Cerita Laskar Rempah, Menenun Laut Dari Dumai  29 Juni 2024  ← Back



Dumai, Kemendikbudristek --- Namun, bandara itu tak pernah pendar, sebab panas tak peduli apa pun. Laki-laki kurus semampai itu sampai kota Dumai setelah perjalanan dua jam dari bandara. Melewati kawanan gajah yang melintas di sela-sela pohon sawit, pematang yang memakan berladang-ladang tanah di sepanjang tol Sumatera, Pekanbaru-Dumai. Kita kerapkali membuat lupa akan isu itu, sebab daun-daun menjuntai mencuci mata nampak indah. Mata Kanal, nama panggil lelaki itu memandang jauh cakrawala. Musim kering tak berlaku pada sawit. Lelaki berbadan langsing itu, terus berpikir. Pohon-pohon yang katanya menjadi kunci perekonomian kita banyak berdiri di samping tol dan tempat kawanan gajah. Beberapa kawanan itu mungkin terusir dari lahan. Beberapanya lagi liar dan dirawat. Dari kejauhan gajah besar dengan lelaki bertopi di samping tol menyapa kami. Mereka hanya melintas. Besar tubuh gajah dimanfaatkan untuk mengusir kawanan gajah liar lain yang dianggap mengganggu manusia yang bekerja di lahan sawit. Namun kita tak pernah tahu, sawit-sawit itu menyejahterakan masyarakat sekitar atau tidak.
 
Bersama empat teman lainnya yang berasal dari provinsi berbeda Kanal bergerak menuju hotel. Sore hari tak seperti kemarin. Pertemuan Kanal dengan suku Melayu dimulai yang awalnya hanya tahu di buku-buku yang dibaca. Setelah rebah sejenak di muka kasur dan makan, Kanal dan lainnya beranjak ke taman Kota Idaman. Kanal memakai sarung bercorak arek lancor dan sasirangan yang diberi temannya dari Kalimantan Selatan.
 
Wajah asing sedang menatap kawanan laskar rempah dari bath Kayu Manis. Putih baju kami tampak adem. Suara bising dari muda-mudi terdengar riuh dengan logat dayu. Lampu berwarna tak berhenti kedip. Kanal, bertemu walikota Dumai. Dengan wajah tegas, tubuh tegap, dan pakaian tradisionalnya, ia senyum ramah menyambut kami dengan tari pengiring dari pukulan rebana dan sepintas gerak silat mirip silat betawi. Dalam sambutnya di depan panggung, ia menaruh harap kepada kami agar nuansa ini terus kita rawat. Keberagaman harus kita rangkul jadi satu melalui program Muhibah Budaya Jalur Rempah yang selanjutnya disingkat (MBJR).
 
Dumai, melalui pelabuhannya menjadi pusat perdagangan bangsa asing. Dari persinggahan itulah peradaban muncul. Karena manusia-manusia bersemuka membawa modal pengetahuan dan sumber daya yang mereka bawa. Entah itu budak, rempah, emas, dan barang berharga lainnya untuk dipertukarkan dengan barang lainnya. Interaksi antarmanusia ini, juga memunculkan koneksi yang bertujuan untuk saling tukar pengetahuan dan informasi. Melalui jalur laut, titik singgah ini sebenarnya persinggahan yang tak mereka tuju. Ia hanya tahu, ketika bahan bakar dan kebutuhan kapal habis, ia harus mencari pulau terdekat. Baik itu air, bahan bakar, dan persediaan makanan.
 
Pengaruh besar datang. Bangsa asing, dengan atribut sosial, seni, dan budaya, itu melekat di memori kolektif tetua kita yang mungkin telah dituturkan ke anak cucu mereka. Tapi dari perjalanan besar kecilnya, tanah yang pernah diinjak, dan kelangsungan komoditas negara asing berpengaruh pada alam bawah sadar masyarakat Indonesia. Membentuk karakter dan corak seni budaya yang beragam seperti sekarang.
 
Dari keragaman ini kita perlu belajar. Apakah orang dahulu begitu bergantung dan menghargai alam? Meski bangsa asing serakah terhadap rempah-rempah kita karena berharga, kita tak perlu meniru cara mereka mengambil. Kita mungkin perlu belajar bagaimana mereka mengolah hasil pertukaran itu di negaranya.
 
Alam bahari terutama, perlu kita jaga kelangsungan hidupnya. Jangan sampai kita kehabisan sumber daya alam karena kita terlalu bergantung terhadap kebutuhan manusianya sendiri. Wujud keserakahan mungkin tak ada pada karakter nusantara. Karena misal di beberapa daerah, mereka masih memberikan penghargaan kepada alam. Upacara dan ritual diadakan agar keseimbangan alam yang melimpah ini terus hidup. Karena mereka sadar bahwa mereka hidup berdampingan. Ritual-ritual itu tak sekadar seremonial. Ada nilai yang tercermin di sana sebagaimana orang Jawa punya lelaku tertentu dan Madura, tempat Kanal lahir juga ada Tèngka terhadap tanah dan lingkungannya. Perilaku-perilaku itu merujuk pada ‘memikirkan ekologi’.
 
Namun, yang kita saksikan, pengetahuan lokal seperti itu tak berumur panjang dan mengalami krisis. Krisisnya adalah ketika wajah manusia dan karakter modern masuk dan tak tepat guna dipakai. Makanan yang mereka makan mulai berubah. Dan pepohonan tak lebih banyak dari gedung-gedung tinggi dan perusahaan-perusahaan tambang berdiri. ‘Memikirkan alam’ tak sepenting memperluas tambang. Kita juga perlu lihat bagaimana mama Aleta Baun dan perempuan lainnya memperjuangkan daerahnya dari perusahaan semen. Mereka menenun di bawah pohon sepanjang hari hingga suara mereka didengar. Mereka sadar, dengan pengetahuan lokalnya, keberadaan tambang itu mengganggu ekosistem alam. Kegiatan merusak alam akan membuat banyak perempuan cemas dan kehilangan apa yang mau mereka masak buat suami dan anak cucu mereka. Maka dari itu, menyakiti alam sama dengan menyakiti perempuan.
 
Kanal sempat haru. Tangis pecah di tengah pertunjukan multikultural di atas panggung. Ritual, mitologi, dan gerak tangan, dan hentakan kaki yang dimunculkan di dalam pertunjukan itu. Meski acara di Taman Kota Idaman kita bisa melihat Indonesia di sana dan dari wajah teman-teman Kanal yang ikut berlayar di dalam program MBJR. Selain itu, kegiatan ini baru dimulai. Kami, laskar Kayu Manis akan berlayar menenun laut dari Dumai, Sabang, Malaka, dan kembali ke Tanjung Uban. Barangkali laut mengantarkan kami semua pada kekayaan indonesia lebih dalam. Dari pelabuhan-pelabuhan, wajah laut, angin dan suara ombak, kami dapat menenun kisah jejak-jejak rempah yang diwariskan turun-temurun oleh orang dahulu dan mengisahkan kembali semangat itu ke dunia.*** (Zainal Abidin, Laskar Rempah Batch II, Kayu Manis / Editor: Denty A.)
 

Sumber :

 


Penulis : Pengelola Siaran Pers
Editor :
Dilihat 221 kali