Ini Alasan Dipilihnya Lima Bahasa Daerah di NTT untuk Direvitalisasi Tahun 2022 27 Juni 2022 ← Back
Kupang, Kemendikbudristek --- Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) memiliki lima bahasa daerah yang termasuk dalam program revitalisasi bahasa daerah tahun 2022. Dipilihnya lima dari 72 bahasa daerah di NTT ini berdasarkan kriteria kedaruratan bahasa yang mendesak untuk diselamatkan.
Menurut data Peta Bahasa 2019, lima bahasa daerah NTT, yaitu bahasa Dawan, bahasa Manggarai, bahasa Kambera, bahasa Rote, dan bahasa Abui, merupakan bahasa yang mengalami kemunduran, terancam punah, dan berada dalam kondisi kritis. Di sisi lain, kelima bahasa ini merupakan bahasa daerah yang jumlah generasi mudanya masih potensial secara kuantitatif dan menjadi representasi keragaman wilayah di Nusa Tenggara Timur. Kondisi tersebut menjadi alasan kelima bahasa daerah tersebut dipilih tahun ini.
Menurut Kepala Kantor Bahasa Nusa Tenggara Timur, Elis Setiati, keberhasilan revitalisasi pada lima bahasa daerah ini akan menjadi tolok ukur untuk pelaksanaan revitalisasi di tahun berikutnya, terutama pada bahasa daerah yang penutur mudanya terbatas. Revitalisasi bahasa daerah ini, menurutnya, adalah upaya pelestarian dan pengembangan bahasa daerah melalui pewarisan bahasa daerah kepada generasi muda untuk mendorong penggunaannya dalam komunikasi yang beragam.
“Kita ingin daya hidup bahasa daerah tersebut berada pada taraf aman dan ditransmisikan dengan baik,” tuturnya dalam rapat koordinasi program Merdeka Belajar Episode ke-17: Revitalisasi Bahasa Daerah di Nusa Tenggara Timur, yang diselenggarakan di Kupang, NTT, Senin (27/6).
Kepala Pusat Pembinaan Bahasa, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kemendikbudristek, M. Abdul Khak, mengatakan, konsep revitalisasi bahasa daerah dilakukan dalam bentuk festival bahasa ibu. Untuk itu, pemilihan bahasa sasaran yang sesuai dan tepat menjadi penting agar selaras dengan target sasaran, yaitu penutur muda bahasa daerah.
Festival Tunas Bahasa Ibu (FTBI) menyediakan tujuh pilihan materi, yaitu membaca dan menulis aksara daerah, menulis cerita pendek (cerpen), membaca puisi, mendongeng, pidato, tembang tradisi, dan komedi tunggal (stand up comedy).
Khak menambahkan, dari tiga model revitalisasi yang dikembangkan oleh Badan Bahasa, Provinsi NTT didorong untuk menggunakan model C, yaitu model dengan karakteristik daya hidup bahasanya mengalami kemunduran, terancam punah, atau kritis, dan jumlah penutur sedikit dengan sebaran terbatas. Pendekatan yang digunakan dalam model ini yaitu dengan pewarisan yang dapat dilakukan melalui pembelajaran berbasis komunitas untuk wilayah tutur bahasa yang terbatas dan khas.
“Pembelajaran dilakukan dengan menunjuk dua atau lebih keluarga sebagai model tempat belajar atau dilakukan di pusat kegiatan masyarakat, seperti tempat ibadah, kantor desa, atau taman bacaan masyarakat,” kata Khak.
Ia juga menyampaikan, ada empat tujuan akhir dari revitalisasi bahasa daerah. Tujuan pertama, penutur muda diharapkan dapat menjadi penutur aktif bahasa daerah dan pada gilirannya memiliki kemauan untuk mempelajari bahasa daerah dengan penuh suka cita melalui media yang mereka sukai. Kedua, menjaga kelangsungan hidup bahasa dan sastra daerah. Ketiga, menciptakan ruang kreativitas dan kemerdekaan bagi penutur bahasa daerah untuk mempertahankan bahasanya, serta tujuan keempat, yakni menemukan fungsi dan ranah baru dari sebuah bahasa dan sastra daerah. “Tujuan ini yang akan kita capai bersama,” katanya. (Aline R./Meryna A.)
Sumber :
Menurut data Peta Bahasa 2019, lima bahasa daerah NTT, yaitu bahasa Dawan, bahasa Manggarai, bahasa Kambera, bahasa Rote, dan bahasa Abui, merupakan bahasa yang mengalami kemunduran, terancam punah, dan berada dalam kondisi kritis. Di sisi lain, kelima bahasa ini merupakan bahasa daerah yang jumlah generasi mudanya masih potensial secara kuantitatif dan menjadi representasi keragaman wilayah di Nusa Tenggara Timur. Kondisi tersebut menjadi alasan kelima bahasa daerah tersebut dipilih tahun ini.
Menurut Kepala Kantor Bahasa Nusa Tenggara Timur, Elis Setiati, keberhasilan revitalisasi pada lima bahasa daerah ini akan menjadi tolok ukur untuk pelaksanaan revitalisasi di tahun berikutnya, terutama pada bahasa daerah yang penutur mudanya terbatas. Revitalisasi bahasa daerah ini, menurutnya, adalah upaya pelestarian dan pengembangan bahasa daerah melalui pewarisan bahasa daerah kepada generasi muda untuk mendorong penggunaannya dalam komunikasi yang beragam.
“Kita ingin daya hidup bahasa daerah tersebut berada pada taraf aman dan ditransmisikan dengan baik,” tuturnya dalam rapat koordinasi program Merdeka Belajar Episode ke-17: Revitalisasi Bahasa Daerah di Nusa Tenggara Timur, yang diselenggarakan di Kupang, NTT, Senin (27/6).
Kepala Pusat Pembinaan Bahasa, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kemendikbudristek, M. Abdul Khak, mengatakan, konsep revitalisasi bahasa daerah dilakukan dalam bentuk festival bahasa ibu. Untuk itu, pemilihan bahasa sasaran yang sesuai dan tepat menjadi penting agar selaras dengan target sasaran, yaitu penutur muda bahasa daerah.
Festival Tunas Bahasa Ibu (FTBI) menyediakan tujuh pilihan materi, yaitu membaca dan menulis aksara daerah, menulis cerita pendek (cerpen), membaca puisi, mendongeng, pidato, tembang tradisi, dan komedi tunggal (stand up comedy).
Khak menambahkan, dari tiga model revitalisasi yang dikembangkan oleh Badan Bahasa, Provinsi NTT didorong untuk menggunakan model C, yaitu model dengan karakteristik daya hidup bahasanya mengalami kemunduran, terancam punah, atau kritis, dan jumlah penutur sedikit dengan sebaran terbatas. Pendekatan yang digunakan dalam model ini yaitu dengan pewarisan yang dapat dilakukan melalui pembelajaran berbasis komunitas untuk wilayah tutur bahasa yang terbatas dan khas.
“Pembelajaran dilakukan dengan menunjuk dua atau lebih keluarga sebagai model tempat belajar atau dilakukan di pusat kegiatan masyarakat, seperti tempat ibadah, kantor desa, atau taman bacaan masyarakat,” kata Khak.
Ia juga menyampaikan, ada empat tujuan akhir dari revitalisasi bahasa daerah. Tujuan pertama, penutur muda diharapkan dapat menjadi penutur aktif bahasa daerah dan pada gilirannya memiliki kemauan untuk mempelajari bahasa daerah dengan penuh suka cita melalui media yang mereka sukai. Kedua, menjaga kelangsungan hidup bahasa dan sastra daerah. Ketiga, menciptakan ruang kreativitas dan kemerdekaan bagi penutur bahasa daerah untuk mempertahankan bahasanya, serta tujuan keempat, yakni menemukan fungsi dan ranah baru dari sebuah bahasa dan sastra daerah. “Tujuan ini yang akan kita capai bersama,” katanya. (Aline R./Meryna A.)
Sumber :
Penulis : pengelola web kemdikbud
Editor :
Dilihat 2784 kali
Editor :
Dilihat 2784 kali