Cerita Guru Penggerak: Beni Saputra dan Perjuangannya Jadi Guru   14 Agustus 2024  ← Back



Jakarta, Kemendikbudristek –
Adalah Beni Saputra. Di balik tubuhnya yang tergolong kurus, bersemayam adicita yang luar biasa besar. Ya, Beni merupakan seorang guru, lulusan Pendidikan Guru Penggerak, dan sudah dua tahun ini menjadi Kepala Sekolah Dasar Negeri (SDN) 47 Kota Pekanbaru Provinsi Riau.
 
Ia hebat, setidaknya karena berhasil menjadi Guru Penggerak angkatan pertama. Ia memang hebat, paling tidak karena berhasil menyatukan orang tua/wali murid dan sekolah. Ia pantas dibilang hebat, sekurang-kurangnya karena berhasil menjadikan SDN 47 sebagai Sekolah Penggerak.
 
Ia betul-betul hebat. Dari mula-mula bertahan hidup dengan menumpang di masjid, hingga menjelma jadi pemimpin bagi guru-guru di sekolahnya kini.
 
Menjadi “Beni” yang sekarang tidak secepat dan semudah yang dibayangkan. Pria kelahiran 18 Oktober 1985 ini tumbuh di lingkungan agamis dan tamat dari pondok pesantren. Di usia sekolah Tsanawiyah, Beni sudah menjadi guru mengaji di kampung dan mengajar di Madrasah Diniyah Awaliyah (MDA). Di situlah kecintaannya terhadap mengajar dan cikal bakal menjadi seorang guru tumbuh dalam dirinya. “Mungkin karena terbiasa, atau pun mungkin memang passion. Saya suka (mengajar), enak saja,” ucapnya.
 
Saat ditanya kenapa memilih jadi guru SD, Beni berkelakar dengan serius. “Waktu itu badan saya kecil, berat hanya 45 kg, kalau jadi guru SMA tidak cocok, cocoknya jadi guru SD. Jadi saya daftarnya di Pendidikan Guru Sekolah Dasar,” jawabnya dengan suara khas yang menggelegar.
 
Beni pun tak serta merta jadi sosok yang sukses. Alumnus Universitas Riau (UNRI) mengaku berasal dari keluarga dengan ekonomi yang serba kekurangan. Untuk hidup semasa kuliah, Beni muda harus tinggal di masjid Kecamatan Rumbai Kota Pekanbaru. Menjadi tukang sapu, imam, tukang adzan, semua pekerjaan takmir masjid ia lakoni selama kuliah sampai sebelum menikah.
 
Perjalanan kariernya sebagai seorang guru ia rintis begitu selesai kuliah dengan mengikuti seleksi sebagai guru bantu –guru dengan SK dan gaji dari Provinsi Riau. “Saya ditempatkan SD terpencil di Okura tahun 2008. Jarak dari pusat kota ke sekolah satu jam lebih karena pada saat itu akses jalannya yang buruk. Jalanan yang berlumpur dan berdebu, tak jarang ditemukan binatang buas, bahkan juga begal marak pada saat itu disebabkan kondisi yang sepi.  Dihiasai pohon sawit dan karet disepanjang jalan. Anak-anak tukang kebun kerap jalan kaki ke sekolah jika tidak dapat tumpangan. Kondisi kampung Okura saat itu belum ada listrik,” kata Beni.
 
Meski begitu, dengan kemauan dan semangat yang tinggi, ia langsung diterima dan dipercaya oleh kepala sekolah serta guru-guru di tempat mengajar pertamanya itu. Jika ada pelatihan tingkat kecamatan atau kota, Beni orang yang diutus untuk mengikutinya. Sang kepala sekolah haqqul yakin guru mudanya itu setidaknya memiliki potensi dan mudah melakukan penyesuaian dengan guru-guru di kota pada umumnya, musabab berasal dari sekolah terpencil, kehadiran Beni mudah dikenali.
 
“‘Ooh, Bapak dari Okura ya?’ Saya sering seperti agak diomongin karena berasal dari sekolah terpencil. katanya terkekeh”.
 
Meski telah menjadi “superstar” karena mengajar di Okura, Beni mengajukan pindah setelah lima tahun mengajar di sana. Memang dikabulkan, tapi penuh perjuangan. Kepala kepegawaian mengizinkan, asalkan sudah ada sekolah yang mau menerima Beni. Tak berpikir dua kali, Beni yang punya cita-cita mengajar di sekolah favorit langsung mengunci tujuannya. Berbalut tubuhnya yang kurus, penampilan sedikit katrok (Wong Deso), Beni datang dengan percaya diri ke SD Teladan –kini SD Negeri 36 Pekanbaru–  salah satu sekolah terbaik di Pekanbaru dan Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI).
 
“Bapak mau apa?” selidik kepala sekolah tahun 2012 silam.
 
“Saya bilang mau pindah ke sini, Pak. Dijawab, katanya sudah cukup gurunya. Padahal dinas sudah bilang ke saya di sekolah itu kekurangan guru. Akhirnya saya lapor dinas lagi. Kata dinas ada kok, jadi saya balik lagi. Ditanya satpam, saya bilang ingin ketemu kepala sekolah, saat ditanya sudah janji? Saya jawab sudah. Ketika ketemu kepala sekolah, dia heran saya balik lagi. Saya bilang saya mau mengajar di sini,” tutur Beni.
 
“Lalu beliau bertanya, Bapak bisa mengajar? Saya jawab, ‘Pak, saya tidak sehebat guru-guru Bapak, tapi saya mau belajar menjadi hebat seperti guru Bapak. Berikan waktu ke saya, akan saya tunjukkan’. Mungkin karena saya ngotot, ya, akhirnya diberikan kesempatan,” ujarnya.
 
Beni dengan gaji 700 ribu per bulan itu fokus membuktikan keteguhan hatinya bukan angan belaka. Kemudian, juga berbekal kemampuan menggunakan komputer dan Microsoft Office, Beni dipercaya mengerjakan administrasi guru, termasuk membuat lembar kerja peserta didik untuk guru-guru senior satu rombel dengannya.
 
Ya, Beni lantas dinilai cakap dan diterima bekerja di SD favorit itu. Medio berkarier di sana, Beni lolos seleksi CPNS pada tahun 2014. Menjadi guru PNS, ia –lagi-lagi– ditempatkan di sekolah kecil (SD Negeri 190 Pekanbaru) yang baru berdiri dengan murid hanya dua Kelas. Laksana jentayu menantikan hujan, kepala sekolah di SD Teladan kembali menarik Beni untuk mengajar di sekolah favorit tersebut. Singkat cerita, Beni bersyukur mendapat banyak ilmu dan pengalaman di SD favorit itu. Ia diangkat menjadi bendahara BOS, dan wakil kepala sekolah di bidang kurikulum.
 
Untuk itu, Beni percaya diri bisa mengemban tugasnya saat ini sebagai Kepala SDN 47 Pekanbaru. Selain berbekal ilmu dari Pendidikan Guru Penggerak, sosok asal Kampar ini juga percaya kepada guru-guru hebatnya di sekolah, termasuk kehadiran enam Guru Penggerak. Ia yakin, kolaborasi kepala sekolah, komite sekolah, dan orang tua/wali murid bisa menciptakan sebaik-baiknya lingkungan belajar yang nyaman bagi siswa-siswi di sekolahnya. (Karina / Editor: Denty)
 

Sumber :

 


Penulis : Pengelola Siaran Pers
Editor :
Dilihat 153 kali