Masyarakat Antusias Ikuti Kirab Budaya ‘Mulih Pulih’ pada G20 Bidang Kebudayaan 2022  13 September 2022  ← Back



Magelang, 13 September 2022 --- Senin pagi (12/9), jalanan di depan kawasan Taman Wisata Borobudur lain dari hari-hari biasanya. Masyarakat begitu antusias menunggu iring-iringan Kirab Budaya ‘Mulih Pulih’ yang menjadi salah satu bagian dari perhelatan acara G20 Bidang Kebudayaan yang akan memasuki Taman Wisata Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah. Rombongan Kirab Budaya ini melibatkan 2.000 warga perwakilan dari 20 desa di Kecamatan Borobudur yang sejak pukul 08.00 WIB berjalan dari Candi Pawon menuju Lapangan Lumbini, Candi Borobudur.
 
Sekitar pukul 09.00 WIB, satu per satu peserta kirab sampai di kawasan Candi Borobudur. Arak-arakan yang berasal dari 20 desa di Kecamatan Borobudur ini terdiri dari 50 penari, 50 pengiring, dan satu ogoh-ogoh yang diangkat oleh 6—10 orang.
 
Rangkaian kirab diawali dari Desa Kembanglimus yang menampilkan ikon gajah. Kemudian Desa Tuksongo dengan ayam, Desa Kenalan (penyu), Majaksingi (buaya) dan Desa Ngadiharjo (macan). Berikutnya dari Desa Karanganyar (angsa), Giripurno (kumbang), Candirejo (singa), Ngargogondo (celeng), Wringinputih (merak), Giritengah (kuda sembrani), Kebonsari (banteng), Bumiharjo (kerbau), Tegalarum (serigala), Sambeng (garuda), Tangjungsari (kera), Borobudur (badak), Wanurejo (kijang emas) dan Desa Karangrejo dengan ikon naga.

"Itu (ikon) semuanya bersumber dari inspirasi kita, Candi Borobudur. Semua fabel itu ada di Candi Borobudur. Setelah dilakukan riset dan lain-lain, setiap desa ternyata ada korelasi dengan makna dibalik binatang-binatang tersebut,” kata Direktur Pembinaan Tenaga dan Lembaga Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan (Dirjen Kebudayaan), Kemendikbudristek, Judi Wahjudin, Senin (12/9).


Selain itu, Kirab Budaya melambangkan kekuatan, menabung, toleransi, dan nilai lain yang merupakan simbol kearifan lokal dan terinspirasi dari relief di Candi Borobudur," lanjut Judi Wahjudin.
 
Dalam kirab budaya ini, menurutnya dapat terlihat bagaimana warga desa mengeksplorasi kekuatan-kekuatan tersebut untuk bergotong royong dan menyajikannya menjadi sebuah pertunjukan yang luar biasa.  
"Ini membuktikan bahwa roh kebudayaan adalah gotong royong," ujar judi.


Salah satu koordinator dari Desa Borobudur, Anggi Novantoro menyampaikan bahwa rombongan penarinya menampilkan tari kreasi gabungan yakni Jatilan dan Dayak. Ia menerangkan bahwa instalasi Badak yang mereka bawakan dibuat selama sebulan dengan memanfaatkan bahan-bahan alami seperti daun dan pelepah pisang.
 
“Yang sulit adalah menggerakannya (ogoh-ogohnya) karena digerakkan dari dalam menggunakan katrol,” ujarnya antusias. Menurutnya, kesenian tradisional masih sangat diminati sehingga masyarakat dari berbagai usia dan latar belakang di desanya begitu bersemangat mengikuti pawai ini.
 
“Ini adalah ajang terbesar setelah pandemi. Dengan adanya ajang ini masyarakat dalam dan luar negeri bisa belajar kearifan lokal, budaya, dan untuk kami bisa tertantang untuk memanfaatkan bahan-bahan dari alam,” terang Anggi yang keterlibatannya membuat ogoh-ogoh juga mengasah kreativitas, gotong royong, dan solidaritas.
 
Ditambahkan Asrofi salah satu dari lima pembuat Ogoh-ogoh Badak pada Kirab Budaya ini mengungkapkan bahwa idenya membuat ogoh-ogoh merupakan hasil pemikiran dari seluruh anggota tim. “Pengerjaannya selama sebulan, yang menjadi tantangan adalah potongan pelepah pisangnya kecil-kecil menggunakan lem, pemasangannya mesti malam supaya agak lemes karena kalau siang bahannya kaku. Selain itu juga bagaimana caranya mengatur mekanisme katrol. Saya survey ke beberapa orang pembuat,” ucap pria asal Desa Turahan itu yang merasa tertantang karena pertama kali membuat ogoh-ogoh.
 
“Dari rangka besi, ditumpuk stremen, semen, berat keseluruhannya bisa mencapai 100 kg,” imbuhnya yang mengaku melalui karyanya bersama lima orang lain, ia memiliki ilmu baru di luar pekerjaannya sehari-hari sebagai penjual pelampung pancing ini. Untuk pembuatan instalasi, ia dan timnya mendapatkan anggaran 12 juta dari pemda setempat untuk  membeli bahan-bahan yang diperlukan.
 
“Dengan adanya kegiatan ini, kami merasa beruntung menjadi lokasi penyelenggaraan ajang internasional. Semoga ke depannya, Magelang semakin berdaya sektor pariwisatanya dan terus berkembang secara regional maupun nasional,” harap Asrofi.
 
Aris yang selama tiga tahun terakhir bergelut sebagai pengrajin mebel mengaku senang ketika didaulat sebagai pengangkat ogoh-ogoh. Ia mengaku, tim pengangkat ogoh-ogoh terdiri dari 6 orang inti dan 4 orang cadangan. “Ketika mengangkat ogoh-ogoh harus harus seimbang. Kalau tinggi badan pengangkat bervariasi, maka orang yang paling pendek mengangkat ogoh-ogoh di bagian depan, yang badannya tinggi di belakang. Namun, akan lebih baik jika semua pengangkat memiliki tinggi badan yang sama,” terang Aris.
 
Lebih lanjut ia mengungkapkan bahwa dibutuhkan kekompakkan dalam tim pengangkat ogoh-ogoh agar menghasilkan gerakan yang harmonis. “Kami Latihan hanya empat kali pertemuan, yang penting stamina, malah tadi kita yang lebih heboh dari penarinya, kita (ogoh-ogoh) ikut nari,” ujarnya.
 
“Saya harap acara ini menjadi tanda semakin hidupnya pariwisata di Borobudur. Dengan begitu, pergerakan roda ekonomi bisa diharapkan berjalan dengan baik tidah lain yang berdampingan dengan Magelang saja yang ramai dikunjungi wisatawan. Kita ingin ajang seperti ini sifatnya rutin dan variatif, lebih bagus lagi jika masyarakat di luar Kecamatan Borobudur juga bisa ikut berpartisipasi,” harapnya.
 
Antusias yang sama terpancar dari salah satu penari lain, Ayu Rahmawati asal Desa Ngadiharjo. Ia adalah satu dari 50 orang penari yang sudah berlatih selama satu bulan terakhir. Berkat semangat dan ketekunannya, Ayu dan teman-temannya berhasil merampungkan tugas menari dalam rombongan Kirab Budaya yang melewati jarak sepanjang 1,5 km.
 
“Saya senang sekali, meskipun saat berjalan tantangannya adalah aspal dan cuaca yang panas, para penari dari SMP sampai orang tua ikut,” kata Ayu yang bersama kawan-kawannya menari di depan ogoh-ogoh berbentuk harimau.
 
Hendi selaku koreografer penari Desa Ngadiharjo mengimbau agar generasi muda tidak perlu malu dengan seni budaya. “Jangan malu untuk melestarikan budaya milik kita yang berawal dari kesenian di daerah guna menciptakan Indonesia yang maju berbudaya,” tutur Hendi yang mengaku tidak kesulitan melatih para penari. 
 
Kirab Budaya merupakan gerak menari warga yang ditata secara koreografis menurut gagasan dan tradisi masing-masing desa namun dalam detak yang sama dipimpin oleh direktur artistik R.M Altiana dan diiringi arasemen musik oleh Trie Utami. Karya-karya instalasi fauna Borobudur, karya-karya limbah dan tetumbuhan,menemani gerak kirab ini. Semuanya adalah gambaran semangat masyarakat untuk bergerak bersama membangun masa depan yang cerah dan berkelanjutan.
 
Kirab budaya merupakan salah satu bagian dari Program Pemajuan Kebudayaan Desa, salah satu program prioritas Direktorat Jendral Kebudayaan yang menitikberatkan pada proses pemberdayaan masyarakat yang melibatkan warga sebagai pemilik budaya. Tahun ini adalah tahun ke-2 Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kemdikbudristek, mendampingi warga Kawasan Borobudur untuk menemukenali kembali potensi budayanya, kemudian membuat program pengembangan sekaligus bagaimana pemanfaatannya untuk kehidupan berkelanjutan.
 
Kirab Budaya dan Rapat raksasa G20 itu sendiri terdiri dari empat segmen kegiatan yakni Ritus 'Bangun Tuwuh' di Candi Pawon, Kirab Budaya 'Mulih Pulih' dari Candi Pawon menuju Candi Borobudur, Rapat Raksasa 'Nyawiji' di Taman Lumbini Candi Borobudur, dan Parade Seni 'Golong Gilig'.*** (Denty A./Desliana Maulipaksi)
Sumber :

 


Penulis : pengelola web kemdikbud
Editor :
Dilihat 1959 kali