Peringati 5 Tahun WTBOS, Instalasi Karya Seni Dipamerkan di Bandara Internasional Minangkabau 18 September 2024 ← Back
Padang, Kemendikbudristek – Instalasi karya seni dari empat perupa Sumatra Barat dipamerkan pada ruang kedatangan penumpang di Bandar Udara Internasional Minangkabau. Pameran bertajuk “Seri Karya Seni Instalasi untuk Memperingati 5 tahun Penetapan Warisan Tambang Batubara Ombilin Sawahlunto (WTBOS) sebagai Warisan Dunia” ini telah berlangsung sejak bulan Juni 2024 dan akan berakhir di bulan Desember 2024.
Direktur Jenderal Kebudayaan, Hilmar Farid, menyampaikan, “Selama ini kita mengenal WTBOS sebagai warisan kolonial yang berpengaruh besar di dalam perekonomian di masa itu. Cerita mengenai tambang batubara ini hampir selalu dari perspektif kolonial, sehingga cerita dari masyarakat yang dulunya bekerja sebagai buruh di sana seringkali diabaikan.” Demikian disampaikannya di Padang pada Rabu (18/9).
Narasi pada karya instalasi ini, menurut Hilmar, berangkat dari riset yang cukup mendalam tentang perjalanan sejarah. Ia menangkap bagaiamana penderitaan yang disublimasi oleh karya seni. “Mudah-mudahan pameran ini menginspirasi seluruh bandara di Indonesia untuk memberi ruang pada seni visual, khususnya karya-karya instalasi. Kami harap dengan begitu, agenda untuk memajukan kebudayaan bisa berjalan dengan baik,” jelas Hilmar.
Sebagai bagian dari publikasi Galanggang Arang, pameran ini dirancang untuk merefleksikan sejarah serta identitas lokal melalui seni instalasi. Galanggang Arang sendiri merupakan program prioritas dari Direktorat Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan (PPK), untuk memperkuat ekosistem WTBOS yang sudah ditetapkan UNESCO sebagai warisan dunia pada 6 Juli 2019. Peringatan 5 tahun WTBOS bukan sekadar objek nostalgia, namun wadah untuk ingatan dan identitas yang terus berkembang.
Karya pertama yang dipamerkan berjudul ‘Aset’ karya Arif Rahman, dari komunitas Rumah Ada Seni (RAS). Arif memilih visual kereta api Mak Itam yang pada badannya terpatri gambar pemain tambua tasa yang dibuat dari kolase paco-paco (kain perca) warna-warni. Pemilihan simbol ini menunjukan betapa kompleksnya sejarah dan identitas lokal, sekaligus bentuk gugatan untuk memaknai warisan pada konteks yang lebih luas dan dinamis.
Kemudian, ada ‘Pohon Hikayat’ karya Romi Armon, pendiri dari Kato Lab Art. Ia membuat visualisasi pohon setinggi dua meter yang pada dahannya terdapat lubang terowongan dan rel kereta api. Melalui metafora pohon, Romi mengajak pengunjung untuk menyelami kisah-kisah yang terukir dalam lingkaran usia pohon, menggali makna sejarah, dan mengkritik dampak kolonialisme serta isu lingkungan yang muncul akibat eksploitasi tambang.
Karya ketiga berjudul “Manuskrip Emas Hitam” oleh seniman Nasrul Palapa, pemilik Galeri 89 dan Erlangga dari komunitas seni Belanak. Instalasi ini menggunakan medium tidak konvensional seperti kulit kayu, besi, kain beludru yang dilapisi tinta emas dan objek tradisional seperti ganto dan balango. “Manuskrip ini menceritakan mulai dari penemuan batubara hingga pembangunan infrastuktur, seperti sistem perkeretaapian dan pelabuhan Emmahaven (Teluk Bayur) oleh Belanda, untuk kepentingan eksploitasi. Seluruh pengetahuan itu berasal dari cerita masyarakat lokal,” ujar Nasrul.
Terkait judul karya tersebut, Mahatma, kurator WTBOS sekaligus koordinator pameran instalasi ini, mengatakan bahwa ‘manuskrip’ merujuk pada naskah-naskah hidup yang diceritakan masyarakat lokal tentang perlawanan, ketahanan, dan kreativitas mereka di tengah eksploitasi. Sedangkan ‘emas hitam’ merefleksikan batubara sebagai sumber daya alam yang membawa berkah sekaligus petaka, menyiratkan kontradiksi yang kompleks dalam sejarah pertambangan Ombilin. Melalui pendekatan dekolonial dan etnografis, ketiga instalasi menempatkan pengalaman dan ingatan lokal di pusat narasi. Narasinya berisi kritik bagaimana warisan itu kini dirayakan, sementara kenyataan pahit dari eksploitasi dan penindasan masa lalu nyaris terlupa.
WTBOS mungkin diakui dunia, tapi pengakuan itu tidak serta merta menghapus jejak kolonial yang ditinggalkannya. Jadi, instalasi ini menjadi peringatan darurat atas bahaya melupakan penderitaan yang membentuk sejarah Masyarakat, sekaligus menjadi harapan untuk memperjuangkan masa depan yang lebih baik.
Pameran Seni Non Konvensional di Sumatera Barat
Sebagai ruang publik, Bandar Udara Internasional Minangkabau menjadi titik temu berbagai kalangan mulai dari pelajar, pebisnis, wisatawan, dan warga lokal. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), dari bulan Januari hingga Juli 2024 diperkirakan rata-rata ada seratus ribu penumpang angkutan udara untuk penerbangan domestik dan internasional di bandara tersebut. Artinya, semakin besar kesempatan untuk memperkenalkan karya tentang WTBOS dari seniman Sumatra Barat kepada dunia.
“Pemilihan bandara sebagai ruang pameran non konvensional bertujuan untuk menjangkau khalayak yang belum terbiasa mengunjungi pameran di galeri seni rupa. Seni bisa merespon berbagai ruang, jadi tidak harus di ruangan khusus pameran,” jelas Mahatma.
Pameran ini jadi upaya untuk membangun ruang dialog sekaligus refleksi tentang isu-isu penting seperti warisan budaya, kolonialisme, dan keberlanjutan lingkungan. Secara keseluruhan, pameran merupakan platform penting untuk memperdalam dialog tentang warisan budaya dan lingkungan yang berkelanjutan. Harapannya melalui karya ini, pengunjung dapat memahami dan meresapi nilai sejarah, budaya dan identitas. Dengan meningkatnya kesadaran masyarakat, maka rasa kepemilikan untuk menjaga dan merawat WTBOS akan tumbuh. (Tim Dit. PPK / Editor: Stephanie, Denty)
Dokumentasi kegiatan dapat diunduh melalui tautan: https://drive.google.com/drive/folders/1npC8EheV8hlZx7SqdjqUMSweRz8R9x-p?usp=sharing
Sumber :
Penulis : Pengelola Siaran Pers
Editor :
Dilihat 1191 kali
Editor :
Dilihat 1191 kali