Kemendikbudristek Rilis Hasil Penelitian Perfilman, Kriteria Penyensoran, dan Budaya Sensor Mandiri 18 Desember 2023 ← Back
Jakarta, 18 Desember 2023 --- Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) melalui Lembaga Sensor Film (LSF), menyelenggarakan sosialiasi Hasil Penelitian tentang Perfilman, Kriteria Penyensoran, dan Budaya Sensor Mandiri tahun 2023. Acara berlangsung di Hotel Century, Jakarta, pada Senin (18/12).
Wakil Ketua LSF, Ervan Ismail, mengatakan bahwa LSF terus berkomitmen meningkatkan dan mengukur sejauh mana pedoman penyensoran telah berkembang di masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persepsi masyarakat secara mendalam tentang kriteria penyensoran yang meliputi kekerasan, perjudian, narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya, pornografi, suku, ras,kelompok, dan atau golongan, agama, hukum, harkat dan martabat manusia, dan usia penonton; Mengetahui persepsi masyarakat secara mendalam tentang perfilman; Mengetahui secara mendalam tentang budaya sensor mandiri; dan Mengetahui perilaku bermedia Masyarakat.
“Hasil penelitian ini menjadi penting karena menjadi tolak ukur aktivitas menonton masyarakat yang berbentuk penelitian, hasil penelitian ini juga dapat dipertanggung jawabkan secara akademis serta menjadi dasar untuk menentukan program LSF di tahun mendatang,” ujar Ervan.
Lebih lanjut, Ketua Komisi III LSF RI, Naswardi dalam paparannya menjelaskan bahwa penelitian ini dilakukan oleh LSF bekerja sama dengan Universitas Muhammadiyah Prof. DR. HAMKA (UHAMKA) dan dilaksanakan di bioskop-bioskop pada empat kota besar yaitu Jakarta, Surabaya, Medan, dan Makassar. Keempat kota ini dipilih berdasarkan jumlah penonton bioskop terbanyak dan akses tontonan melalui kanal digital yang lebih tinggi dibanding kota-kota lainnya di Indonesia. Proses penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan kuantitatif dengan responden sebanyak 457 orang dengan kategori penonton klasifikasi usia semua umur, usia remaja 13 tahun keatas, usia dewasa 17 tahun keatas, dan usia 21 tahun keatas. Pada proses pengumpulan data, penelitian ini juga menggunakan survey dengan instrumen daftar pertanyaan dan pernyataan yang kemudian dilakukan Wawancara, Focus Group Discussion (FGD), dan Diskusi Pakar saat sebelum dan sesudah penelitian dilakukan.
“Penelitian ini perlu dilanjutan atau dikembangkan untuk menganalisis hasil secara lebih mendalam. Misalnya menggali salah satu temuan penelitian, mengapa mayoritas masyarakat pada empat kota tersebut ternyata lebih menggemari film horor dan menjadikan sebagai pilihan utama dalam menonton di bioskop dan juga hasil temuan lainnya,” ujar Naswardi.
Naswardi menambahkan bahwa selain melakukan penelitian, LSF juga terus berkomitmen untuk mengkampanyekan Budaya Sensor Mandiri yang lebih terstruktur dengan melibatkan stakeholder lainnya. “Budaya Sensor Mandiri menjadi salah satu tujuan utama kami di LSF untuk mendorong masyarakat agar bisa memilah dan memilih tontonan untuk menonton film sesuai dengan klasifikasi usia,” tambah Naswardi.
Selanjutnya, sebagai mitra penyelenggara penelitian, Wakil Rektor III UHAMKA, Nani Solihati mengungkapkan bahwa film telah menjadi media hiburan dan media pendidikan yang memiliki pengaruh besar dalam membentuk pola pikir masyarakat. “Melalui kolaborasi riset ini kami harapkan apa yang telah menjadi temuan penelitian dapat memberi manfaat di dunia perfilman sekaligus menjadi bahan literasi yang dapat dipublikasikan dalam bentuk jurnal nasional, jurnal internasional, maupun media publikasi lainnya,” ucap Nani.
Selain itu, Nani menilai bahwa ketika telah terpublikasikan melalui jurnal, hasil penelitian ini juga mampu menjadi landasan dalam mengembangkan industri perfilman yang berkualitas dalam menyesuaikan zaman. “Setelah terpublikasi dalam bentuk jurnal, hasil penelitian ini juga bisa di daftarkan ke Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI), sehingga keluaran penelitian ini menjadi ganda dan memberi manfaat luas secara berkelanjutan,” pungkas Nani.
Senada dengan Nani, Rektor Universitas YARSI, Fasli Jalal, mengatakan bahwa peran film sangat besar dan untuk itu Budaya Sensor Mandiri penting untuk membangun kesadaran masyarakat dalam budaya menonton film dan menentukan film yang sesuai dengan usia. “Dalam forum perguruan tinggi, kami mendukung bagaimana mahasiswa menjadi penyensor mandiri yang canggih untuk dirinya dan kemudian mempengaruhi lingkungannya baik keluarga maupun rekan-rekannya. Sekaligus mendorong agar mampu memberikan pendapat bagaimana dampak positif dari Budaya Sensor Mandiri tersebut,” ucap Fasli.
Lebih dari itu, Fasli juga menilai bahwa Budaya Sensor Mandiri dapat membawa keseimbangan untuk dunia industri dalam merencanakan produksi film supaya memberi keselarasan antara selera pasar dengan kebijakan yang diatur oleh LSF. “Upaya dan studi yang dilakukan LSF ini diharapkan semakin memajukan industri perfilman, dan kami di dunia perguruan tinggi siap bekerja sama dalam mengembangkan Budaya Sensor Mandiri maupun penelitian-penelitian selanjutnya,” tutup Fasli.
Kesimpulan Penelitian
1. Akses media tontonan masyarakat dominan melalui jaringan teknologi informatika (JTI) sebesar 89%, Televisi 8% dan Bioskop 1%.
2. Terjadinya perubahan Perilaku Masyarakat dalam mengakses media untuk hiburan di 4 Kota Besar (DKI Jakarta, Medan, Surabaya, Makasar): 79% Masyarakat mengakses media sosial.
3. Film yang disenangi untuk di tonton yakni Film Nasional sebesar 45%, Film Asing 52% dan tidak tahu 1%. Genre film yang disenangi oleh penonton yakni film horor sebesar 34%, komedi 28%, drama 24,73%, musikal 3% dan genre lainnya 7%.
4. Sebagai penonton sebesar, 72% menyatakan mengetahui tentang penggolongan usia penonton, namun masih terdapat sebesar 25% yang tidak mengetahui tentang penggolongan usia penonton.
5. Sebesar 61% penonton menyatakan perlu adanya perubahan tentang klasifikasi usia penonton di indonesia saat ini. Khususnya pada klasifikasi usia SU dan 17+.
6. Sebesar 41% penonton menyatakan setuju adegan LGBT membuat tidak nyaman sehingga perlu LGBT menjadi bagian dan kriteria penyensoran film.
7. Kampanye Budaya Sensor Mandiri secara efektif dapat membudayakan masyarakat dalam memilah dan memilih tontonan sesuai dengan usianya.
8. Sebagian penonton sebesar 53% menyatakan pernah menonton film yang tidak sesuai klasifikasi usianya namun terdapat 48% penonton menyatakan menonton sesuai usianya.
9. Bentuk pengawasan terhadap tontonan sebesar 40% menyatakan dengan membatasi waktu, 11% melakukan pengecekan langsung, 10% melakukan pembatasan akses dan sebesar 38% menyatakan tidak tahu. (Penulis: Destian/ Editor: Azis)
Biro Kerja Sama dan Hubungan Masyarakat
Sekretariat Jenderal
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi
Twitter: twitter.com/Kemdikbud_RI
Instagram: instagram.com/kemdikbud.ri
Facebook: facebook.com/kemdikbud.ri
Youtube: KEMENDIKBUD RI
Pertanyaan dan Pengaduan: ult.kemdikbud.go.id
Dapatkan informasi lengkap tentang Merdeka Belajar melalui: http://merdekabelajar.kemdikbud.go.id
#MerdekaBelajar
#JujurItuJuara
Sumber : Siaran Pers Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor: 745/sipres/A6/XII/2023
Wakil Ketua LSF, Ervan Ismail, mengatakan bahwa LSF terus berkomitmen meningkatkan dan mengukur sejauh mana pedoman penyensoran telah berkembang di masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persepsi masyarakat secara mendalam tentang kriteria penyensoran yang meliputi kekerasan, perjudian, narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya, pornografi, suku, ras,kelompok, dan atau golongan, agama, hukum, harkat dan martabat manusia, dan usia penonton; Mengetahui persepsi masyarakat secara mendalam tentang perfilman; Mengetahui secara mendalam tentang budaya sensor mandiri; dan Mengetahui perilaku bermedia Masyarakat.
“Hasil penelitian ini menjadi penting karena menjadi tolak ukur aktivitas menonton masyarakat yang berbentuk penelitian, hasil penelitian ini juga dapat dipertanggung jawabkan secara akademis serta menjadi dasar untuk menentukan program LSF di tahun mendatang,” ujar Ervan.
Lebih lanjut, Ketua Komisi III LSF RI, Naswardi dalam paparannya menjelaskan bahwa penelitian ini dilakukan oleh LSF bekerja sama dengan Universitas Muhammadiyah Prof. DR. HAMKA (UHAMKA) dan dilaksanakan di bioskop-bioskop pada empat kota besar yaitu Jakarta, Surabaya, Medan, dan Makassar. Keempat kota ini dipilih berdasarkan jumlah penonton bioskop terbanyak dan akses tontonan melalui kanal digital yang lebih tinggi dibanding kota-kota lainnya di Indonesia. Proses penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan kuantitatif dengan responden sebanyak 457 orang dengan kategori penonton klasifikasi usia semua umur, usia remaja 13 tahun keatas, usia dewasa 17 tahun keatas, dan usia 21 tahun keatas. Pada proses pengumpulan data, penelitian ini juga menggunakan survey dengan instrumen daftar pertanyaan dan pernyataan yang kemudian dilakukan Wawancara, Focus Group Discussion (FGD), dan Diskusi Pakar saat sebelum dan sesudah penelitian dilakukan.
“Penelitian ini perlu dilanjutan atau dikembangkan untuk menganalisis hasil secara lebih mendalam. Misalnya menggali salah satu temuan penelitian, mengapa mayoritas masyarakat pada empat kota tersebut ternyata lebih menggemari film horor dan menjadikan sebagai pilihan utama dalam menonton di bioskop dan juga hasil temuan lainnya,” ujar Naswardi.
Naswardi menambahkan bahwa selain melakukan penelitian, LSF juga terus berkomitmen untuk mengkampanyekan Budaya Sensor Mandiri yang lebih terstruktur dengan melibatkan stakeholder lainnya. “Budaya Sensor Mandiri menjadi salah satu tujuan utama kami di LSF untuk mendorong masyarakat agar bisa memilah dan memilih tontonan untuk menonton film sesuai dengan klasifikasi usia,” tambah Naswardi.
Selanjutnya, sebagai mitra penyelenggara penelitian, Wakil Rektor III UHAMKA, Nani Solihati mengungkapkan bahwa film telah menjadi media hiburan dan media pendidikan yang memiliki pengaruh besar dalam membentuk pola pikir masyarakat. “Melalui kolaborasi riset ini kami harapkan apa yang telah menjadi temuan penelitian dapat memberi manfaat di dunia perfilman sekaligus menjadi bahan literasi yang dapat dipublikasikan dalam bentuk jurnal nasional, jurnal internasional, maupun media publikasi lainnya,” ucap Nani.
Selain itu, Nani menilai bahwa ketika telah terpublikasikan melalui jurnal, hasil penelitian ini juga mampu menjadi landasan dalam mengembangkan industri perfilman yang berkualitas dalam menyesuaikan zaman. “Setelah terpublikasi dalam bentuk jurnal, hasil penelitian ini juga bisa di daftarkan ke Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI), sehingga keluaran penelitian ini menjadi ganda dan memberi manfaat luas secara berkelanjutan,” pungkas Nani.
Senada dengan Nani, Rektor Universitas YARSI, Fasli Jalal, mengatakan bahwa peran film sangat besar dan untuk itu Budaya Sensor Mandiri penting untuk membangun kesadaran masyarakat dalam budaya menonton film dan menentukan film yang sesuai dengan usia. “Dalam forum perguruan tinggi, kami mendukung bagaimana mahasiswa menjadi penyensor mandiri yang canggih untuk dirinya dan kemudian mempengaruhi lingkungannya baik keluarga maupun rekan-rekannya. Sekaligus mendorong agar mampu memberikan pendapat bagaimana dampak positif dari Budaya Sensor Mandiri tersebut,” ucap Fasli.
Lebih dari itu, Fasli juga menilai bahwa Budaya Sensor Mandiri dapat membawa keseimbangan untuk dunia industri dalam merencanakan produksi film supaya memberi keselarasan antara selera pasar dengan kebijakan yang diatur oleh LSF. “Upaya dan studi yang dilakukan LSF ini diharapkan semakin memajukan industri perfilman, dan kami di dunia perguruan tinggi siap bekerja sama dalam mengembangkan Budaya Sensor Mandiri maupun penelitian-penelitian selanjutnya,” tutup Fasli.
Kesimpulan Penelitian
1. Akses media tontonan masyarakat dominan melalui jaringan teknologi informatika (JTI) sebesar 89%, Televisi 8% dan Bioskop 1%.
2. Terjadinya perubahan Perilaku Masyarakat dalam mengakses media untuk hiburan di 4 Kota Besar (DKI Jakarta, Medan, Surabaya, Makasar): 79% Masyarakat mengakses media sosial.
3. Film yang disenangi untuk di tonton yakni Film Nasional sebesar 45%, Film Asing 52% dan tidak tahu 1%. Genre film yang disenangi oleh penonton yakni film horor sebesar 34%, komedi 28%, drama 24,73%, musikal 3% dan genre lainnya 7%.
4. Sebagai penonton sebesar, 72% menyatakan mengetahui tentang penggolongan usia penonton, namun masih terdapat sebesar 25% yang tidak mengetahui tentang penggolongan usia penonton.
5. Sebesar 61% penonton menyatakan perlu adanya perubahan tentang klasifikasi usia penonton di indonesia saat ini. Khususnya pada klasifikasi usia SU dan 17+.
6. Sebesar 41% penonton menyatakan setuju adegan LGBT membuat tidak nyaman sehingga perlu LGBT menjadi bagian dan kriteria penyensoran film.
7. Kampanye Budaya Sensor Mandiri secara efektif dapat membudayakan masyarakat dalam memilah dan memilih tontonan sesuai dengan usianya.
8. Sebagian penonton sebesar 53% menyatakan pernah menonton film yang tidak sesuai klasifikasi usianya namun terdapat 48% penonton menyatakan menonton sesuai usianya.
9. Bentuk pengawasan terhadap tontonan sebesar 40% menyatakan dengan membatasi waktu, 11% melakukan pengecekan langsung, 10% melakukan pembatasan akses dan sebesar 38% menyatakan tidak tahu. (Penulis: Destian/ Editor: Azis)
Biro Kerja Sama dan Hubungan Masyarakat
Sekretariat Jenderal
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi
Twitter: twitter.com/Kemdikbud_RI
Instagram: instagram.com/kemdikbud.ri
Facebook: facebook.com/kemdikbud.ri
Youtube: KEMENDIKBUD RI
Pertanyaan dan Pengaduan: ult.kemdikbud.go.id
Dapatkan informasi lengkap tentang Merdeka Belajar melalui: http://merdekabelajar.kemdikbud.go.id
#MerdekaBelajar
#JujurItuJuara
Sumber : Siaran Pers Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor: 745/sipres/A6/XII/2023
Penulis : pengelola web kemdikbud
Editor :
Dilihat 1231 kali
Editor :
Dilihat 1231 kali