KBRI Tokyo dan PPI Jepang Gelar Webinar Ramah terhadap Penderita Skizofrenia 15 Juni 2021 ← Back
Tokyo, 14 Juni 2021 --- Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Tokyo bekerja sama dengan Persatuan Pelajar Indonesia di Jepang (PPI Jepang) menyelenggarakan Webinar Schizophrenia Awareness Day yang mengangkat tema “Menciptakan Lingkungan Masyarakat yang Bersahabat bagi Penderita Skizofrenia”. Acara yang digelar untuk menyambut Hari Skizofrenia itu bertujuan untuk memberikan edukasi seputar skizofrenia sehingga tercipta lingkungan masyarakat yang ramah dan bersahabat bagi para penderita skizofrenia.
Webinar daring ini dipandu oleh moderator Lady M.F. Sirait dari Divisi Kesehatan Mental PPI Jepang dan diawali dengan kata pembuka oleh Ketua Divisi Mental Health PPI Jepang, Ratu Bintang Assyifa yang menyebutkan bahwa salah satu tujuan webinar ini adalah membangun kesadaran terhadap kesehatan mental sehingga diskriminasi terhadap penyintas skizofrenia dapat dihilangkan.
Atase Pendidikan dan Kebudayaan KBRI Tokyo, Yusli Wardiatno menyampaikan bahwa saat ini di Jepang selain pelajar terdapat lebih dari 40 ribu pekerja migran Indonesia (PMI) dan 20 ribu WNI lainnya yang tinggal di Jepang. Untuk itu, KBRI Tokyo sangat memperhatikan (concern) terhadap kesehatan mental seluruh WNI tersebut karena berbagai kasus terkait kesehatan mental dialami juga oleh para pelajar dan PMI.
“KBRI Tokyo sedang menginisiasi kerja sama dengan lembaga yang kompeten untuk mengadakan semacam pelatihan bagi pelajar Indonesia atau warga negara lainnya yang bersifat praktis dalam mendukung kesehatan mental para WNI di Jepang sehingga diharapkan sesama WNI dapat memahami dan membantu teman-teman yang sedang mengalami masalah kesehatan mental,” ujar Yusli saat membuka acara itu pada Minggu (13/6).
Ketua Umum PPI Jepang, Yudi Ariesta Chandra menyampaikan bahwa PPI Jepang menaruh perhatian terhadap isu kesehatan mental. Ia berharap kegiatan ini menjadi salah satu langkah konkret dalam menciptakan lingkungan masyarakat yang bersahabat bagi penyintas skizofrenia maupun kasus gangguan jiwa atau masalah psikososial lainnya termasuk memerangi stigma negatif dan diskriminasi terhadap mereka.
“Saat ini, terdapat lebih dari 6.700 pelajar Indonesia di Jepang sehingga diharapkan kegiatan ini menjadi batu loncatan (stepping stone) kolaborasi antara PPI Jepang dan KBRI Tokyo dalam melaksanakan berbagai kegiatan yang mendukung kesehatan mental para pelajar Indonesia di Jepang secara langsung,” ungkap Yudi.
Pembicara pada webinar ini, yaitu Lahargo Kembaren (psikiater RS Pusat Marzuki Mahdi Bogor), Herni Susanti (Akademisi Keperawatan Jiwa, Universitas Indonesia), Bagus Utomo (Ketua KPSI), dan Osse Kiki Yusidjaya (penyintas skizofrenia).
Lahargo Kembaren memaparkan materi “Mengenal Lebih dalam Skizofrenia dan Dampaknya terhadap Penghidupan Penyintas Skizofrenia”. Ia menyampaikan secara singkat apa itu gangguan skizofrenia, mulai dari gejala utama, sejarah, penyebab, diagnosis dan terapi skizofrenia.
“Terdapat tiga gejala skizofrenia, yaitu gejala positif, gejala negatif, dan gejala kognitif. Waham atau delusi merupakan bagian dari gejala positif dan menjadi gejala utama dari berbagai kasus skizofrenia yang ditemukan sejauh ini. Kemudian, berbagai intervensi klinis yang diberikan kepada penderita skizofrenia secara umum meliputi terapi obat dan psiko-terapi yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan kognitif dan psikomotor penyintas serta terapi-terapi okupasi untuk memulihkan daya produktivitas penyintas,” ungkap Lahargo.
Sementara itu, Herni Susanti menjelaskan bahwa ada beberapa poin yang diperlukan untuk menciptakan interaksi dan suasana yang bersahabat bagi penyintas skizofrenia. Pertama adalah apa yang harus kita pikirkan terhadap orang dengan skizofrenia (ODS). Kedua adalah apa yang perlu kita hadirkan untuk berinteraksi dengan teman-teman ODS yaitu dengan sentuhan emosional secara positif. Ketiga adalah apa yang harus kita lakukan terhadap ODS dengan tindakan nyata antara lain tetap berinteraksi, dan berkomunikasi dengan tidak menjauhi ODS.
“Ada kalanya ODS dalam kondisi turun (down) di mana gejala penyakitnya sedang muncul, maka yang dapat kita lakukan adalah menanamkan sikap jangan tersinggung (don’t take it personally), tetapi justru kita harus mendukung agar ODS dapat pulih secara mandiri,” ungkap Herni.
Pembicara lainnya, Ketua Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia (KPSI), Bagus Utomo menceritakan awal mula terbentuknya KPSI sebagai tempat berbagi pengetahuan dan pengalaman tentang pengobatan serta pemulihan ODS dalam hal ini juga termasuk keluarga dan orang-orang yang peduli dengan isu kesehatan jiwa.
“Saat ini, KPSI aktif berkomunikasi melalui Facebook fanpage dengan 270.000 pengikut dan 62.000 anggota grup Facebook yang sudah berkembang dengan berbagai program antara lain support group ODS dan keluarga, psikoedukasi keluarga, seminar awam, promosi, edukasi kesehatan jiwa melalui media sosial, dan pelatihan kesehatan jiwa untuk jurnalis,” tutur Bagus.
Pembicara terakhir adalah seorang penyintas skizofrenia, yaitu Osse Kiki Yusidjaya. Ia berbagi tentang pengalaman hidupnya sebagai ODS, mulai dari penyebab dan gejala awal, dilanjutkan dengan periode putus obat sehingga mengalami beberapa kali kambuh sampai akhirnya dinyatakan sembuh.
“Seorang ODS harus mampu berdamai dengan skizofrenia, menjaga kestabilan diri menuju pemulihan yang maksimal dengan meminum obat secara teratur dan berkonsultasi dengan dokter sesuai jadwal, tidur yang cukup 7—8 jam sehari, makan yang bergizi, olahraga teratur, bergaul dan berinteraksi dengan orang-orang yang positif, suportif dan peduli, bergabung dengan komunitas, bekerja dengan semangat, rajin, gembira dan bertanggung jawab, melakukan hobi, serta tidak lupa berdoa dan beribadah kepada Tuhan,” pungkas Osse.
Biro Kerja Sama dan Hubungan Masyarakat
Sekretariat Jenderal
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi
Laman: kemdikbud.go.id
Twitter: twitter.com/Kemdikbud_RI
Instagram: instagram.com/kemdikbud.ri
Facebook: facebook.com/kemdikbud.ri
Youtube: KEMENDIKBUD RI
Pertanyaan dan Pengaduan: ult.kemdikbud.go.id
#SerentakBergerak
#MerdekaBelajar
Sumber : Siaran Pers Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor : 255/sipres/A6/VI/2021
Webinar daring ini dipandu oleh moderator Lady M.F. Sirait dari Divisi Kesehatan Mental PPI Jepang dan diawali dengan kata pembuka oleh Ketua Divisi Mental Health PPI Jepang, Ratu Bintang Assyifa yang menyebutkan bahwa salah satu tujuan webinar ini adalah membangun kesadaran terhadap kesehatan mental sehingga diskriminasi terhadap penyintas skizofrenia dapat dihilangkan.
Atase Pendidikan dan Kebudayaan KBRI Tokyo, Yusli Wardiatno menyampaikan bahwa saat ini di Jepang selain pelajar terdapat lebih dari 40 ribu pekerja migran Indonesia (PMI) dan 20 ribu WNI lainnya yang tinggal di Jepang. Untuk itu, KBRI Tokyo sangat memperhatikan (concern) terhadap kesehatan mental seluruh WNI tersebut karena berbagai kasus terkait kesehatan mental dialami juga oleh para pelajar dan PMI.
“KBRI Tokyo sedang menginisiasi kerja sama dengan lembaga yang kompeten untuk mengadakan semacam pelatihan bagi pelajar Indonesia atau warga negara lainnya yang bersifat praktis dalam mendukung kesehatan mental para WNI di Jepang sehingga diharapkan sesama WNI dapat memahami dan membantu teman-teman yang sedang mengalami masalah kesehatan mental,” ujar Yusli saat membuka acara itu pada Minggu (13/6).
Ketua Umum PPI Jepang, Yudi Ariesta Chandra menyampaikan bahwa PPI Jepang menaruh perhatian terhadap isu kesehatan mental. Ia berharap kegiatan ini menjadi salah satu langkah konkret dalam menciptakan lingkungan masyarakat yang bersahabat bagi penyintas skizofrenia maupun kasus gangguan jiwa atau masalah psikososial lainnya termasuk memerangi stigma negatif dan diskriminasi terhadap mereka.
“Saat ini, terdapat lebih dari 6.700 pelajar Indonesia di Jepang sehingga diharapkan kegiatan ini menjadi batu loncatan (stepping stone) kolaborasi antara PPI Jepang dan KBRI Tokyo dalam melaksanakan berbagai kegiatan yang mendukung kesehatan mental para pelajar Indonesia di Jepang secara langsung,” ungkap Yudi.
Pembicara pada webinar ini, yaitu Lahargo Kembaren (psikiater RS Pusat Marzuki Mahdi Bogor), Herni Susanti (Akademisi Keperawatan Jiwa, Universitas Indonesia), Bagus Utomo (Ketua KPSI), dan Osse Kiki Yusidjaya (penyintas skizofrenia).
Lahargo Kembaren memaparkan materi “Mengenal Lebih dalam Skizofrenia dan Dampaknya terhadap Penghidupan Penyintas Skizofrenia”. Ia menyampaikan secara singkat apa itu gangguan skizofrenia, mulai dari gejala utama, sejarah, penyebab, diagnosis dan terapi skizofrenia.
“Terdapat tiga gejala skizofrenia, yaitu gejala positif, gejala negatif, dan gejala kognitif. Waham atau delusi merupakan bagian dari gejala positif dan menjadi gejala utama dari berbagai kasus skizofrenia yang ditemukan sejauh ini. Kemudian, berbagai intervensi klinis yang diberikan kepada penderita skizofrenia secara umum meliputi terapi obat dan psiko-terapi yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan kognitif dan psikomotor penyintas serta terapi-terapi okupasi untuk memulihkan daya produktivitas penyintas,” ungkap Lahargo.
Sementara itu, Herni Susanti menjelaskan bahwa ada beberapa poin yang diperlukan untuk menciptakan interaksi dan suasana yang bersahabat bagi penyintas skizofrenia. Pertama adalah apa yang harus kita pikirkan terhadap orang dengan skizofrenia (ODS). Kedua adalah apa yang perlu kita hadirkan untuk berinteraksi dengan teman-teman ODS yaitu dengan sentuhan emosional secara positif. Ketiga adalah apa yang harus kita lakukan terhadap ODS dengan tindakan nyata antara lain tetap berinteraksi, dan berkomunikasi dengan tidak menjauhi ODS.
“Ada kalanya ODS dalam kondisi turun (down) di mana gejala penyakitnya sedang muncul, maka yang dapat kita lakukan adalah menanamkan sikap jangan tersinggung (don’t take it personally), tetapi justru kita harus mendukung agar ODS dapat pulih secara mandiri,” ungkap Herni.
Pembicara lainnya, Ketua Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia (KPSI), Bagus Utomo menceritakan awal mula terbentuknya KPSI sebagai tempat berbagi pengetahuan dan pengalaman tentang pengobatan serta pemulihan ODS dalam hal ini juga termasuk keluarga dan orang-orang yang peduli dengan isu kesehatan jiwa.
“Saat ini, KPSI aktif berkomunikasi melalui Facebook fanpage dengan 270.000 pengikut dan 62.000 anggota grup Facebook yang sudah berkembang dengan berbagai program antara lain support group ODS dan keluarga, psikoedukasi keluarga, seminar awam, promosi, edukasi kesehatan jiwa melalui media sosial, dan pelatihan kesehatan jiwa untuk jurnalis,” tutur Bagus.
Pembicara terakhir adalah seorang penyintas skizofrenia, yaitu Osse Kiki Yusidjaya. Ia berbagi tentang pengalaman hidupnya sebagai ODS, mulai dari penyebab dan gejala awal, dilanjutkan dengan periode putus obat sehingga mengalami beberapa kali kambuh sampai akhirnya dinyatakan sembuh.
“Seorang ODS harus mampu berdamai dengan skizofrenia, menjaga kestabilan diri menuju pemulihan yang maksimal dengan meminum obat secara teratur dan berkonsultasi dengan dokter sesuai jadwal, tidur yang cukup 7—8 jam sehari, makan yang bergizi, olahraga teratur, bergaul dan berinteraksi dengan orang-orang yang positif, suportif dan peduli, bergabung dengan komunitas, bekerja dengan semangat, rajin, gembira dan bertanggung jawab, melakukan hobi, serta tidak lupa berdoa dan beribadah kepada Tuhan,” pungkas Osse.
Biro Kerja Sama dan Hubungan Masyarakat
Sekretariat Jenderal
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi
Laman: kemdikbud.go.id
Twitter: twitter.com/Kemdikbud_RI
Instagram: instagram.com/kemdikbud.ri
Facebook: facebook.com/kemdikbud.ri
Youtube: KEMENDIKBUD RI
Pertanyaan dan Pengaduan: ult.kemdikbud.go.id
#SerentakBergerak
#MerdekaBelajar
Sumber : Siaran Pers Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor : 255/sipres/A6/VI/2021
Penulis : pengelola web kemdikbud
Editor :
Dilihat 922 kali
Editor :
Dilihat 922 kali