Menilik Upaya Pelindungan dan Pengembangan Bahasa Daerah dalam Seminar Internasional 26 Agustus 2021 ← Back
Jakarta, 26 Agustus 2021 --- Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Badan Bahasa Kemendikbudristek), melalui Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah menggelar Seminar Internasional Bahasa dan Sastra Daerah I (Sinar Bahtera I) dengan tema “Keberagaman Bahasa dan Sastra Daerah Memperkukuh Jati Diri Bangsa Indonesia dalam Menyambut Revolusi Industri 4.0”. Seminar internasional tersebut berlangsung secara daring pada Selasa—Kamis, 24—26 Agustus 2021. Seminar bertujuan mendiskusikan upaya-upaya pelestarian dan pelindungan bahasa dan sastra daerah yang semakin terpinggirkan oleh derasnya arus globalisasi dan kemajuan teknologi.
Seminar dibuka secara resmi oleh Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbudristek, E. Aminudin Aziz, pada Selasa, 24 Agustus 2021. Aminudin sekaligus menjadi pembicara kunci mengenai pelindungan bahasa dan sastra daerah pada hari pertama seminar. Ia mengatakan, Badan Bahasa memiliki lima program pelindungan bahasa dan sastra. Pertama, Pemetaan Bahasa dan Sastra, yaitu kajian bahasa dan sastra daerah yang disertai pemetaan wilayah persebarannya serta kekerabatannya.
Kedua, Kajian Vitalitas Bahasa dan Sastra, yaitu pengkajian vitalitas atau daya hidup bahasa dan sastra untuk menentukan status sebuah bahasa dan sastra berdasarkan kategorinya. Ketiga, Konservasi Bahasa dan Sastra, yakni penyusunan sistem fonologi, morfologi, sintaksis, dan aksara/ortografis, serta konservasi sastra lisan, sastra cetak, dan manuskrip. Keempat, Revitalisasi Bahasa dan Sastra, meliputi pemelajaran klasikal dan pemodelan, penyusunan bahan ajar, dan penyediaan bahan muatan lokal kebahasaan dan kesastraan. Kelima, Peta dan Registrasi Bahasa dan Sastra Daring, yakni berupa aplikasi untuk registrasi hasil pemetaan, kajian vitalitas, konservasi, revitalisasi, serta hasil kajian bahasa dan sastra.
Saat ini, tutur Aminudin, ada 718 bahasa daerah di Indonesia yang merupakan hasil dari pemetaan hingga registrasi bahasa dan sastra yang dilakukan oleh Badan Bahasa, Kemendikbudristek. Ia mengakui adanya perbedaan data mengenai jumlah bahasa daerah di Indonesia yang dikeluarkan oleh lembaga lain. “Banyak yang bertanya, kenapa data yang dimiliki oleh Badan Bahasa tidak sama dengan data lain, misalnya SIL, yaitu Summer Institute of Linguistics? Perbedaan itu muncul karena dari teori dasar pemetaannya,” ujar Aminudin.
Ia menjelaskan, pemetaan yang dilakukan Badan Bahasa dilakukan dengan mendatangi langsung ke wilayah-wilayah pengguna atau penutur bahasa daerah hingga ke komunitas-komunitas. Kemudian dilakukan pentranskripsian, perekaman, hingga mendapatkan keyakinan bahwa bahasa daerah yang sedang dipetakan itu benar-benar berbeda atau merupakan bahasa yang sama dengan bahasa daerah yang sudah ada.
“Kami di Badan Bahasa tidak melakukan pemetaan berdasarkan laporan yang diberikan oleh masyarakat atau komunitas tanpa melakukan pengecekan. Selama sekitar 10 tahun Badan Bahasa melakukan pemeetaan dengan mendatangi secara langsung dan melakukan konfirmasi kepada para penutur bahasa di lingkungan komunitas penggunanya,” tutur Aminudin.
Berbicara mengenai pelindungan bahasa dan sastra daerah, lanjutnya, upaya yang dilakukan seharusnya tidak hanya memproteksi, tetapi juga harus berbicara dalam konteks pengembangan. Menurutnya, harus ada upaya melindungi, melestarikan, dan mengembangkan sehingga bahasa daerah tidak mati. “Jadi, tidak hanya memetakan dan mengonservasi atau mengkaji vitalitas yang sifatnya lebih pasif, tetapi justru harus melakukan pengembangan,” katanya.
Saat melakukan pengembangan bahasa daerah, perlu dilihat juga tingkat keberhasilannya. Menurut Aminudin, salah satu indikatornya adalah seberapa banyak bahasa daerah bisa dimanfaatkan oleh penuturnya. “Jadi, meskipun kita sudah melakukan konservasi, pemetaan, kajian vitalitas, kalau akhirnya bahasa itu tidak dipakai oleh para penuturnya, tidak ada gunanya program pelindungan itu. Makanya kita sekarang lebih aktif,” tuturnya.
Badan Bahasa kemudian merumuskan lima variabel penyusun indikator yang digunakan untuk menghitung Indeks Pemanfaatan Bahasa Daerah oleh Penuturnya (IPBD). Pertama, Bahasa Daerah, yaitu jumlah bahasa daerah yang menjadi mata pelajaran atau muatan lokal di sekolah di daerah masing-masing. Kedua, Guru, yakni jumlah guru bahasa daerah di wilayah masing-masing. Ketiga, Publikasi, yaitu jumlah publikasi cetak atau digital dalam bahasa daerah (karya sastra atau nonsastra). Keempat, Media, yakni jumlah media penyiaran elektronik yang memiliki program dalam bahasa daerah (radio, televisi, siniar/podcast, atau kanal Youtube). Kelima, Penutur, yaitu jumlah penutur yang menggunakan bahasa daerah dalam komunikasi sehari-hari dalam ranah keluarga, pendidikan, dan masyarakat.
Aminudin mengatakan, kelima variabel tersebut harus didukung dengan upaya yang aktif, bukan pasif. “Kita bergerak maju melakukan pelindungan secara aktif. Kami (Badan Bahasa) melibatkan semua elemen pemangku kepentingan. Kami hanya bertindak sebagai fasilitator yang menggagas, sementara tanggung jawab ada pada pemerintah daerah,” katanya. Ia pun mengajak semua pihak, termasuk pemerintah daerah, untuk berperan aktif dalam upaya pelindungan, pelestarian, dan pengembangan bahasa dan sastra daerah.
Dalam sambutannya Kepala Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah, Valentina Lovina Tanate, M.Hum., mengatakan bahwa Seminar Internasional Bahasa dan Sastra Daerah I (Sinar Bahtera I) menghadirkan 124 pemakalah pendamping dari seluruh Indonesia dengan berbagai kajian kebahasaan dan kesastraan. Makalah terpilih akan dimuat dalam jurnal dan prosiding terindeks Scopus serta jurnal nasional terindeks Sinta. Makalah lain akan dipublikasikan dalam jurnal ilmiah nasional dan prosiding nasional ber-ISBN.
Seminar internasional ini, lanjut Valentina, merupakan salah satu upaya diseminasi atau penyebarluasan temuan dan pemutakhiran informasi dalam bidang kebahasaan dan kesastraan, khususnya bahasa dan sastra daerah. Kegiatan yang digagas oleh Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah ini diharapkan memberikan dampak yang positif dan manfaat yang berkelanjutan di lingkup Provinsi Kalimantan Tengah, nasional, dan global. Dengan seminar ini diharapkan upaya pelindungan, pelestarian, dan revitalisasi bahasa dan sastra daerah berjalan secara masif dan konstruktif.
Sinar Bahtera I menghadirkan dua pembicara kunci, yaitu Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, E. Aminudin Aziz dan Direktur Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan, Ditjen Kebudayaan Kemendikbudristek, Restu Gunawan. Seminar ini juga menghadirkan tujuh pembicara utama internasional dan lima pembicara nasional.
Ketujuh pembicara internasional yang dihadirkan ialah James T. Collins dari Universiti Kebangsaan Malaysia; Aone van Engelenhoven dari Leiden University; Hywel Coleman dari Leeds University; Charles E. Grimes dan George Quinn dari Australian National University; Muhammad Hadi dari Persatuan Sejarah Brunei; dan Ahmad Sahidah dari Universiti Utara Malaysia. Kemudian lima pembicara nasional dalam seminar ialah Suwardi Endraswara dari Universitas Negeri Yogyakarta, Bani Sudardi dari Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta, Kunjana Rahardi dari Universitas Sanata Dharma, dan Amirullah Abduh dari Universitas Negeri Makassar.
Biro Kerja Sama dan Hubungan Masyarakat
Sekretariat Jenderal
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi
Laman: kemdikbud.go.id
Twitter: twitter.com/Kemdikbud_RI
Instagram: instagram.com/kemdikbud.ri
Facebook: facebook.com/kemdikbud.ri
Youtube: KEMENDIKBUD RI
Pertanyaan dan Pengaduan: ult.kemdikbud.go.id
#MerdekaBelajar
Sumber : Siaran Pers Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor: 428/sipres/A6/VIII/2021
Seminar dibuka secara resmi oleh Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbudristek, E. Aminudin Aziz, pada Selasa, 24 Agustus 2021. Aminudin sekaligus menjadi pembicara kunci mengenai pelindungan bahasa dan sastra daerah pada hari pertama seminar. Ia mengatakan, Badan Bahasa memiliki lima program pelindungan bahasa dan sastra. Pertama, Pemetaan Bahasa dan Sastra, yaitu kajian bahasa dan sastra daerah yang disertai pemetaan wilayah persebarannya serta kekerabatannya.
Kedua, Kajian Vitalitas Bahasa dan Sastra, yaitu pengkajian vitalitas atau daya hidup bahasa dan sastra untuk menentukan status sebuah bahasa dan sastra berdasarkan kategorinya. Ketiga, Konservasi Bahasa dan Sastra, yakni penyusunan sistem fonologi, morfologi, sintaksis, dan aksara/ortografis, serta konservasi sastra lisan, sastra cetak, dan manuskrip. Keempat, Revitalisasi Bahasa dan Sastra, meliputi pemelajaran klasikal dan pemodelan, penyusunan bahan ajar, dan penyediaan bahan muatan lokal kebahasaan dan kesastraan. Kelima, Peta dan Registrasi Bahasa dan Sastra Daring, yakni berupa aplikasi untuk registrasi hasil pemetaan, kajian vitalitas, konservasi, revitalisasi, serta hasil kajian bahasa dan sastra.
Saat ini, tutur Aminudin, ada 718 bahasa daerah di Indonesia yang merupakan hasil dari pemetaan hingga registrasi bahasa dan sastra yang dilakukan oleh Badan Bahasa, Kemendikbudristek. Ia mengakui adanya perbedaan data mengenai jumlah bahasa daerah di Indonesia yang dikeluarkan oleh lembaga lain. “Banyak yang bertanya, kenapa data yang dimiliki oleh Badan Bahasa tidak sama dengan data lain, misalnya SIL, yaitu Summer Institute of Linguistics? Perbedaan itu muncul karena dari teori dasar pemetaannya,” ujar Aminudin.
Ia menjelaskan, pemetaan yang dilakukan Badan Bahasa dilakukan dengan mendatangi langsung ke wilayah-wilayah pengguna atau penutur bahasa daerah hingga ke komunitas-komunitas. Kemudian dilakukan pentranskripsian, perekaman, hingga mendapatkan keyakinan bahwa bahasa daerah yang sedang dipetakan itu benar-benar berbeda atau merupakan bahasa yang sama dengan bahasa daerah yang sudah ada.
“Kami di Badan Bahasa tidak melakukan pemetaan berdasarkan laporan yang diberikan oleh masyarakat atau komunitas tanpa melakukan pengecekan. Selama sekitar 10 tahun Badan Bahasa melakukan pemeetaan dengan mendatangi secara langsung dan melakukan konfirmasi kepada para penutur bahasa di lingkungan komunitas penggunanya,” tutur Aminudin.
Berbicara mengenai pelindungan bahasa dan sastra daerah, lanjutnya, upaya yang dilakukan seharusnya tidak hanya memproteksi, tetapi juga harus berbicara dalam konteks pengembangan. Menurutnya, harus ada upaya melindungi, melestarikan, dan mengembangkan sehingga bahasa daerah tidak mati. “Jadi, tidak hanya memetakan dan mengonservasi atau mengkaji vitalitas yang sifatnya lebih pasif, tetapi justru harus melakukan pengembangan,” katanya.
Saat melakukan pengembangan bahasa daerah, perlu dilihat juga tingkat keberhasilannya. Menurut Aminudin, salah satu indikatornya adalah seberapa banyak bahasa daerah bisa dimanfaatkan oleh penuturnya. “Jadi, meskipun kita sudah melakukan konservasi, pemetaan, kajian vitalitas, kalau akhirnya bahasa itu tidak dipakai oleh para penuturnya, tidak ada gunanya program pelindungan itu. Makanya kita sekarang lebih aktif,” tuturnya.
Badan Bahasa kemudian merumuskan lima variabel penyusun indikator yang digunakan untuk menghitung Indeks Pemanfaatan Bahasa Daerah oleh Penuturnya (IPBD). Pertama, Bahasa Daerah, yaitu jumlah bahasa daerah yang menjadi mata pelajaran atau muatan lokal di sekolah di daerah masing-masing. Kedua, Guru, yakni jumlah guru bahasa daerah di wilayah masing-masing. Ketiga, Publikasi, yaitu jumlah publikasi cetak atau digital dalam bahasa daerah (karya sastra atau nonsastra). Keempat, Media, yakni jumlah media penyiaran elektronik yang memiliki program dalam bahasa daerah (radio, televisi, siniar/podcast, atau kanal Youtube). Kelima, Penutur, yaitu jumlah penutur yang menggunakan bahasa daerah dalam komunikasi sehari-hari dalam ranah keluarga, pendidikan, dan masyarakat.
Aminudin mengatakan, kelima variabel tersebut harus didukung dengan upaya yang aktif, bukan pasif. “Kita bergerak maju melakukan pelindungan secara aktif. Kami (Badan Bahasa) melibatkan semua elemen pemangku kepentingan. Kami hanya bertindak sebagai fasilitator yang menggagas, sementara tanggung jawab ada pada pemerintah daerah,” katanya. Ia pun mengajak semua pihak, termasuk pemerintah daerah, untuk berperan aktif dalam upaya pelindungan, pelestarian, dan pengembangan bahasa dan sastra daerah.
Dalam sambutannya Kepala Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah, Valentina Lovina Tanate, M.Hum., mengatakan bahwa Seminar Internasional Bahasa dan Sastra Daerah I (Sinar Bahtera I) menghadirkan 124 pemakalah pendamping dari seluruh Indonesia dengan berbagai kajian kebahasaan dan kesastraan. Makalah terpilih akan dimuat dalam jurnal dan prosiding terindeks Scopus serta jurnal nasional terindeks Sinta. Makalah lain akan dipublikasikan dalam jurnal ilmiah nasional dan prosiding nasional ber-ISBN.
Seminar internasional ini, lanjut Valentina, merupakan salah satu upaya diseminasi atau penyebarluasan temuan dan pemutakhiran informasi dalam bidang kebahasaan dan kesastraan, khususnya bahasa dan sastra daerah. Kegiatan yang digagas oleh Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah ini diharapkan memberikan dampak yang positif dan manfaat yang berkelanjutan di lingkup Provinsi Kalimantan Tengah, nasional, dan global. Dengan seminar ini diharapkan upaya pelindungan, pelestarian, dan revitalisasi bahasa dan sastra daerah berjalan secara masif dan konstruktif.
Sinar Bahtera I menghadirkan dua pembicara kunci, yaitu Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, E. Aminudin Aziz dan Direktur Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan, Ditjen Kebudayaan Kemendikbudristek, Restu Gunawan. Seminar ini juga menghadirkan tujuh pembicara utama internasional dan lima pembicara nasional.
Ketujuh pembicara internasional yang dihadirkan ialah James T. Collins dari Universiti Kebangsaan Malaysia; Aone van Engelenhoven dari Leiden University; Hywel Coleman dari Leeds University; Charles E. Grimes dan George Quinn dari Australian National University; Muhammad Hadi dari Persatuan Sejarah Brunei; dan Ahmad Sahidah dari Universiti Utara Malaysia. Kemudian lima pembicara nasional dalam seminar ialah Suwardi Endraswara dari Universitas Negeri Yogyakarta, Bani Sudardi dari Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta, Kunjana Rahardi dari Universitas Sanata Dharma, dan Amirullah Abduh dari Universitas Negeri Makassar.
Biro Kerja Sama dan Hubungan Masyarakat
Sekretariat Jenderal
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi
Laman: kemdikbud.go.id
Twitter: twitter.com/Kemdikbud_RI
Instagram: instagram.com/kemdikbud.ri
Facebook: facebook.com/kemdikbud.ri
Youtube: KEMENDIKBUD RI
Pertanyaan dan Pengaduan: ult.kemdikbud.go.id
#MerdekaBelajar
Sumber : Siaran Pers Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor: 428/sipres/A6/VIII/2021
Penulis : pengelola web kemdikbud
Editor :
Dilihat 1732 kali
Editor :
Dilihat 1732 kali