penghargaan kepada narasumber yang telah menyampaikan pandangan-pandanganya untuk memajukan pendidikan di Indonesia," kata Hendarman pada diskusi yang bertajuk “Bersiap Menghadapi Pembelajaran Tatap Muka Terbatas” tersebut.
Temuan atau dampak dari PJJ tersebut, antara lain adalah banyaknya anak didik yang tidak bisa menyerap mata pelajaran dengan baik. Dikarenakan belum terbiasa mengikuti pembelajaran daring menggunakan aplikasi Zoom.
Merujuk pada hasil diskusi dengan beberapa narasumber, kesuksesan PJJ sangat ditentukan oleh dukungan orang tua terhadap anaknya. Pernyataan tersebut disampaikan oleh Kepala Dinas Pendidikan Kota Bogor, Hanafi, yang merasakan kondisi ini pada jenjang pendidikan SD, SMP dan SMA. Menurutnya, banyak dari siswa yang menggunakan waktu belajar untuk bermalas malasan dan enggan mengerjakan tugas dari guru.
“Ini disebabkan lemahnya pengawasan dari orang tua terhadap anaknya yang harus belajar di tengah kedaruratan,” imbuhnya.
Selain faktor kemalasan, ada masalah teknis lain yang menyebabkan anak kesulitan mengikuti PJJ. Bantuan kuota pulsa yang diberikan Kemendikbud dianggap belum maksimal menutup permasalahan dalam PJJ. Sebab, banyak anak didik di daerah terluar dan tertinggal yang tidak punya HP, sinyal untuk mengakses internet juga sulit, kalau pun ada sinyal putus nyambung. “Sehingga dana untuk membeli pulsa cukup besar yang dikeluarkan oleh Kemendikbud menjadi sia-sia,” ujar Hanafi.
Temuan lainnya yaitu hubungan batin antara anak didik dengan guru menjadi dingin karena mereka tidak pernah saling sapa dan bertatap muka selama satu tahun. Peserta didik baru yang duduk di kelas 1 baik jenjang SD, SMP dan SMA-lah yang paling merasakan. Di mana mereka satu tahun tercatat sebagai siswa, tapi tidak tahu siapa guru dan teman mereka di sekolah yang baru tersebut.
Angka putus sekolah (APS) juga terjadi sebagai dampak pembelajaran jarak PJJ saat pandemi Covid-19. Pernyataan tersebut diungkapkan Pelaksana tugas (Plt.) Direktur SMA, Kemendikbud, Purwadi Sutanto, pada diskusi tersebut.
Menurut Purwadi, salah satu kasus APS terjadi pada siswa SMA di Nusa Tenggara Barat (NTB). Pada kasus tersebut anak memutuskan menikah dini. “Karena keterbatasan sarana telekomunikasi pendukung PJJ, siswa putus sekolah dan kemudian menikah dini,” kata Purwadi secara virtual.
Ia menyebut, penanganan kasus APS pada anak menjadi tugas bersama. Karena masalah pendidikan, menurutnya, bukan saja tugas pemerintah, melainkan menjadi tanggung jawab orang tua dan masyarakat.
“Ini kenapa surat keputusan bersama (SKB) empat menteri tentang pembelajaran di tengah pandemi keluar. Karena kita ingin segera PTM terbatas diterapkan. Sudah banyak anak dan guru mengeluhkan stres karena PJJ,” katanya.
Lebih jauh dia mengatakan, pelaksanaan PTM harus mendapat dukungan dari kementerian dan stakeholder terkait. Seperti Kementerian Perhubungan dan Kementerian Kesehatan terkait layanan kesehatan dan transportasi di tingkat pemerintah daerah.
Dari berbagai temuan tersebut, Purwadi menyimpulkan besarnya keinginan dari anak didik, orang tua dan pendidik agar PTM dapat segera dilakukan. Tentunya dengan tetap berpedoman dan menjalankan protokol kesehatan. Bila tidak, PJJ dapat menimbulkan dampak buruk yang lebih besar terhadap anak didik. (Denty A./Aline R.)
Sumber :
Penulis : pengelola web kemdikbud
Editor :
Dilihat 70340 kali
Editor :
Dilihat 70340 kali