Panduan Praktis bagi Orang Tua dan Pendidik dalam Menghadapi Era Digital 08 Februari 2024 ← Back
Jakarta, Kemendikbudristek — Menyikapi penggunaan teknologi digital yang semakin masif di kalangan peserta didik, Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan (Ditjen GTK), Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) bekerja sama dengan Dharma Wanita Persatuan (DWP) menyelenggarakan bertajuk Menjadi Orang Tua Bijak di Era Digital. Webinar disiarkan secara langsung melalui YouTube Ditjen GTK Kemdikbud RI pada Rabu, (7/2).
Webinar tersebut menghadirkan dua narasumber, yakni Duta Teknologi Kemendikbudristek, Eka Nurviana Fatmawati dan Pelatih Implementasi Human Design Thinking Pendidikan Karakter untuk Guru dan Kepala Sekolah, Ifah Hanifah Misbach
Pada era ini, meningkatnya penggunaan laptop, tablet, dan ponsel pintar sebagai gawai sudah menjadi hal yang lazim bagi para anak dan remaja. Berbagai permasalahan pun muncul, seperti durasi penggunaan yang sulit dikendalikan dan jenis laman serta aplikasi yang berpotensi mengandung konten tidak layak bagi anak dan remaja.
Ketergantungan terhadap gawai dapat memengaruhi kesehatan mental, pola pikir, dan perilaku para peserta didik. Oleh karena itu, kesadaran pendidik dan orang tua terhadap pengaruh digital kepada peserta didik perlu ditingkatkan untuk melindungi peserta didik dari dampak negatif teknologi digital.
Pada kesempatan tersebut, Eka Nurviana memaparkan topik Literasi Digital pada Anak: Tantangan dan Peluang di Era Digital. Ia berpendapat bahwa potensi ketersediaan gawai, fasilitas wifi, dan paket internet merupakan aset yang kita miliki sehingga ia berharap pemanfaatan teknologi untuk pembelajaran harus tetap dilakukan dan dilanjutkan walaupun sekolah sudah kembali tatap muka.
“Namun di sisi lain, tidak semua konten di internet baik, sehingga kita harus mengetahui literasi digital,” ujar Eka.
Literasi digital meliputi lima hal, yaitu kemampuan teknis (menggunakan teknologi), bernalar (mencari tahu kebenaran informasi di internet), berkarya (menuangkan ide yang edukatif dan inspiratif, tentu dengan bimbingan orang tua), cyberbullying (berkata-kata santun agar tidak dirundung dan merundung), dan beretika di internet.
Lebih lanjut ia menjelaskan pentingnya kecakapan literasi. “Dengan memiliki kecakapan literasi digital, anak dapat menggunakan teknologi digital secara efektif dan produktif, memilah informasi yang akurat, relevan, dan tidak menyesatkan, berkomunikasi dan berkolaborasi secara efektif dengan orang lain di dunia digital, dan berpartisipasi aktif sebagai masyarakat digital.”
Terdapat Empat Pilar Gerakan Literasi Digital, yaitu digital skills (keterampilan digital), digital ethics (etika digital yang mencakup Hak cipta), digital culture (budaya digital, termasuk jejak digital), dan digital safety (keamanan digital yang berisi data-data pribadi).
Ia memberikan tujuh tips bijak sebagai orang tua dan pendidik di era digital, yaitu up to date dengan perkembangan teknologi, mempelajari keamanan internet, berkomunikasi dengan anak tentang penggunaan gawai, tetapkan aturan yang konsisten dan jelas, jadilah role model yang baik, berikan edukasi tentang konten digital, dan ajak anak untuk beraktivitas lain.
Adapun pembicara kedua, Ifah Hanifah Misbach, mengangkat topik Ketahanan Keluarga Menghadapi Teknologi Digital pada Anak dan Remaja. Ia berpendapat bahwa gen alfa akan menjadi generasi terbanyak dibandingkan generasi-generasi sebelumnya.
“Mereka yang lahir dan tumbuh di tengah transformasi digital VUCA (Volatility, Uncertainty, Complexity, Ambiguity) diperhatikan agar tidak terkena dampak negatif dari penggunaan teknologi,” ucap Ifah.
Dengan kondisi kemajuan teknologi seperti ini, Ifah Hanifah menyebutkan terdapat beberapa tantangan yang dialami oleh orang tua dalam mendidik gen alfa. Mulai dari teknologi bagai pedang bermata dua, gen alfa diprediksi tidak memiliki kedekatan yang kental dengan sejarah dan budaya leluhurnya, perilaku bermain gen alfa yang berubah, hingga kenyataan bahwa mereka cerdas dan menguasai teknologi, tetapi juga harus bersaing dengan AI.
Sebagai solusinya, ia memberikan panduan kepada orang tua dalam mendidik anak-anaknya. Pertama, orang tua diharapkan dapat menjadi filter untuk memilih dan memilah informasi. Kedua, orang tua menerapkan kesepakatan yang dibuat bersama anak terkait batasan waktu penggunaan gadget secara disiplin. Ketiga, orang tua mengenalkan dunia global, tanpa meninggalkan nilai-nilai kearifan lokal (act locally, think globally).
Keempat, orang tua menumbuhkan karakter positif memanusiakan manusia. Maksud dari poin ini, peran orang tua sebagai benteng ketahanan keluarga adalah menanamkan kebiasaan jujur, empati, menghormati diri sendiri dan orang lain, kreatif, dan tidak konsumtif pada anaknya. Kelima, orang tua mengajarkan netiket (etika digital) yang mencakup tata krama dan sopan santun pada anaknya. Keenam, orang tua mengasah kemauan dan daya juang anaknya, yakni menemani dan mempraktikkan kepada mereka. Terakhir, orang tua diharapkan untuk membiasakan anak bersosialisasi di dunia nyata.
Dalam webinar tersebut, Ifah Hanifah juga menjelaskan bahwa manusia memiliki 12 indra, yang terdiri atas tiga bagian, yakni pengetahuan saya tentang diri sendiri, pengetahuan saya tentang dunia, dan pengetahuan saya tentang orang lain. Selain itu, dalam proses perkembangan anak, ajarkanlah ia untuk mencintai tuhan (spiritual), seluruh ciptaan tuhan (natural), sesama manusia (sosial), dan dirinya sendiri (personal). (Raden Roro Shafira Nur Ramadhani / Editor: Stephanie, Denty)
Sumber :
Penulis : Pengelola Siaran Pers
Editor :
Dilihat 1725 kali
Editor :
Dilihat 1725 kali