Konservasi Sastra Lampung di Tulangbawang Barat, Lampung Utara, dan Lampung Selatan  19 Oktober 2021  ← Back



Bandar Lampung, Kemendikbudristek --- Secara umum jenis sastra lisan bergenre puisi yang ada dan berkembang di Tulangbawang Barat adalah syair, pepatcur, pantun/berbalas pantun, marou/paradinei, ngediyou/bahasa sindiran, dan bebandung/pantun bersaut.

Dewasa ini kata Kepala Kantor Bahasa Lampung, Eva Krisna, ditemukan bahwa sastra lisan bebandung yang dituturkan atau ditampilkan oleh semua orang kenyataannya sangat sedikit penuturnya. Meski sastra lisan bebandung bisa dinikmati oleh semua orang, jumlah penutur sastra lisan bebandung saat ini jumlahnya semakin menurun. 

“Upaya pelestarian sastra lisan bebandung dengan membentuk sanggar seni yang para pelaku atau pegiatnya sudah diinisiasi oleh para tokoh adat sudah dilakukan. Selain itu juga dengan mengajarkan/mewariskannya kepada generasi muda (muda-mudi) kampung dengan membentuk sanggar seni, serta melalui pendidikan formal di sekolah yang terintegrasi dalam mata ajar mulok (muatan lokal) bahasa Lampung,” jelas Eva Krisna pada Selasa (19/10). 

“Upaya-upaya pemangku kepentingan, pemerintah daerah, dan pemangku adat sangat perlu di dalam upaya pelestarian ini. Regulasi yang melindungi aspek budaya dan kearifan lokal sudah sepatutnya mendapat perhatian khusus dari kita semua pihak agar tradisi lisan bebandung khususnya dan sastra lisan lainnya ini tetap lestari dan tidak punah,” tegas Eva. 

Sementara itu, jenis sastra lisan yang ada dan berkembang di Lampung Utara antara lain, ringget, dikir lama (tabuhan), dikir bahu (tabuhan), pisaan, syair, ngediyo/bahasa sindiran, warahan, andi-andi, prakasih, sekiman, incang-incang, dan bebandung/pantun bersaut.

Eva Krisna mengungkapkan, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Lampung Utara telah cukup baik memperhatikan seni dan budaya di wilayahnya. Pentas-pentas seni budaya, pelatihan-pelatihan bagi generasi muda, serta pengiriman duta kesenian dari wilayah Lampung Utara ke luar daerah sudah menjadi agenda rutin yang dilaksanakan. Selain itu, pendataan tokoh-tokoh sastra lisan dan pemilik manuskrip juga dilakukan oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan. 

Masyarakat Lampung Utara juga merupakan masyarakat yang masih kuat memegang adat budaya. Dalam upacara-upacara penting seperti pernikahan, kelahiran anak, dan pemberian gelar masih mengikuti adat budaya yang berlaku sehingga sastra lisan masih hidup hingga kini. Para tokoh adat pun masih berkomunikasi untuk terus memajukan adat dan budaya yang berlaku. 

“Namun demikian, penutur sastra lisan yang berasal dari generasi muda tergolong cukup sedikit. Hal tersebut menjadi kekhawatiran orang-orang tua yang masih menggeluti sastra lisan. Pernah ada upaya untuk mengajari generasi muda, hanya saja hal tersebut terhalang oleh kesibukan dan juga mitos bahwa kemampuan itu tidak hanya diperoleh dari proses belajar, tapi ada daya magis yang membantu proses tersebut,” ungkapnya. 

Tak hanya itu, kajian vitalitas juga dilakukan terhadap sastra lisan Lampung Selatan, yakni Kias. Hasil kajian menunjukan status bahwa sastra lisan itu tergolong mengalami kemunduran atau bila disebut dalam angka sebesar 0.43. 

Eva Krisna menuturkan bahwa langkah pelindungan yang perlu dilakukan adalah (a) pelatihan tentang tuturan Kias kepada generasi muda yang berada di luar keluarga yang masih menguasainya—dapat melalui bengkel sastra dalam kegiatan revitalisasi; (b) penguatan materi ajar Kias dalam muatan lokal di sekolah-sekolah di Lampung Selatan; (c) mengalihwahanakan Kias dalam beragam media; dan (d) Pemda perlu memiliki regulasi pelestarian Kias—terutama terkait pemuatannya dalam muatan lokal di sekolah.

“Penutur sastra sama dengan penutur bahasa. Artinya, penutur bahasa Lampung misalnya adalah penutur sastra lisan Lampung. Mengalami kemunduran bahasa dan sastra lisan kias hari ini bukan karena penuturnya sedikit, melainkan karena penuturnya tidak bertutur lagi dalam bahasa daerahnya,” ucap Eva mengisahkan. 

Kemunduran eksistensi sastra beberapa hal disebabkan oleh terputusnya sistem pewarisan. Padahal, menghidupkan dan mempertahankan bahasa lokal serta sastra lisan itu menjadi tanggung jawab semua orang, semua lapisan, untuk menjadi milik bersama dan milik negara secara nasional bahkan milik dunia. 

Sastra lisan diturunkan secara turun-temurun dari generasi ke generasi, dari orang tua ke anak, dari kakek dan nenek ke cucu, bisa juga dari kakak ke adik-adiknya. Dengan kata lain, dari orang yang berusia lebih tua kepada yang berusia lebih muda. 

Eva Krisna menyadari, pemerintah harus membina bahkan membuat sanggar-sanggar dan komunitas-komunitas yang menjadi wadah bagi masyarakat Lampung Selatan terutama kaum muda untuk berkreasi bahasa, sastra, atau seni daerah. Kemajuan teknologi dapat kita manfaatkan untuk penyebaran informasi yang seluas-luasnya. 

“Oleh karena itu, perlu pengembangan sastra lisan kias berbasis IT (informasi teknologi) atau cyber, selain berbasis konvensional, sehingga sastra lisan kias  itu lebih mudah diakses dan diterima oleh kalangan muda. Perlu juga dibuatkan kamus online bahasa dan budaya di Kabupaten Lampung Selatan berbasis cyber supaya masyarakat luar dapat mengaksesnya,” jelasnya. 

Selain itu, perlu juga dibuat kegiatan untuk menggambarkan tentang identitas Kabupaten Lampung Selatan melalui bahasa dan sastra lisannya. Kegiatan tersebut dapat berupa literasi dan dihadiri komunitas-komunitas di Lampung Selatan untuk ikut berpartisipasi. Karena masyarakat Lampung sekarang sudah membaur maka kias dikontekstualisasikan dalam bahasa Indonesia supaya dapat dimengerti oleh semua kalangan/lapisan masyarakat. 

Artinya, kata Eva, kias dapat disampaikan dengan menggunakan bahasa Indonesia. “Pelestarian sastra lisan Lampung Selatan harus dilakukan secara bersama-sama, tidak hanya oleh orang tua di dalam keluarga, tetapi juga bersama-sama dengan pemerintah, termasuk swasta,” pungkasnya.* (Denty A.)
Sumber :

 


Penulis : pengelola web kemdikbud
Editor :
Dilihat 1734 kali