Kisah Inspiratif Para Pejuang Literasi untuk Anak Negeri 14 Oktober 2024 ← Back
Jakarta, Kemendikbudristek -- Kepulauan Natuna berada di garis terdepan perbatasan Indonesia, kaya akan potensi dan keindahan alam, tapi menyimpan tantangan tersendiri dalam akses bahan literasi. Di tengah keterbatasan tersebut, ada sosok polisi yang tidak hanya menjaga dan mengayomi masyarakat, tetapi juga memiliki semangat untuk memajukan literasi. Bripka Mudiyanto, Anggota Bhayangkara Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Bhabinkamtibmas), adalah sosok pejuang literasi yang turut mengajak anak-anak di Natuna untuk mencintai buku agar dapat meningkatkan kualitas pendidikan di daerah mereka.
Dengan “menyulap” motor dinasnya menjadi perpustakaan berjalan, Bripka Mudiyanto, berkeliling dari kampung ke kampung di Pulau Natuna mengunjungi anak-anak dan meminjamkan buku untuk dibaca. Niat Bripka Mudiyanto sederhana saja, mengajak anak-anak di tapal batas Indonesia itu untuk gemar membaca.
“Berawal dari kegelisahan saya melihat anak-anak usia sekolah di Natuna menghabiskan waktunya dengan bermain game. Atasan saya juga memiliki kegelisahan yang sama dan menyambut baik niat saya,” ucapnya dalam sesi gelar wicara dalam kegiatan Gelar Aksi Nyata Pemulihan Pembelajaran, Sabtu (12/10).
“Tahun 2017, seizin atasan, saya mengubah motor dinas saya menjadi motor pustaka keliling,” lanjutnya.
Selain berkeliling menggunakan motor, Bripka Mudiyanto juga memiliki Taman Bacaan di rumahnya yang didirikan berbarengan dengan motor pustaka. Taman bacaan itu menyimpan koleksi ratusan buku yang bisa diakses oleh anak-anak Natuna. Dengan kehadiran pustaka di rumahnya tersebut, ia berharap masyarakat tidak hanya menjadi gemar membaca, tapi juga membuat anak-anak dekat dengan Polisi.
“Biasanya anak-anak suka ditakut-takuti dengan adanya polisi. Tapi dengan buku dan pustaka di rumah polisi akan membuat mereka merasa dekat,” ujar Bripka Mudiyanto.
Selain Bripka Mudiyanto, ada juga sosok orang tua yang tak kalah gigih menanamkan budaya literasi pada anak-anaknya. Dalam gelar wicara dalam kegiatan Gelar Aksi Nyata Pemulihan Pembelajaran, Ario Muhammad membagikan pengalaman dalam mendidik dan membentuk anaknya, sehingga di usia 14 tahun sudah melahirkan belasan karya buku.
“Anak saya membaca lebih dari 300 buku dalam setahun. Saat anak saya berusia 7 hari sudah saya perkenalkan dengan buku, saya membacakannya. Tentunya buku yang direkomendasikan oleh dokter anak karena usia 7 hari anak sudah mengenal warna hitam dan putih serta bentuk ekspresi,” ujar Ario.
Melalui gelar wicara, Ario mendorong keterlibatan orangtua khususnya ayah dalam membentuk serta mendidik anak di rumah. “Jika anda termasuk ayah yang di kantor atau lingkungan sekitar tidak banyak bicara. Saya harapkan, demi masa depan anak, ubahlah kebiasaan ini. Jadi ayah yang aktif dan mengajak anak bicara sejak usia dini agar kosakata dan kemampuan berpikir kritisnya terbentuk,” ujarnya.
Terkait miskonsepsi literasi, Ario menjelaskan saat ini banyak orang tua supaya sang anak cepat matang. Masa mudanya untuk bermain dipangkas dan dibuang karena merasa bahwa bermain adalah ancaman bagi tumbuh kembang anak kecil. Padahal, ketika anak bermain, sesungguhnya mereka sedang belajar. Ironisnya, cara belajar dengan bermain itu dihilangkan.
Saat ini, bahkan ketika PAUD, anak sudah dipaksa untuk bisa baca, tulis, dan hitung (calistung). Anak menjadi depresi. Mereka yang sewajarnya menerima dongeng dari orang tuanya malah harus menerima angka dan huruf. Bahwa pada usia dini anak sudah bisa calistung bukan menjadi pembenaran.
Selain itu, cerita tak kalah menarik lainnya datang dari Hazura Indar Faradiba. Ketua Bidang Hubungan Masyarakat Forum OSIS Nasional XI ini dinilai mampu menginspirasi remaja seusianya atas komitmen serta prestasi yang dimilikinya selama ini. Sejak dini, kecintaannya pada literasi membuatnya sudah menghasilkan beberapa buku antologi, serta puncaknya berhasil menggagas dan melaksanakan agenda Sorowako Readers & Writers Festival di tahun 2023.
“Saya bersyukur bisa sekolah dengan konsep pendidikanya gabungan antara luring dan daring. Meski saya lebih banyak belajar secara daring, saya tidak tertinggal pelajaran, karena saya juga belajar dari banyak orang yang saya temui ketika berada di luar rumah,” kata Faradiba.
“Saya waktu SD dipercaya menjadi duta literasi tingkat kelurahan. Ini yang mendorong saya untuk menjadi pegiat literasi,” terangnya tentang kecintaan pada dunia literasi.
Narasumber lainnya yang hadir dalam sesi gelar wicara ini adalah pakar bahasa dan dosen senior National Institute of Education, Nanyang Technological University Singapore, Willy A Renandya. Dalam kesempatan tersebut, Willy menjelaskan kesalahpahaman terkait literasi yang muncul di kalangan masyarakat dan lingkungan pendidikan. Menurutnya, jika gerakan literasi di sekolah tak mampu membuat siswa untuk berpikir kritis sehingga berhenti hanya sebatas membaca, apalagi mengeja, sesungguhnya gerakan literasi tersebut sudah salah kaprah.
“Karena berliterasi tak terbatas pada kegiatan membaca, apalagi 15 menit sebelum belajar. Literasi sesungguhnya mencakup keterampilan mendengar, berbicara, membaca, menulis, menganalisa dan mengekspresikannya,” ujar Willy.
Ia juga mengungkapkan, hal yang terpenting dalam meningkatkan kemampuan bahasa pada anak didik adalah penerapan Extensive Reading (ER) dan Extensive Listening (EL). Dengan begitu, siswa akan terbiasa melakukan literasi dan mendapatkan “asupan” untuk bekal mempelajari bahasa. Asupan yang dimaksud Willy yakni, kosakata yang didapatkan anak melalui kegiatan membaca dan mendengarkan.
“Seorang anak yang tidak punya gudang kosakata yang cukup dan pemahaman atas kosakata akan memiliki kesulitan dalam menulis dan berbicara. Semua ini sangat erat kaitannya. Read more, know more, understand more. Sebagai pengajar kita harus bisa memahami,” pesannya kepada para guru yang hadir dalam kegiatan gelar wicara.
Sumber :
Penulis : Pengelola Siaran Pers
Editor :
Dilihat 1728 kali
Editor :
Dilihat 1728 kali