Implementasi Kurikulum Merdeka Bantu Entaskan Kesenjangan Pendidikan di Indonesia 24 Juli 2024 ← Back
Jakarta, 24 Juli 2024 – Pusat Standar dan Kebijakan Pendidikan (PSKP), Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan (BSKAP), Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) bekerja sama dengan Article 33 Indonesia menyelenggarakan Forum on Education and Learning Transformation (FELT) Indonesia dengan tema “Mengatasi Kesenjangan Pendidikan di Indonesia”.
Dialog Kebijakan sesi kedua mengambil tema diskusi “Kebijakan untuk Mengatasi Kesenjangan Pendidikan” dengan menghadirkan narasumber Anindito Aditomo selaku Kepala BSKAP Kemendikbudristek, Javier Luque dari The Global Partnership Education (GPE), Asep Suryahadi dari The SMERU Research Institute, dan Trina Fizzanty dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Anindito dalam paparannya yang berjudul “Promoting Equity in Education” menyampaikan bahwa di dunia ada banyak negara yang berhasil meningkatkan pemerataan pendidikan secara signifikan dalam waktu 15 tahun terakhir, tapi ada juga negara yang semakin timpang.
“Pesan yang dapat kita ambil adalah ketimpangan pendidikan bukan hal yang niscaya, tapi sesuatu yang bisa kita perangi sehingga berkurang. Kita bisa melakukan upaya untuk meningkatkan kualitas sekaligus mengurangi kesenjangan,” ujar Anindito.
Anindito juga memaparkan sejumlah kebijakan utama yang telah diterapkan Kemendikbudristek untuk meningkatkan pemerataan pendidikan.
“Kita melakukan distribusi sumber daya yang jauh lebih afirmatif melalui Kartu Indonesia (KIP), Program Indonesia Pintar (PIP), dan Bantuan Operasional Sekolah (BOS); kontekstualisasi kurikulum melalui Kurikulum Merdeka; akses pengembangan guru yang lebih demokratis melalui Platform Merdeka Mengajar (PMM); menetapkan target kompetensi literasi dan numerasi yang diukur melalui Asesmen Nasional dan Rapor Pendidikan; serta desegregasi melalui zonasi,” jelas Anindito.
Berdasarkan data PISA tahun 2015 dan tahun 2022, yaitu tahun sebelum dan sesudah berlangsungnya kebijakan PPDB, terlihat adanya penambahan keragaman sosial ekonomi di dalam tiap-tiap sekolah serta kemiripan level sosial ekonomi antarsekolah.
“Kontribusi sosial ekonomi terhadap prestasi juga berkurang. Dengan kata lain, latar belakang sosial ekonomi murid menjadi prediktor lebih lemah terhadap prestasi mereka, dan ini merupakan indikator meningkatnya keadilan dalam pendidikan,” ungkap Anindito.
Menutup paparannya, Anindito menyatakan bahwa secara implementasi, Merdeka Belajar sudah berjalan sesuai kebutuhan meskipun masih harus terus melakukan berbagai penyesuaian.
“Merdeka Belajar is the right direction. Secara nasional, perbaikannya sangat terlihat, tetapi kita perlu melakukan beberapa hal yang lebih terfokus pada sekolah dan kelompok-kelompok yang tertinggal, sehingga mereka mendapatkan manfaat lebih dari kebijakan-kebijakan pemerintah.”
Javier menambahkan, pemerintah diharap meningkatkan perhatian terhadap kebijakan bantuan sesuai kebutuhan bagi siswa dengan sosial ekonomi tertinggal.
“Mari berfokus membuat kebijakan yang memberikan bantuan untuk siswa yang membutuhkan dan memastikan bahwa semua siswa memiliki pengalaman yang sama di sekolah tanpa memandang kondisi sosial ekonomi mereka”, ujar Javier.
Asep Suryahadi menanggapi signifikansi implementasi kebijakan Kurikulum Merdeka dalam mengurangi kesenjangan pendidikan dengan menekankan perlunya perbaikan untuk memperkuat kebijakan yang telah berjalan tersebut.
“Sehingga ke depannya kita tidak harus mencari kebijakan baru, tetapi bagaimana kebijakan yang sudah ada bisa diperbaiki dan diperkuat dengan studi yang mendalam untuk menggali kekuatan dan kelemahannya masing-masing”, tutur Asep.
Asep juga menambahkan pentingnya kerja sama lintas sektor dalam upaya mengatasi kesenjangan pendidikan.
“Persoalan kesenjangan pendidikan perlu diatasi secara lintas sektoral karena akan sangat sulit jika hanya Kemendikbudristek dan dinas pendidikan di daerah yang berkutat mengatasi kesenjangan pendidikan ini. Ada banyak komponen yang merupakan domain dari sektor-sektor di luar pendidikan, seperti persoalan infrastruktur yang memerlukan intervensi dari sektor lain jika ingin memperkuat akses pendidikan di daerah terpencil,” ujarnya.
Trina Fizzanty menambahkan bahwa pendekatan yang perlu dikembangkan dalam implementasi Kurikulum Merdeka adalah pendekatan ekosistem dengan mengedepankan open innovation.
“Open innovation yaitu inovasi bukan hanya dari internal pendidikan tapi juga membuka kesempatan bagi aktor lain yang bisa berkontribusi. Apa yang dilakukan melalui Kurikulum Merdeka itu adalah bagian dari open innovation, yakni membuka kesempatan sekolah tidak hanya memanfaatkan sumber daya mereka tapi juga memanfaatkan sumber daya lain,” tutur Trina.
Trina menutup diskusi dengan menekankan pentingnya peningkatan kapasitas dalam implementasi Kurikulum Merdeka.
“Masukan berdasarkan riset dari kami adalah Kurikulum Merdeka benar memberikan ruang bagi tiap wilayah maupun sekolah untuk memilih, tapi persoalannya, untuk memilih harus ada kapasitas. Kapasitas ini yang masih perlu ditingkatkan, terutama bagi guru, karena mereka yang akan memfasilitasi dan mendorong siswa untuk belajar,” tutupnya.
Biro Kerja Sama dan Hubungan Masyarakat
Sekretariat Jenderal
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi
Laman: kemdikbud.go.id
Twitter: twitter.com/Kemdikbud_RI
Instagram: instagram.com/kemdikbud.ri
Facebook: facebook.com/kemdikbud.ri
Youtube: KEMENDIKBUD RI
Pertanyaan dan Pengaduan: ult.kemdikbud.go.id
#MerdekaBelajar
Sumber : Siaran Pers Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor: 327/sipers/A6/VII/2024
Penulis : pengelola web kemdikbud
Editor :
Dilihat 1258 kali
Editor :
Dilihat 1258 kali