Novel Menolak Ayah Dibedah dalam Malam Sastra Canberra  04 November 2024  ← Back


 
Canberra, Kemendikdasmen --- Novel Menolak Ayah karya sastrawan Ashadi Siregar menjadi fokus diskusi dalam acara Malam Sastra yang berlangsung di Canberra pada Sabtu (2/11). Ashadi Siregar, yang dikenal sebagai penulis produktif dengan karya-karya seperti Cintaku di Kampus Biru, Kugapai Cintamu, Terminal Cinta Terakhir, Sirkuit Kemelut, dan yang terbaru Menolak Ayah, hadir secara daring dari Indonesia. Novel Menolak Ayah, yang diterbitkan pada tahun 2018, telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Jennifer Lindsay dengan judul Rejection: A Sumatran Odyssey.
 
Diskusi novel kali ini menghadirkan George Quinn, pakar Sastra Jawa, dan Jennifer Lindsay, penerjemah novel ini, sebagai pembahas. Amrih Widodo, presiden Balai Bahasa Indonesia ACT (BBI-ACT), memandu jalannya acara yang diikuti oleh beragam peserta dari komunitas pecinta sastra Indonesia di Canberra, termasuk guru, dosen, mahasiswa, dan penggiat sastra lainnya.
 
Acara ini diselenggarakan secara santai dan kekeluargaan di kediaman salah satu pengurus BBI-ACT. Para peserta bebas duduk di kursi atau lesehan, dan sebelum diskusi dimulai, mereka disuguhi hidangan khas Batak yang disebutkan dalam novel Menolak Ayah. Beberapa peserta juga mengenakan kain ulos, seolah menghidupkan budaya Batak yang ada dalam cerita. “Memulai acara dengan makan bersama menciptakan suasana yang hangat dan memberi kesempatan bagi peserta untuk mengenal budaya melalui kenikmatan dan pemaknaan kuliner khas daerah,” ungkap Amrih.
 
Dalam ulasannya, George Quinn mengungkapkan bahwa Menolak Ayah tidak hanya membahas hubungan ayah dan anak, tetapi juga menyentuh hal besar seperti konsep kebangsaan Indonesia yang baru terbentuk. Quinn juga menyebutkan bahwa novel ini merupakan salah satu karya pertama di Indonesia modern yang berupaya menjaga kemurnian Bahasa Indonesia dari pengaruh bahasa lain, khususnya Jawa. Namun, ia juga mencatat bahwa Bahasa Indonesia pada dasarnya tumbuh dari serapan bahasa-bahasa lain seperti Sanskerta, Arab, Belanda, hingga kini bahasa Inggris. Novel Ashadi pun menjadi arena negosiasi politik bahasa, di mana percampuran budaya dan bahasa sering kali dipengaruhi oleh kekuasaan.
 
Ashadi Siregar sendiri menjelaskan bahwa Menolak Ayah menggambarkan dua dunia: mikro, tentang perjalanan hidup anak Batak bernama Tondinihuta yang ditinggalkan ayahnya sejak kecil; dan makro, situasi politik Indonesia pada era 1950-an hingga 1965. Ia menegaskan bahwa tema utama dalam novel-novelnya adalah perlawanan terhadap penindasan, seperti dalam Cintaku di Kampus Biru yang menggambarkan perjuangan mahasiswa melawan dosen. Dalam Menolak Ayah, perlawanan ini juga merambah pada hegemoni Bahasa Indonesia yang makin terkontaminasi oleh bahasa Jawa yang mencerminkan budaya politik pada era tersebut.
 
Malam Sastra merupakan program rutin BBI-ACT yang mendapat dukungan penuh dari KBRI Canberra. Program ini bertujuan memperkaya pengetahuan dan pemahaman budaya Indonesia bagi para pengajar dan pelajar Bahasa Indonesia di Australia, terutama di Canberra. Pembelajar Bahasa Indonesia yang hadir pada acara ini bisa mengalami kenikmatan sekaligus kompleksitas berbahasa Indonesia yang tak sekedar alat komunikasi, tetapi juga berfungsi untuk membentuk jatidiri bangsa, arena negosiasi kekuasaan, sekaligus berpotensi memberikan kenikmatan sastrawi.

Dalam catatan Atase Pendidikan dan Kebudayaan (Atdikbud) KBRI Canberra, Mukhamad Najib, pada tahun 2024, BBI-ACT telah menyelenggarakan empat kali Malam Sastra dengan mengundang sastrawan dari Indonesia. BBI sendiri memiliki cabang di lima negara bagian Australia dan rutin mengadakan berbagai macam kegiatan seperti workshop untuk meningkatkan profisiensi Bahasa dan kemampuan mengajar guru-guru Bahasa Indonesia, dan “Malam Ngobrol” untuk memfasilitasi para pengajar dan pemelajar Bahasa Indonesia di Canberra untuk bercakap-cakap dalam Bahasa Indonesia. (Mukhamad Najib/Editor: Rayhan, Denty)


Sumber :

 


Penulis : Pengelola Siaran Pers
Editor :
Dilihat 98 kali