Menyelami Upaya Pengembangan dan Pelindungan Bahasa di Aceh 01 Oktober 2021 ← Back
Aceh, 1 Oktober 2021 --- Sepanjang 2021, Balai Bahasa Provinsi Aceh (BBPA) telah menginventarisasi kosakata bahasa dan sastra yang ada di daerah yang dikenal dengan julukan Serambi Mekkah. Kegiatan inventarisasi ini dilakukan dalam berbagai bidang, namun di tahun ini fokusnya ada di bidang kemaritiman. Berpusat di Kabupaten Aceh Timur dan Kota Lhokseumawe, serta Kabupaten Aceh Barat, tim BBPA terjun ke daerah pesisir untuk mengamati dan bertanya langsung kepada narasumber mengenai istilah dalam pekerjaan di bidang kemaritiman.
Kepala BBPA, Karyono, mengatakan, narasumber yang terlibat dalam proses inventarisasi tersebut merupakan orang-orang yang ahli di bidang kemaritiman. Para narasumber ini terdiri dari pawang laut, nelayan, dan tokoh yang mengerti tentang dunia perkapalan. “Kita pastikan mereka memang mengerti istilah dan kosakata dalam bidang (kemaritiman) ini, supaya mengurangi potensi kekeliruan,” tuturnya, beberapa waktu lalu, di Aceh.
Selain menggali potensi kosakata baru di bidang kemaritiman, tim BBPA juga menyusun hasil inventarisasi tersebut dalam sebuah kamus kemaritiman. Penyusunan dilakukan dalam lokakarya yang dihelat Agustus lalu. Dalam lokakarya tersebut, pesertanya tak lain adalah informan dalam kegiatan inventarisasi kosakata Bahasa Aceh bidang Kemaritiman yang berasal dari tiga daerah pesisir di Provinsi Aceh, yaitu Aceh Timur, Aceh Barat, dan Lhokseumawe.
Karyono menjelaskan, lokakarya kamus merupakan suatu upaya untuk memvalidasi kosakata yang telah diinventarisasi, baik melalui pengambilan data lapangan maupun studi pustaka. Untuk itu, dalam lokakarya ini dilibatkan pula akademisi dan praktisi di bidang kebahasaan dan kebudayaan untuk memvalidasi hasil inventarisasi.
Di lokakarya tersebut, hadir pula sebagai narasumber kemaritiman dan kebahasaan, yaitu Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Aceh, PSDKP Lampulo, Fakultas Kelautan dan Perikanan USK, BPBAP Ujung Batee, dan Balai Bahasa Provinsi Aceh.
Selain inventarisasi kosakata, BBPA juga fokus pada revitalisasi sastra. Salah satunya adalah sastra yang digunakan sebagai sarana pembelajaran agama di Aceh Barat yang disebut dengan nazam. Kegiatan yang berlangsung Maret lalu ini, dilakukan untuk membangkitkan kembali semangat pelestarian nazam di masyarakat Aceh.
Menurut tokoh budayawan Aceh, Syeh Masri, nazam disampaikan dalam beberapa model lagu untuk mengiringi bait-bait yang berisi petuah agama. Dengan lagu tersebut, kata dia, nazam akan terpaut di hati pendengar. “Pendengar akan menikmati sembari memahami dan mempraktikkan pesan nazam di kehidupan,” katanya.
Mengingat pentingnya nazam untuk dilestarikan, Karyono mengajak masyarakat Aceh untuk menjaga dan melestarikannya. Ia mengakui, eksistensi nazam di zaman sekarang sangat memprihatinkan, sebagaimana kesenian-kesenian tradisional lain yang juga kehilangan banyak peminat karena perkembangan zaman.
Keprihatinan ini ditegaskan pula oleh Syeh Masri ketika diwawancarai pada Maret silam. Ia menyebut, beragam media hiburan yang semakin ramai di zaman sekarang dianggap membuat kesenian nazam kalah pamor dan semakin lama semakin ditinggalkan masyarakat. Masri mengakui kegiatan revitalisasi ini tentu tidak cukup membuat nazam menjadi panjang umur dan berdaya hidup tinggi di masyarakat Aceh. Namun di sisi lain, ia melihat optimisme terhadap eksistensi nazam mesti senantiasa dirawat dan diejawantahkan menjadi usaha-usaha konkret yang kontinu, baik itu dari pemerintah, masyarakat, maupun dari pegiat nazam itu sendiri.
“Kerja sama serta konsistensi dari usaha-usaha tersebut jelas merupakan faktor penentu bagi membaiknya daya hidup nazam di masyarakat Aceh pada generasi yang akan datang,” tuturnya.
Tak hanya, nazam, sastra folklore kekitiken juga menjadi fokus revitalisasi Balai Bahasa Provinsi Aceh. Revitalisasi yang dilakukan dengan menggelar lomba kekitiken ini telah dilakukan pada April lalu, di Kabupaten Aceh Tengah.
Dalam upaya revitalisasi, tim BBPA mendatangi beberapa sekolah di Aceh Tengah untuk menyosialisasikan kegiatan ini. Sekolah pertama yang dikunjungi tim BBPA adalah SMA terpadu Al-Azhar. Sekolah yang dikepalai Cut Ida Agustina ini menerima penjelasan dari tim balai Bahasa tentang revitasiliasi kekitiken. Selain SMA Terpadu Al-Azhar, ada beberapa sekolah yang menjadi target kunjungan tim balai. Di sekolah-sekolah tersebut, tim balai mencari responden untuk mengisi kuesioner tentang kekitiken. Dari hasil pengisian, diketahui bahwa tradisi berkekitiken di masyarakat Gayo, sudah mulai hilang.
Berkekitiken merupakan satu kegiatan yang membutuhkan kecepatan berpikir, di mana ada pertanyaan yang diberikan pihak penanya kepada temannya penuh dengan bahasa yang mengandung pernyataan yang membutuhkan daya nalar. Berkekitiken dipandang sebagai kegiatan yang dapat menambah daya nalar orang melakukannya.
Dengan diketahuinya fakta bahwa tradisi berkekitiken hamper hilang di masyarakat Gayo, Karyono mengingatkan betapa pentingnya melestarikan Kembali budaya ini dalam masyarakat khususnya masyarakat Gayo.
Sumber :
Editor :
Dilihat 4282 kali