Kemendikbudristek Perkuat Pesan Bahagia tanpa Perundungan Melalui Kegiatan Roots Day Nasional 21 November 2023 ← Back
Jakarta, 21 November 2023 – Bertepatan dengan Hari Anak Sedunia yang jatuh pada hari ini, Senin (20/11/2023), Pusat Penguatan Karakter (Puspeka) Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) bekerja sama dengan United Nations Children’s Fund (UNICEF) Indonesia menyelenggarakan kegiatan webinar Roots Day Nasional.
Kegiatan tersebut sejalan dengan tema Hari Anak Sedunia tahun ini yaitu Bahagia tanpa Perundungan. Sebagaimana diketahui, program Roots Anti Perundungan Indonesia juga bertujuan untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang aman, nyaman, dan menyenangkan, bebas dari kekerasan salah satunya perundungan.
Pada kegiatan Roots Day Nasional itu, hadir Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah (Dirjen PDM), Kemendikbudristek, Iwan Syahril, yang juga didapuk menjadi moderator. Ia menyampaikan bahwa isu perundungan merupakan permasalahan yang sangat serius dan harus ditangani secara bersama-sama.
“Program Roots ini menjadi salah satu strategi paling efektif dan sudah terbukti sangat baik dalam menangani perundungan pada ekosistem pendidikan di Indonesia,” ujar Iwan.
Seperti diketahui, isu perundungan di dunia pendidikan merupakan isu serius yang harus kita berantas. Berdasarkan data, di antara negara anggota OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development), rata-rata terdapat 23 persen siswa usia sekolah yang menyatakan bahwa mereka mengalami perundungan setidaknya beberapa kali dalam satu bulan terakhir.
Hasil jajak pendapat UNICEF tahun 2019 melalui U-Report terhadap 2.777 anak muda Indonesia berusia 14 sampai 24 tahun, terdapat 45 persen diantara mereka mengalami perundungan daring.
“Tentu kita berharap, melalui kegiatan Roots Day Nasional ini akan semakin banyak sekolah yang terinspirasi untuk menerapkan Roots sebagai program bersama dalam mengatasi perundungan. Dengan demikian, peserta didik dapat belajar dan beraktivitas dengan baik di sekolah,” tutur Iwan.
Kegiatan Roots Day Nasional diikuti lebih dari seribu fasilitator guru dan siswa agen perubahan yang bergabung melalui daring serta 14 ribu lebih peserta dari unsur dinas pendidikan dan guru lainnya yang menyaksikan lewat siaran langsung pada kanal Youtube Cerdas Berkarakter Kemdikbud RI.
Kepala Puspeka Kemendikbudristek, Rusprita Putri Utami, menjelaskan bahwa kegiatan tersebut diselenggarakan untuk meningkatkan kesadaran peserta didik serta pendidik terhadap isu perundungan, pencegahan perundungan, hingga pentingnya kesehatan mental anak sebagai langkah awal pencegahan kekerasan.
“Lewat kegiatan ini juga diharapkan akan memperkuat komitmen kita sebagai bagian dari ekosistem pendidikan, baik dari kementerian maupun satuan pendidikan untuk berinisiatif melakukan pencegahan kekerasan yang lebih nyata,” lugas Rusprita.
Ia mengungkapkan bahwa sejak tahun 2021, program Roots Anti Perundungan Indonesia telah menjangkau lebih dari 10 ribu satuan pendidikan jenjang SMP, SMA, dan SMK serta telah mencetak lebih dari 20 ribu fasilitator guru dan lebih dari 50 ribu siswa agen perubahan. Program Roots juga sekaligus merupakan bentuk nyata program pencegahan perundungan yang sesuai dengan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan.
“Selain membekali guru dan siswa, pengetahuan serta keahlian dalam pencegahan perundungan, program Roots telah mendorong adanya inisiatif sekolah dalam membentuk Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK). Tentu, kita semua menyadari bahwa sekolah yang aman dan bebas dari kekerasan akan memberikan rasa nyaman pada seluruh warga sekolah, baik peserta didik maupun pendidik,” ucap Rusprita.
Lawan Perundungan dengan Perilaku Positif
Di kegiatan Roots Day Nasional, hadir para siswa agen perubahan yaitu Buhari Ilman, siswa SMAN 1 Permata Kabupaten Bener Meriah, Provinsi Aceh; Lorenza Siswi SMKN 1 Kota Sidoarjo, Provinsi Jawa Timur; dan Natalia Demetouw, Siswi SMPN 2 Depapre, Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua.
Lorenza tegas menyatakan bahwa perundungan adalah isu yang sangat serius. Hal itu lantaran dampak dari perundungan akan dapat menurunkan prestasi, terutama bagi korban. “Dampak dari perundungan itu bisa menurunkan prestasi siswa, mereka yang jadi korban belajarnya jadi tidak bisa optimal,” papar Siswi Kelas XII Jurusan Teknik SMKN 1 Sidoarjo tersebut.
Seraya mengiyakan, Natalia yang juga mengaku pernah menjadi korban perundungan kini sangat antusias menjadi seorang agen perubahan. “Saya bangga bisa mengikuti Roots karena kini saya bisa ikut menyebarkan perilaku-perilaku positif sehingga dapat membuat orang-orang di sekitar merasa nyaman dan tidak menjadi pelaku perundungan,” tuturnya.
Sementara itu, Buhari mengutarakan bahwa perundungan terjadi tanpa memandang gender. Siswa laki-laki maupun perempuan sama-sama berpotensi menjadi pelaku ataupun korban perundungan.
“Di Roots kami belajar tentang kesetaraan gender karena sebenarnya korban perundungan itu bisa juga laki-laki, bukan hanya perempuan. Yang bisa kita lakukan adalah berusaha menyebarkan perilaku-perilaku positif, saling mengingatkan, dan menghargai satu sama lain,” timpalnya.
Hajat, Fasilitator Guru dari SMPN 4 Arso, Kabupaten Keerom, Provinsi Papua, turut berbagi cara membangun iklim yang aman dan nyaman di sekolah salah satunya dengan membangun kepercayaan diri para siswa agen perubahan. Hal itu terbukti efektif karena dengan rasa percaya diri tersebut para siswa agen perubahan dapat menelurkan inovasi-inovasi dalam melakukan sosialisasi dan upaya pencegahan perundungan.
“Dengan kita mengajarkan kepercayaan diri dan membangun jiwa-jiwa kepemimpinan para siswa ini, saya yakin kita bisa bersama-sama membangun iklim satuan pendidikan yang aman dan nyaman, bebas dari kekerasan terutama perundungan. Siswa jadi berdaya dan memiliki kemampuan untuk saling mengingatkan di kelas jika ada perilaku di antara teman mereka yang mengarah ke perundungan” katanya.
Hal itu diamini oleh Erni, Fasilitator Guru dari SMAN 14 Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten. Ia bahkan melakukan pendekatan secara persuasif kepada siswa agen perubahan untuk membangun rasa percaya diri mereka dalam menjalankan perannya demi menciptakan lingkungan pendidikan yang aman dan nyaman bebas dari kekerasan.
“Supaya tercipta lingkungan pembelajaran yang aman dan nyaman, kita harus dengan sangat serius menangani persoalan perundungan ini. Praktik baik yang dilakukan di sekolah kami adalah bagaimana sekolah akhirnya membuat peraturan yang lebih mengakomodasi kebutuhan siswa agar lebih nyaman belajar,” pungkasnya. (Penulis: Tim Puspeka / Editor: Denty A.)
Biro Kerja Sama dan Hubungan Masyarakat
Sekretariat Jenderal
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi
Laman: kemdikbud.go.id
Twitter: twitter.com/Kemdikbud_RI
Instagram: instagram.com/kemdikbud.ri
Facebook: facebook.com/kemdikbud.ri
Youtube: KEMENDIKBUD RI
Pertanyaan dan Pengaduan: ult.kemdikbud.go.id
#MerdekaBelajar
#CerdasBerkarakter
#BahagiaTanpaPerundungan
Sumber : Siaran Pers Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor: 652/sipers/A6/XI/2023
Kegiatan tersebut sejalan dengan tema Hari Anak Sedunia tahun ini yaitu Bahagia tanpa Perundungan. Sebagaimana diketahui, program Roots Anti Perundungan Indonesia juga bertujuan untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang aman, nyaman, dan menyenangkan, bebas dari kekerasan salah satunya perundungan.
Pada kegiatan Roots Day Nasional itu, hadir Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah (Dirjen PDM), Kemendikbudristek, Iwan Syahril, yang juga didapuk menjadi moderator. Ia menyampaikan bahwa isu perundungan merupakan permasalahan yang sangat serius dan harus ditangani secara bersama-sama.
“Program Roots ini menjadi salah satu strategi paling efektif dan sudah terbukti sangat baik dalam menangani perundungan pada ekosistem pendidikan di Indonesia,” ujar Iwan.
Seperti diketahui, isu perundungan di dunia pendidikan merupakan isu serius yang harus kita berantas. Berdasarkan data, di antara negara anggota OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development), rata-rata terdapat 23 persen siswa usia sekolah yang menyatakan bahwa mereka mengalami perundungan setidaknya beberapa kali dalam satu bulan terakhir.
Hasil jajak pendapat UNICEF tahun 2019 melalui U-Report terhadap 2.777 anak muda Indonesia berusia 14 sampai 24 tahun, terdapat 45 persen diantara mereka mengalami perundungan daring.
“Tentu kita berharap, melalui kegiatan Roots Day Nasional ini akan semakin banyak sekolah yang terinspirasi untuk menerapkan Roots sebagai program bersama dalam mengatasi perundungan. Dengan demikian, peserta didik dapat belajar dan beraktivitas dengan baik di sekolah,” tutur Iwan.
Kegiatan Roots Day Nasional diikuti lebih dari seribu fasilitator guru dan siswa agen perubahan yang bergabung melalui daring serta 14 ribu lebih peserta dari unsur dinas pendidikan dan guru lainnya yang menyaksikan lewat siaran langsung pada kanal Youtube Cerdas Berkarakter Kemdikbud RI.
Kepala Puspeka Kemendikbudristek, Rusprita Putri Utami, menjelaskan bahwa kegiatan tersebut diselenggarakan untuk meningkatkan kesadaran peserta didik serta pendidik terhadap isu perundungan, pencegahan perundungan, hingga pentingnya kesehatan mental anak sebagai langkah awal pencegahan kekerasan.
“Lewat kegiatan ini juga diharapkan akan memperkuat komitmen kita sebagai bagian dari ekosistem pendidikan, baik dari kementerian maupun satuan pendidikan untuk berinisiatif melakukan pencegahan kekerasan yang lebih nyata,” lugas Rusprita.
Ia mengungkapkan bahwa sejak tahun 2021, program Roots Anti Perundungan Indonesia telah menjangkau lebih dari 10 ribu satuan pendidikan jenjang SMP, SMA, dan SMK serta telah mencetak lebih dari 20 ribu fasilitator guru dan lebih dari 50 ribu siswa agen perubahan. Program Roots juga sekaligus merupakan bentuk nyata program pencegahan perundungan yang sesuai dengan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan.
“Selain membekali guru dan siswa, pengetahuan serta keahlian dalam pencegahan perundungan, program Roots telah mendorong adanya inisiatif sekolah dalam membentuk Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK). Tentu, kita semua menyadari bahwa sekolah yang aman dan bebas dari kekerasan akan memberikan rasa nyaman pada seluruh warga sekolah, baik peserta didik maupun pendidik,” ucap Rusprita.
Lawan Perundungan dengan Perilaku Positif
Di kegiatan Roots Day Nasional, hadir para siswa agen perubahan yaitu Buhari Ilman, siswa SMAN 1 Permata Kabupaten Bener Meriah, Provinsi Aceh; Lorenza Siswi SMKN 1 Kota Sidoarjo, Provinsi Jawa Timur; dan Natalia Demetouw, Siswi SMPN 2 Depapre, Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua.
Lorenza tegas menyatakan bahwa perundungan adalah isu yang sangat serius. Hal itu lantaran dampak dari perundungan akan dapat menurunkan prestasi, terutama bagi korban. “Dampak dari perundungan itu bisa menurunkan prestasi siswa, mereka yang jadi korban belajarnya jadi tidak bisa optimal,” papar Siswi Kelas XII Jurusan Teknik SMKN 1 Sidoarjo tersebut.
Seraya mengiyakan, Natalia yang juga mengaku pernah menjadi korban perundungan kini sangat antusias menjadi seorang agen perubahan. “Saya bangga bisa mengikuti Roots karena kini saya bisa ikut menyebarkan perilaku-perilaku positif sehingga dapat membuat orang-orang di sekitar merasa nyaman dan tidak menjadi pelaku perundungan,” tuturnya.
Sementara itu, Buhari mengutarakan bahwa perundungan terjadi tanpa memandang gender. Siswa laki-laki maupun perempuan sama-sama berpotensi menjadi pelaku ataupun korban perundungan.
“Di Roots kami belajar tentang kesetaraan gender karena sebenarnya korban perundungan itu bisa juga laki-laki, bukan hanya perempuan. Yang bisa kita lakukan adalah berusaha menyebarkan perilaku-perilaku positif, saling mengingatkan, dan menghargai satu sama lain,” timpalnya.
Hajat, Fasilitator Guru dari SMPN 4 Arso, Kabupaten Keerom, Provinsi Papua, turut berbagi cara membangun iklim yang aman dan nyaman di sekolah salah satunya dengan membangun kepercayaan diri para siswa agen perubahan. Hal itu terbukti efektif karena dengan rasa percaya diri tersebut para siswa agen perubahan dapat menelurkan inovasi-inovasi dalam melakukan sosialisasi dan upaya pencegahan perundungan.
“Dengan kita mengajarkan kepercayaan diri dan membangun jiwa-jiwa kepemimpinan para siswa ini, saya yakin kita bisa bersama-sama membangun iklim satuan pendidikan yang aman dan nyaman, bebas dari kekerasan terutama perundungan. Siswa jadi berdaya dan memiliki kemampuan untuk saling mengingatkan di kelas jika ada perilaku di antara teman mereka yang mengarah ke perundungan” katanya.
Hal itu diamini oleh Erni, Fasilitator Guru dari SMAN 14 Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten. Ia bahkan melakukan pendekatan secara persuasif kepada siswa agen perubahan untuk membangun rasa percaya diri mereka dalam menjalankan perannya demi menciptakan lingkungan pendidikan yang aman dan nyaman bebas dari kekerasan.
“Supaya tercipta lingkungan pembelajaran yang aman dan nyaman, kita harus dengan sangat serius menangani persoalan perundungan ini. Praktik baik yang dilakukan di sekolah kami adalah bagaimana sekolah akhirnya membuat peraturan yang lebih mengakomodasi kebutuhan siswa agar lebih nyaman belajar,” pungkasnya. (Penulis: Tim Puspeka / Editor: Denty A.)
Biro Kerja Sama dan Hubungan Masyarakat
Sekretariat Jenderal
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi
Laman: kemdikbud.go.id
Twitter: twitter.com/Kemdikbud_RI
Instagram: instagram.com/kemdikbud.ri
Facebook: facebook.com/kemdikbud.ri
Youtube: KEMENDIKBUD RI
Pertanyaan dan Pengaduan: ult.kemdikbud.go.id
#MerdekaBelajar
#CerdasBerkarakter
#BahagiaTanpaPerundungan
Sumber : Siaran Pers Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor: 652/sipers/A6/XI/2023
Penulis : pengelola web kemdikbud
Editor :
Dilihat 989 kali
Editor :
Dilihat 989 kali