Merajut Asa Kebangsaan dan Nasionalisme Generasi Muda Indonesia di Negeri Jiran  28 Mei 2024  ← Back



Sarawak, Kemendikbudristek — “Membangun negeri dari ruang-ruang kelas.” Kalimat itu tertulis jelas pada bagian depan sebuah kaos hitam, dengan peta Indonesia di bagian tengahnya. Di barisan bawah terdapat tulisan ini: Guru Indonesia Sarawak (GIS).
 
Kaos itu saya terima dari GIS beberapa waktu lalu. GIS merupakan sebuah persatuan informal guru-guru Indonesia yang bertugas melayani pendidikan bagi anak-anak Pekerja Migran Indonesia (PMI) melalui Community Learning Center (CLC) di Wilayah Sarawak, Malaysia Timur.
 
Untuk konteks dalam negeri, memang agak berlebihan –tanpa bermaksud untuk mengatakan klise. Memang sudah seharusnya di ruang kelas sekolah-sekolah di Indonesia, para pelajar ditanamkan rasa cinta terhadap tanah air sejak dini.
 
Ini sangat penting untuk menumbuhkan dan memupuk semangat kebangsaan mereka. “Hubbul wathan minal iimaan” (Cinta tanah air itu bagian dari iman), begitu bunyi pepatah Arab yang masyhur itu.
 
GIS ikut membantu membangun Indonesia bukan dari dalam negeri, tapi dari negara tetangga terdekat. Maksud “ruang kelas” di situ, juga bukan ruang kelas seperti terdapat di negeri sendiri. Termasuklah para pelajar yang mereka didik, dengan keberagaman latar belakang identitas, sosial, dan kultural.
 
Dalam konteks inilah, menurut saya, upaya GIS itu menjadi luar biasa dan perlu mendapat perhatian lebih. Apalagi kebetulan kita sedang memperingati Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas) ke-116 pada Mei ini, yang mengusung tema: “Bangkit untuk Indonesia Emas”.
 
Ternyata GIS tidak bergerak sendiri. Praktik serupa sudah lebih dulu dilakukan secara lebih masif dan luas oleh guru-guru CLC di seluruh Sabah. Semua berada di bawah binaan dan naungan Sekolah Indonesia Kota Kinabalu (SIKK) serta seluruh Perwakilan RI di Malaysia, khususnya di Sabah dan Sarawak.
 
SIKK dan CLC adalah produk dari hasil kerja sama yang baik antara Pemerintah Indonesia dan Malaysia dalam bidang pendidikan. Mengingat jumlah anak PMI di Malaysia Timur begitu banyak, terutama di ladang-ladang sawit, dan sebagian besar tidak berizin tinggal (visa), mereka akhirnya tidak bisa bersekolah di sekolah-sekolah formal di Malaysia.
 
Karena itu Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) serta Kementerian Luar Negeri, secara bertahap berinisiatif membentuk SIKK dan CLC.
 
SIKK diizinkan beroperasi oleh Pemerintah Malaysia pada 1 Desember 2008, sementara CLC diizinkan di Sabah mulai 25 November 2011 dan di Sarawak mulai 20 Januari 2016. Secara administratif, SIKK menjadi induk dari semua pengurusan pelayanan pendidikan di CLC di Sabah dan Sarawak.
 
Sistem pembelajaran dan kurikulumnnya sama seperti yang diberlakukan di Indonesia, termasuk pengiriman guru-guru profesional. Sampai Maret 2024, menurut data Divisi CLC SIKK, jumlah total pelajar di SIKK dan CLC 24.506 orang (SIKK: 1231 dari SD-SMA; 217 CLC di Sabah: 21.082 dari SD-SMP; 58 CLC di Sarawak: 2193 dari SD-SMP).
 
Ikut memperkenalkan dan membangun Indonesia dari ladang-ladang sawit di Malaysia Timur, memang bukan hal mudah. Perlu proses panjang, penuh tantangan, baik internal atau eksternal. Tapi demi Indonesia, apalagi itu sudah menjadi tugas utama, para guru mau tak mau harus berupaya secara maksimal.
 
Tantangan internal paling utama adalah status pelajar CLC itu sendiri, baik lahir maupun batin. Secara lahiriah, status ke-WNI-an mereka sebenarnya masih belum jelas dan bisa dipersoalkan. Ini antara lain akibat dari ketidak-lengkapan dokumen untuk permohonan penerbitan paspor oleh Perwakilan RI (seperti surat/akte lahir, surat nikah dan dokumen kedua orang tua).
 
Jadi, kalau paspor saja tidak ada, yang itu merupakan “jantung” bagi seseorang jika berada di negara lain, apalagi visa atau surat izin tinggal di Malaysia. Inilah yang membuat mereka akhirnya, suka tidak suka, disebut dengan istilah yang rada miris: “Pendatang Haram”, “Pendatang Asing Tanpa Izin” (PATI), yang sangat rentan terhadap peristiwa penangkapan saat razia pihak berwajib setempat.
 
Sementara secara batiniah, karena sebagian besar lahir dan tumbuh di Malaysia Timur, para pelajar CLC itu tentu saja sangat minim pengetahuan tentang Indonesia dalam berbagai aspeknya. Apalagi orang tua kurang peduli terhadap mereka akibat terlalu sibuk bekerja di kebun sawit.
 
Maka tidak heran bila ditemukan fakta bahwa sebagian besar dari mereka sama sekali belum pernah menginjakkan kaki ke Indonesia, setidaknya kampung halaman orang tua.
 
Realitas ini dilengkapi dengan tantangan eksternal berupa lingkungan dan tempat belajar (ruang kelas) CLC yang kondisi fisiknya sederhana dan lokasinya berada di negara orang. Inilah antara lain faktor yang membuat para guru CLC tidak bisa dengan leluasa beraksi untuk menanamkan dan mengajarkan nilai-nilai kebangsaan dan keindonesiaan seperti halnya di negeri sendiri.
 
Contoh paling nyata dan sederhana adalah dalam upacara bendera atau acara-acara tertentu yang bersifat kebangsaan, petugas pengibar bendera dari pelajar CLC hanya bisa membentangkan bendera merah putih dengan kedua tangannya di depan kawan-kawan, sambil diiringi lagu Indonesia Raya.
 
Sebab oleh aturan negara setempat, kain sakral itu tidak boleh dikibarkan di atas tiang di depan sekolah, kecuali di premis-premis milik Indonesia saja (Kantor Perwakilan RI atau SIKK).
 
Bagaimanapun, “the show must go on,” kata salah seorang Guru CLC. Walau terdapat berbagai keterbatasan dan tantangan, baik internal maupun eksternal, nilai-nilai kebangsaan dan keindonesiaan harus tetap ditanamkan dan diajarkan kepada pelajar-pelajar CLC.
 
“Kalau tidak kita lakukan sekarang, bagaimana nasib anak-anak Indonesia itu di masa depan jika mereka kembali ke tanah air. Keindonesiaan bukan sekadar hanya ditandai dengan bukti kita punya paspor, atau kita hormat bendera di atas tiang, tapi lebih dari itu,” tegasnya penuh semangat. 
 
Saya sependapat dengan Guru CLC andalan yang tak mau disebut namanya itu. Sejauh ini, sejak SIKK dan CLC hadir di Sabah dan Sarawak, praktik “membangun negeri dari ruang-ruang kelas” itu terus berproses dan sudah berjalan dengan baik walau dengan keterbatasan yang ada. Terbukti dengan makin tertanamnya nilai-nilai kebangsaan dan keindonesiaan dalam diri para Pelajar SIKK dan CLC, baik dari sisi pengetahuan, wawasan, sikap, maupun kepribadian mereka sehari-hari.
 
Malah tidak sedikit dari mereka yang ikut lomba dan menjadi juara dalam program-program tertentu di dalam negeri, atau mempromosikan kesenian dan kebudayaan Indonesia dalam berbagai aspeknya, baik kepada warga setempat di ladang, di pekan dan kota, ataupun di tempat-tempat ternama yang bersifat internasional.
 
Termasuk untuk program diplomasi antar-negara dan budaya yang diselenggarakan oleh Perwakilan RI.
 
Masyarakat setempat sendiri, baik orang awam ataupun pejabat resmi, sangat menyambut positif  semua aktivitas berkaitan dengan CLC beserta program-program di dalamnya. Malah terkadang mereka pun ikut belajar dan menikmati proses yang berjalan. Sebab tidak dapat dipungkiri: manfaat dari semua ini bukan hanya bagi komunitas CLC, tapi juga bagi warga setempat.
 
Terakhir, tiga hari lalu, saya mendampingi lima dosen dari Indonesia ke CLC Hanim. Mereka mau meneliti tentang CLC di Sabah. Salah seorang di antaranya sempat bertanya, “Apakah semangat keindonesiaan anak-anak CLC tidak luntur karena lahir dan besar di Sabah?” Sambil tersenyum, saya menjawab singkat, “Nanti kita lihat sendiri di CLC Hanim.”
 
Sesampai di lokasi, dosen-dosen itu terkejut dengan sambutan hangat para pelajar SD dan SMP di sana. Apalagi saat mereka menyanyikan lagu Indonesia Raya. Walau terdengar kurang kompak, suara mereka tetap lantang sehingga membuat sang dosen menggeleng-gelengkan kepala. “Luar biasa, tak terbayangkan,” ujarnya kagum.    
 
Ya, para pelajar itu memang lahir dan tumbuh di Malaysia Timur. Mereka belajar dan tahu tentang Indonesia dengan berbagai keterbatasan. Tapi dengan kesungguhan belajar mereka yang tinggi, sambil dibimbing guru-guru andalan, yang bisa jadi lebih aktif dan inovatif dari guru-guru penggerak di tanah air, para pelajar itu akhirnya tahu dan sangat cinta akan Indonesia, yang akan menjadi tempat tujuan belajar mereka setamat dari SIKK atau CLC. Sebab Indonesia, bagi mereka, adalah negeri yang tak terlupakan.
 
Dalam perjalanan pulang dari CLC Hanim, kami mendengar lantunan lagu “Tanah Airku” karya Ibu Soed yang sangat terkenal itu. Bulu kuduk pun merinding; Tanah airku tidak kulupakan, Kan terkenang selama hidupku, Biarpun saya pergi jauh, Tidak kan hilang dari kalbu, Tanah ku yang kucintai, Engkau kuhargai. (Nasrullah Ali Fauzi / Editor: Andrew Fangidae, Stephanie, Denty A., Seno Hartono)

Sumber :

 


Penulis : Pengelola Siaran Pers
Editor :
Dilihat 890 kali