Memahami Filosofi Keberpihakan pada Anak dalam Program Guru Penggerak 24 Juni 2022 ← Back
Makassar, Kemendikbudristek --- Program guru penggerak dirasakan telah membawa paradigma baru dalam pendidikan, terutama bagi guru yang telah menjalani pendidikan selama sembilan bulan. Pola pembelajaran yang sebelumnya menuntut guru dan siswa untuk mencapai kriteria ketuntasan minimal, kini bergeser menjadikan siswa sebagai pusat pembelajaran.
Menurut guru kimia SMA Plus Budi Utomo, Makassar, Sulawesi Selatan, Andi Fahri, pendidikan guru penggerak menyadarkannya akan arti pendidikan yang sebenarnya. Ia menjelaskan, sebelum mengikuti pendidikan guru penggerak, seluruh proses pembelajaran yang dilakoninya merupakan rancangan dari pemikirannya sendiri. Kini, setelah menjadi guru penggerak angkatan pertama, Fahri memahami bahwa tugasnya sebagai guru tidak lain hanyalah menuntun murid untuk menemukan minat, bakat, dan kompetensinya.
“Ada satu kata yang menyadarkan saya, yaitu menuntun. Di sini saya mendapatkan pengalaman belajar bahwa dulu saya memaksakan kepada murid untuk bisa, harus tahu, dan nilai tinggi. Tetapi setelah mengikuti pendidikan guru penggerak, saya dapat pembelajaran bahwa sebagai guru saya seharusnya menuntun bukan menuntut. Layaknya petani, kalau ingin mendapatkan padi yang bagus harus dirawat dan dipupuk. Begitu juga murid,” ujarnya saat disambangi di SMA Plus Budi Utomo, Makassar, Rabu (22/6).
Selama masa pendidikan guru penggerak, Fahri mendapatkan modul yang membantunya untuk belajar lagi menjadi guru dengan cara pandang baru. Motivasinya semakin tinggi saat membaca dan merefleksi bagian pemikiran Ki Hadjar Dewantara, bahwa anak tumbuh sesuai dengan kodratnya. Bukan dengan memaksa untuk menyelesaikan pembelajaran di level yang sama.
Fahri menceritakan, selama dalam pendidikan, ia mendapat materi tentang pembelajaran berdiferensiasi. Siswa digali kebutuhannya melalui asesmen diagnostik kognitif untuk mengetahui minat, bakat, dan kompetensi yang dimiliki, dan asesmen diagnostik nonkognitif untuk mengetahui latar belakang sosial budayanya sekaligus cara apa yang paling tepat untuk pembelajaran anak tersebut. “Jadi kita tahu anak ini minatnya apa, dia bagusnya di bidang apa, dan bagaimana cara memaksimalkan potensinya,” katanya.
Tak hanya siswa, guru pun didorong untuk melakukan sesuatu yang baru dan berbeda. Dalam pendidikan guru penggerak, kata Fahri, dirinya tidak hanya dituntut untuk memimpin diri, tapi juga untuk memaksimalkan aset dan potensi sekolah.
Selain Fahri, guru penggerak dari SMP Negeri 7 Makassar, Nasmur mengatakan, pendidikan guru penggerak menjadikan ia dan rekannya menghamba para murid. Ia menyebut, kalimat menghamba pada murid yang ia kutip dari Ki Hadjar Dewantara, artinya guru bukan mengajari murid, tapi lebih kepada memenuhi keinginan murid dalam belajar.
Nasmur mengatakan, pendidikan guru penggerak dan penerapan kurikulum merdeka di sekolah menjadi dua kebijakan yang selaras dan sejalan. Menjadi guru penggerak dan menggunakan kurikulum merdeka dirasakan Nasmur memberi sudut pandang baru pada anak. Jika biasanya kelas sunyi, sekarang, kata dia, anak-anak berlomba untuk menyampaikan pendapatnya.
“Saya tidak pernah menyangka, anak-anak yang biasanya diam, mengamati, sekarang dengan memerdekakan mereka untuk mencari jawaban atas permasalahan dengan berbagai media, dan menyampaikan dengan media yang sesuai, bisa berbicara dengan sangat baik menyampaikan pemikirannya,” jelas Nasmur.
Pernyataan Nasmur didukung oleh Syahriani Jarimollah, guru penggerak lain di SMP N 7 Makassar. Guru yang akrab dipanggil Ani ini mengungkapkan bagaimana menjadi guru penggerak mengubah pola pikirnya. Sembilan bulan pendidikan guru penggerak, membentuknya memahami bagaimana cara memperlakukan murid, teknik membuat anak kembali ke ruang belajar, dan bagaimana membuat orang bergerak bersama tanpa disuruh atau dipaksa. “Saya sebenarnya memaksa, tapi mereka tidak merasa dipaksa,” ujar guru matematika ini.
Program guru penggerak yang diterapkan Ani dan Nasmur di SMP N 7 Makassar salah satunya adalah dengan membawa siswa ke luar ruang kelas. Kegiatan yang disebut outing ini, kata Ani, terbukti mempercepat peningkatan semangat anak untuk kembali belajar setelah dua tahun belajar dari rumah. Anak-anak dibawa untuk mencari ilmu baru di tempat-tempat yang berada di luar sekolah. “Dibawa ke tempat pembuangan sampah untuk belajar membuat pupuk kompos saja mereka sangat senang,” katanya.
Dalam kurikulum merdeka, 25 persen waktu pembelajaran dilakukan dengan kegiatan di luar kelas atau proyek. Anak-anak dapat mengerjakan tugas atau proyek dari gurunya dengan mencari tahu langsung di lapangan. Kegiatan seperti ini, kata Ani, adalah bentuk layanan guru kepada siswa yang diibaratkannya sebagai pelanggan. “Kami guru ini tidak akan ada kalau tidak ada siswa. Siswa itu pelanggan kami yang harus kami puaskan,” tutur Ani.
Menurut Ani, kebutuhan alat dan sarana dalam pembelajaran selama ini begitu membelenggu guru untuk berkreativitas. Setelah menjadi guru penggerak, pola pikirnya berubah menjadi berbasis aset. Pembelajaran tidak berhenti karena alat dan sarana tidak tersedia, namun setiap aset yang ada di sekitar bisa jadi alat atau sarana pembelajaran. “Jangan sampai kalau ada masalah yang tidak ketemu solusinya kita berhenti, justru manfaatkan aset yang ada untuk berkreasi,” jelasnya.
Tidak hanya siswa yang dibimbing untuk berdiferensiasi, tetapi juga guru. Untuk proyek penguatan profil pelajar Pancasila, Ani keluar dari jalur basis pendidikannya yaitu matematika, untuk memfasilitasi siswa pada proyek suara demokrasi dan kearifan lokal. Ani membimbing anak didiknya untuk mengenal bahasa adat di salah satu daerah Sulawesi Selatan yang disebut kelong. “Saya mengajar matematika, tapi proyeknya bukan sains, karena saya sadar guru juga perlu berdiferensiasi,” pungkasnya. (Aline Rogeleonick)
Sumber :
Penulis : pengelola web kemdikbud
Editor :
Dilihat 3190 kali
Editor :
Dilihat 3190 kali