Membumikan Pancasila di Kalangan Mahasiswa/Taruna dengan Cara Kekinian 28 Agustus 2021 ← Back
Jakarta – Pelaksana tugas (Plt.) Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi, Nizam menyampaikan bahwa upaya pembangunan karakter pelajar Pancasila dapat dilakukan salah satunya melalui program Kampus Merdeka. Pasalnya, saat ini generasi terus bergeser dari waktu ke waktu, termasuk generasi milenial yang tentunya sangat sejalan dengan perubahan teknologi, kemajuan peradaban, dan pergaulan dunia yang semakin intens saat ini.
“Oleh sebab itu, merupakan tanggung jawab kita bersama dalam menyusun strategi terbaik untuk membangun generasi masa depan dengan tetap menanamkan karakter Pancasila seperti yang kita harapkan sebagai generasi penerus bangsa tetapi tetap dalam konteks kekinian,” tutur Nizam dalam webinar BPIP yang bertemakan “Indonesia Tangguh, Indonesia Tumbuh: Membumikan Pancasila di Kalangan Mahasiswa/Taruna”, Kamis (26/8).
Nizam pun mengatakan bahwa tantangan dan peluang yang dihadapi pada abad ke-21 ini sangat berbanding lurus, dikarenakan seperti yang telah diprediksi oleh para ekonom dari satu abad silam bahwa nantinya akan ada masa dimana 50% lebih ekonomi dunia berpusat di Asia. Hal tersebut tidak mungkin terjadi tanpa adanya poros demografi produktivitas negara Jepang, Korea Selatan, serta Tiongkok yang sangat meningkat signifikan, sehingga membawa kemajuan ekonomi di Asia.
“Ketika negara-negara tersebut sedang mengadapi masa penuaan (aging society), kita bangsa Indonesia dan negara di Asia Tenggara pada khususnya justru sedang memasuki poros demografi. Akan tetapi, poros demografi tidak akan serta merta menjadi kunci mutlak kekuatan, kemajuan, serta kesejahteraan suatu bangsa tanpa adanya persiapan dalam menyiapkan generasi yang produktif, kreatif, dan tentu berakhlak mulia,” ujarnya.
Nizam mencontohkan Korea Selatan ketika memasuki masa poros demografi, 60% penduduknya berpendidikan tinggi. Sementara Indonesia saat ini ketika memasuki poros demografi baru sekitar 11% warga negara yang sudah berpendidikan tinggi atau dapat dikatakan tingkat pendidikan masyarakat Indonesia relatif masih rendah.
“Itu tentu pekerjaan rumah yang sangat besar bagi kita semua untuk turut menyiapkan generasi kita selanjutnya dalam memasuki dunia yang semakin kompetitif,” lanjutnya.
Selain itu Nizam pun mengatakan bahwa tantangan besar lainnya bagi bangsa Indonesia saat ini selain mengenai sasaran pembangunan berkelanjutan, di antaranya adalah terkait tren-tren dunia seperti urbanisasi, keuangan global, kelas menengah yang terus meningkat, kemiskinan, bahkan kesenjangan sosial, ketergantungan akan produk impor dan lain sebagainya. Semua itu merupakan tantangan nyata yang harus dihadapi pada masa transisi sosial dimana seluruh lapisan masyarakat pada saat ini dengan mudahnya mendapatkan akses informasi melalui media sosial yang selain mempermudah, tentu akan menambah tantangan lebih besar lagi.
Nizam juga menekankan bahwa dengan adanya berbagai tantangan inilah peran perguruan tinggi untuk harus selalu menjadi mata air semakin nyata. “Momen ini tentunya bukan momen yang perlu kita tangisi atau membuat kita pesimis. Justru pada saat inilah kolaborasi nyata antara seluruh lapisan masyarakat terutama perguruan tinggi dengan industri melalui program Kampus Merdeka sangat diperlukan untuk dapat bersama-sama bangkit dalam membangun Indonesia semakin baik kedepan,” sambungnya.
Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Yudian Wahyudi, juga menekankan bahwa pergerakan kebangsaan selalu dipelopori oleh generasi muda. Tidak ada negara maju tanpa elite terpelajar. Oleh karena itu, menurut Yudian, akses dan kolaborasi pendidikan harus semakin diperluas, sehingga akan mempermudah lebih banyak generasi muda untuk dapat melanjutkan pendidikan tinggi dengan output sesuai dengan kebutuhan industri.
“Jika dilihat secara komparatif, angka partisipasi kasar pendidikan tinggi yang berada dikisaran 34,58% masih kalah dari negara-negara lain jika dibandingkan dengan negara Malaysia yang berada dikisaran 59%, Singapura 78%, dan Korea Selatan 78%,” sambungnya.
Yudian juga tak lupa mengingatkan kembali tujuan dasar dari adanya pendidikan nasional yang tertera dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Pasal 3 tentang Sistem Pendidikan Nasional, bahwasanya pendidikan nasional memiliki tujuan dan fungsi untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk pakta serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan berbangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, menjadi warga negara yang demokratis, dan bertanggung jawab.
Menurut Yudian, berdasarkan rumusan UU tersebut semua generasi muda dididik tidak hanya untuk cakap secara kognitif dan menguasai sains dan teknologi, melainkan melalui pendidikan juga diharapkan dapat melahirkan generasi terpelajar yang kritis, inovatif, memiliki kepekaan sosial, dan mampu mengembangkan budaya city culture (kewargaan sipil), yang sangat dipengaruhi oleh pendidikan multiple intelligent yang mengkolaborasikan antara skill dan kecerdasan emosional. (Devy Putri P/Desliana Maulipaksi)
Sumber :
“Oleh sebab itu, merupakan tanggung jawab kita bersama dalam menyusun strategi terbaik untuk membangun generasi masa depan dengan tetap menanamkan karakter Pancasila seperti yang kita harapkan sebagai generasi penerus bangsa tetapi tetap dalam konteks kekinian,” tutur Nizam dalam webinar BPIP yang bertemakan “Indonesia Tangguh, Indonesia Tumbuh: Membumikan Pancasila di Kalangan Mahasiswa/Taruna”, Kamis (26/8).
Nizam pun mengatakan bahwa tantangan dan peluang yang dihadapi pada abad ke-21 ini sangat berbanding lurus, dikarenakan seperti yang telah diprediksi oleh para ekonom dari satu abad silam bahwa nantinya akan ada masa dimana 50% lebih ekonomi dunia berpusat di Asia. Hal tersebut tidak mungkin terjadi tanpa adanya poros demografi produktivitas negara Jepang, Korea Selatan, serta Tiongkok yang sangat meningkat signifikan, sehingga membawa kemajuan ekonomi di Asia.
“Ketika negara-negara tersebut sedang mengadapi masa penuaan (aging society), kita bangsa Indonesia dan negara di Asia Tenggara pada khususnya justru sedang memasuki poros demografi. Akan tetapi, poros demografi tidak akan serta merta menjadi kunci mutlak kekuatan, kemajuan, serta kesejahteraan suatu bangsa tanpa adanya persiapan dalam menyiapkan generasi yang produktif, kreatif, dan tentu berakhlak mulia,” ujarnya.
Nizam mencontohkan Korea Selatan ketika memasuki masa poros demografi, 60% penduduknya berpendidikan tinggi. Sementara Indonesia saat ini ketika memasuki poros demografi baru sekitar 11% warga negara yang sudah berpendidikan tinggi atau dapat dikatakan tingkat pendidikan masyarakat Indonesia relatif masih rendah.
“Itu tentu pekerjaan rumah yang sangat besar bagi kita semua untuk turut menyiapkan generasi kita selanjutnya dalam memasuki dunia yang semakin kompetitif,” lanjutnya.
Selain itu Nizam pun mengatakan bahwa tantangan besar lainnya bagi bangsa Indonesia saat ini selain mengenai sasaran pembangunan berkelanjutan, di antaranya adalah terkait tren-tren dunia seperti urbanisasi, keuangan global, kelas menengah yang terus meningkat, kemiskinan, bahkan kesenjangan sosial, ketergantungan akan produk impor dan lain sebagainya. Semua itu merupakan tantangan nyata yang harus dihadapi pada masa transisi sosial dimana seluruh lapisan masyarakat pada saat ini dengan mudahnya mendapatkan akses informasi melalui media sosial yang selain mempermudah, tentu akan menambah tantangan lebih besar lagi.
Nizam juga menekankan bahwa dengan adanya berbagai tantangan inilah peran perguruan tinggi untuk harus selalu menjadi mata air semakin nyata. “Momen ini tentunya bukan momen yang perlu kita tangisi atau membuat kita pesimis. Justru pada saat inilah kolaborasi nyata antara seluruh lapisan masyarakat terutama perguruan tinggi dengan industri melalui program Kampus Merdeka sangat diperlukan untuk dapat bersama-sama bangkit dalam membangun Indonesia semakin baik kedepan,” sambungnya.
Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Yudian Wahyudi, juga menekankan bahwa pergerakan kebangsaan selalu dipelopori oleh generasi muda. Tidak ada negara maju tanpa elite terpelajar. Oleh karena itu, menurut Yudian, akses dan kolaborasi pendidikan harus semakin diperluas, sehingga akan mempermudah lebih banyak generasi muda untuk dapat melanjutkan pendidikan tinggi dengan output sesuai dengan kebutuhan industri.
“Jika dilihat secara komparatif, angka partisipasi kasar pendidikan tinggi yang berada dikisaran 34,58% masih kalah dari negara-negara lain jika dibandingkan dengan negara Malaysia yang berada dikisaran 59%, Singapura 78%, dan Korea Selatan 78%,” sambungnya.
Yudian juga tak lupa mengingatkan kembali tujuan dasar dari adanya pendidikan nasional yang tertera dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Pasal 3 tentang Sistem Pendidikan Nasional, bahwasanya pendidikan nasional memiliki tujuan dan fungsi untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk pakta serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan berbangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, menjadi warga negara yang demokratis, dan bertanggung jawab.
Menurut Yudian, berdasarkan rumusan UU tersebut semua generasi muda dididik tidak hanya untuk cakap secara kognitif dan menguasai sains dan teknologi, melainkan melalui pendidikan juga diharapkan dapat melahirkan generasi terpelajar yang kritis, inovatif, memiliki kepekaan sosial, dan mampu mengembangkan budaya city culture (kewargaan sipil), yang sangat dipengaruhi oleh pendidikan multiple intelligent yang mengkolaborasikan antara skill dan kecerdasan emosional. (Devy Putri P/Desliana Maulipaksi)
Sumber :
Penulis : pengelola web kemdikbud
Editor :
Dilihat 2177 kali
Editor :
Dilihat 2177 kali